Update Polling CNBC Indonesia

Konsensus Pasar: Neraca Dagang Oktober Diramal Tekor Tipis

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 November 2018 16:13
Konsensus Pasar: Neraca Dagang Oktober Diramal Tekor Tipis
Ilustrasi Pelabuhan (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
  • Menambah proyeksi dari 1 institusi (Bahana Sekuritas)

Jakarta, CNBC Indonesia -
Neraca perdagangan Indonesia pada Oktober 2018 diperkirakan kembali mengalami defisit, meski sangat tipis. Padahal bulan sebelumnya neraca perdagangan berhasil mencatat surplus.

 

Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data perdagangan internasional pada 15 November. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan neraca perdagangan Oktober defisit tipis di US$ 62,5 juta. 

Ekspor diramal tumbuh dalam kisaran terbatas yaitu 1,4% year-on-year (YoY). Kemudian impor diproyeksikan masih tumbuh dua digit yaitu 10%. 

InstitusiPertumbuhan Ekspor (%YoY)Pertumbuhan Impor (%YoY)Neraca Perdagangan (US$ Juta)
ING-2.9-2.6600
ANZ48.8350
Moody's Analytics400
BCA-1.257.9-307
Maybank Indonesia3.6115.67-680
Bank Permata-2.614.35-15
Trimegah Sekuritas4.4516-600
Barclays010-400
DBS6.111.2340
Bank Mandiri1.0411.16-429.6
Danareksa Research Institute1.45.68406.2
Standard Chartered4.310.9108
Bank Danamon1.611.2-343
Bahana Sekuritas0.648.49-110
MEDIAN1.410-62.5
  
Pada September, ekspor juga tumbuh tipis 1,7% dan impor naik 14,18%. Meski demikian, neraca perdagangan mampu mencatat surplus US$ 227,1 juta. 

Samuel Tse, Ekonom DBS, mengatakan laju impor pada Oktober memang sepertinya melambat dibandingkan bulan sebelumnya. Faktor utamanya adalah penurunan harga minyak. 

Sepanjang Oktober, harga minyak jenis brent anjlok 11,19% secara point-to-point. Sementara light sweet amblas 13,27%. 



"Sementara ekspor juga melambat dibandingkan bulan sebelumnya, belum sepenuhnya pulih. Permintaan global yang melambat membutuhkan waktu untuk pulih dan kemudian bisa mendorong ekspor," kata Tse. 

Katarina Ell, Ekonom Moody's Analytics, menilai kinerja ekspor-impor akan sangat ditentukan oleh perkembangan di China. Maklum, China adalah negara eksportir sekaligus importir terbesar Indonesia. 

"PMI manufaktur China melambat ke titik terendah dalam 13 bulan. Ini akan sangat menentukan permintaan terhadap barang impor maupun produk yang akan diekspor," kata Ell. 

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

 
Data perdagangan Oktober akan menjadi awal untuk melihat prospek transaksi berjalan (current account) pada kuartal IV-2018. Kemungkinan transaksi berjalan akan lebih baik dibandingkan kuartal III-2018 yang mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB), terdalam sejak kuartal II-2014. 



Ada kemungkinan harga minyak tidak akan melonjak tinggi seperti kuartal III-2018. Potensi penurunan harga minyak datang dari 'pengampunan' AS terkait sanksi kepada Iran.  

Negeri Adidaya memperbolehkan delapan negara untuk tetap mengimpor minyak dari Negeri Persia selama 180 hari ke depan. Artinya pasokan minyak di pasar dunia tidak seret-seret amat. 

Kemudian Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) memperkirakan terjadi kelebihan pasokan pada 2019. OPEC memperkirakan permintaan minyak dunia naik 1,29 juta barel/hari menjadi 31,54 juta barel/hari.  

Sedangkan produksi minyak tahun depan diperkirakan naik 127.000 barel/hari menjadi 32,9 juta barel/hari. Artinya ada potensi kelebihan pasokan (over supply) sebesar 1,36 juta barel/hari. 

Sentimen-sentimen tersebut membebani harga si emas hitam sehingga sulit naik signifikan. Artinya beban impor minyak Indonesia bisa berkurang sehingga tidak memberatkan transaksi berjalan. 

Dengan perbaikan transaksi berjalan, maka rupiah lebih punya alasan untuk stabil bahkan cenderung menguat. Dalam sebulan terakhir, rupiah mampu menguat 2,24% di hadapan dolar AS. Semoga tren ini bisa berlanjut hingga akhir tahun.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular