UPDATE Polling CNBC Indonesia

Konsensus: Neraca Dagang November Diramal Tekor US$ 990 Juta

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 December 2018 15:50
Konsensus: Neraca Dagang November Diramal Tekor US$ 990 Juta
Ilustrasi Peti Kemas (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
  • Menambah proyeksi dari BCA.

Jakarta, CNBC Indonesia -
 Neraca perdagangan Indonesia diperkirakan kembali mengalami defisit pada November 2018. Bila terjadi, maka neraca perdagangan akan tekor selama 2 bulan beruntun.

 
Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data perdagangan internasional edisi November pada awal pekan depan. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 2,6% year-on-year (YoY) dan impor tumbuh lebih kencang yaitu 8,5% YoY. Sementara neraca perdagangan diramal defisit US$ 990 juta.
 
InstitusiPertumbuhan Ekspor (%YoY)Pertumbuhan Impor (%YoY)Neraca Perdagangan (US$ Juta)
CIMB Niaga820-1,600
BTN4.918.8-1,870
ING2.911.4-1,619
Maybank Indonesia-1.726.42-1,020
Moody's Analytics---960
Bahana Sekuritas4.3111.49-860
Barclays38-500
ANZ1.812.2-1,350
Nomura2.56.5-400
Danareksa Research Institute2.514.11-790
Standard Chartered-2.48.5-1,446
BCA2.66.7-398
MEDIAN2.68.5-990

Sebagai informasi, pertumbuhan ekspor pada bulan sebelumnya atau Oktober 2018 adalah 3,59% YoY dan impor melesat 23,66% YoY. Ini membuat neraca perdagangan mencatat defisit yang cukup dalam yaitu US$ 1,82 miliar. 

 

Bila neraca perdagangan November benar-benar defisit, maka nasib transaksi berjalan (current account) pada kuartal IV-2018 akan di ujung tanduk. Bisa saja transaksi berjalan kembali mengalami defisit seperti kuartal sebelumnya, yang mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB). 

Kala transaksi berjalan terancam, maka rupiah pun akan ikut tertekan. Pasalnya, rupiah jadi tidak memiliki modal untuk menguat karena minimnya pasokan valas dari ekspor barang dan jasa. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Kinerja ekspor Indonesia sepertinya belum benar-benar pulih sejak jelang akhir tahun lalu. Sejak Agustus 2017, pertumbuhan ekspor sulit untuk menyentuh kepala 2 secara tahunan. 

Penyebabnya adalah penurunan harga komoditas andalan ekspor Indonesia, misalnya minyak sawit mentah (CPO). Selama November, harga komoditas ini turun 4,85% secara point-to-point. Sedangkan sejak awal tahun, koreksinya mencapai 18,79%. 

 

Sementara dari sisi impor, penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sedikit banyak berkontribusi terhadap derasnya impor. Selama November, rupiah menguat 5,45% secara point-to-point

Saat rupiah melemah, barang-barang luar negeri menjadi lebih murah. Ini memberi insentif bagi masyarakat dan dunia usaha untuk membeli produk-produk luar negeri mumpung sedang banting harga. Akibatnya, impor melaju kencang pada bulan lalu. 

Bila dilihat sejak awal tahun, rupiah memang melemah 7,41% terhadap greenback. Namun depresiasi rupiah tidak begitu saja bisa menahan laju impor. Pasalnya, ekonomi Indonesia tumbuh lebih baik pada tahun ini. Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2018 di kisaran 5,2%, membaik dibandingkan 2017 yaitu 5,07%. 

Bagi Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang terakselerasi sama dengan peningkatan impor. Sebab, industri dalam negeri belum bisa memenuhi permintaan yang meningkat, terutama untuk bahan baku dan barang modal. Hasilnya jelas, impor tetap tumbuh kencang meski rupiah terdepresiasi. 

Oleh karena itu, Indonesia punya dua pekerjaan rumah yang besar untuk memperbaiki neraca perdagangan. Intinya adalah menggenjot industrialisasi, sehingga ekspor tidak lagi bergantung kepada komoditas dan menjadi lebih berkualitas. 

Industrialisasi juga mampu mengurangi ketergantungan terhadap impor setiap kali ekonomi tumbuh. Apabila industri dalam negeri mampu memenuhi permintaan yang terus tumbuh, maka kebutuhan untuk impor akan berkurang.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular