
Newsletter
Awas, Hawa Resesi di AS Makin Terasa!
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
14 December 2018 05:50

Dari Wall Street, tiga indeks utama berakhir variatif cenderung melemah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,29%, S&P 500 terkoreksi tipis hampir flat yaitu 0,02%, dan Nasdaq Composite melemah 0,39%.
Investor di bursa saham New York sepertinya sedang berhati-hati dan cenderung bermain aman. Saham-saham defensif di sektor utilitas, real estat, dan barang konsumsi menjadi incaran utama pelaku pasar.
Sepertinya sentimen damai dagang AS-China dan sebagainya sudah kurang laku di Wall Street. Terbukti bahwa pesimisme investor kini sangat tinggi.
Survei yang dilakukan American Association of Individual Investors (AAII) menyebutkan bahwa 48,9% investor individu memperkirakan pasar saham akan mengalami tekanan hebat dalam waktu 6 bulan ke depan. Angka pesimisme tersebut merupakan yang tertinggi sejak 11 April 2013.
"Pasar saat ini sedang gugup. Investor bisa begitu bersemangat pada pagi hari, tetapi kemudian rasa takut datang lagi. Pasar membutuhkan katalis agar bisa mencapai tren yang lebih konsisten, itu bisa datang dari data ekonomi, kejelasan sikap The Federal Reserve/The Fed, atau kepastian hubungan AS-China," kata Omar Aguilar, Chief Investment Officer di Charles Schwab Investment Management yang berbasis di San Francisco, mengutip Reuters.
Investor mulai mencemaskan potensi perlambatan ekonomi dan ancaman resesi di AS. Yup, tanda-tanda resesi di AS memang masih ada dan itu terus tampak di pasar obligasi.
Pada pukul 04:41 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun tercatat 2,762% dan untuk tenor 3 tahun berada di 2,759%. Lebih tinggi ketimbang tenor 5 tahun yaitu 2,7545%.
Situasi seperti ini disebut inverted yield. Pelaku pasar kerap menjadikan inverted yield (apalagi jika berlangsung dalam waktu lama) sebagai sinyal terjadinya resesi. Sebab investor menilai risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang, sehingga meminta premi yang lebih tinggi untuk obligasi tenor pendek.
"Ada narasi bahwa mungkin saja akan terjadi resesi pada 2020. Sulit untuk membuat pasar ceria jika ada narasi seperti itu," ujar Crit Thomas, Global Market Strategist di Touchstone Investments yang berbasis di Cincinnati, mengutip Reuters.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Investor di bursa saham New York sepertinya sedang berhati-hati dan cenderung bermain aman. Saham-saham defensif di sektor utilitas, real estat, dan barang konsumsi menjadi incaran utama pelaku pasar.
Sepertinya sentimen damai dagang AS-China dan sebagainya sudah kurang laku di Wall Street. Terbukti bahwa pesimisme investor kini sangat tinggi.
Survei yang dilakukan American Association of Individual Investors (AAII) menyebutkan bahwa 48,9% investor individu memperkirakan pasar saham akan mengalami tekanan hebat dalam waktu 6 bulan ke depan. Angka pesimisme tersebut merupakan yang tertinggi sejak 11 April 2013.
"Pasar saat ini sedang gugup. Investor bisa begitu bersemangat pada pagi hari, tetapi kemudian rasa takut datang lagi. Pasar membutuhkan katalis agar bisa mencapai tren yang lebih konsisten, itu bisa datang dari data ekonomi, kejelasan sikap The Federal Reserve/The Fed, atau kepastian hubungan AS-China," kata Omar Aguilar, Chief Investment Officer di Charles Schwab Investment Management yang berbasis di San Francisco, mengutip Reuters.
Investor mulai mencemaskan potensi perlambatan ekonomi dan ancaman resesi di AS. Yup, tanda-tanda resesi di AS memang masih ada dan itu terus tampak di pasar obligasi.
Pada pukul 04:41 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun tercatat 2,762% dan untuk tenor 3 tahun berada di 2,759%. Lebih tinggi ketimbang tenor 5 tahun yaitu 2,7545%.
Situasi seperti ini disebut inverted yield. Pelaku pasar kerap menjadikan inverted yield (apalagi jika berlangsung dalam waktu lama) sebagai sinyal terjadinya resesi. Sebab investor menilai risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang, sehingga meminta premi yang lebih tinggi untuk obligasi tenor pendek.
"Ada narasi bahwa mungkin saja akan terjadi resesi pada 2020. Sulit untuk membuat pasar ceria jika ada narasi seperti itu," ujar Crit Thomas, Global Market Strategist di Touchstone Investments yang berbasis di Cincinnati, mengutip Reuters.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular