
Newsletter
Semesta Mendukung, Bisakah IHSG dan Rupiah Menguat?
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
13 December 2018 05:31

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup bervariatif kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah bergerak turun yang menandakan harga instrumen ini naik. Namun nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) stagnan saja, tidak menguat atau melemah.
Kemarin, IHSG ditutup menguat 0,64%. Performa IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona hijau seperti Nikkei 225 yang melesat 2,15%, Shanghai Composite naik 0,31%, Hang Seng melejit 1,61%, Straits Times melompat 1,33%, dan Kospi terdongkrak 1,44%.
Sementara yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 5,8 basis poin (bps). Harga instrumen ini naik 33,8 bps.
Akan tetapi, rupiah ditutup di Rp 14.595/US$ atau sama dengan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. Meski begitu, mayoritas mata uang utama Asia justru melemah saat waktu penutupan pasar spot valas di Indonesia setelah seharian menguat.
Sepanjang hari kemarin, investor dibuat berbunga-bunga karena damai dagang AS-China yang sepertinya semakin nyata. Dalam wawancara dengan Reuters, Presiden AS Donald Trump menyiratkan hubungan Washington-Beijing kini sedang memasuki masa bulan madu. Trump mengatakan bahwa China mulai memborong kedelai asal AS. Ini merupakan tindak lanjut dari pembicaraannya dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G20 di Argentina akhir bulan lalu.
"Saya baru saja mendengar bahwa China membeli banyak kedelai. Ini mereka baru mulai, baru mulai," ungkapnya.
Trump juga menegaskan bahwa China siap menurunkan tarif bea masuk untuk impor mobil asal AS dari 40% menjadi 15%. "Segera, sangat cepat," ujarnya.
Oleh karena itu, Trump pun menepati janjinya dengan tidak menaikkan tarif bea masuk bagi produk-produk China. Sedianya tarif bea masuk bagi impor produk China senilai US$ 200 miliar akan naik dari 10% menjadi 25% pada 1 Januari 2015. "Saya tidak akan menaikkan bea masuk sampai terjadi kesepakatan," katanya.
Berbagai perkembangan tersebut jelas menggambarkan bahwa damai dagang AS-China bukan sesuatu yang mustahil. Terbuka kemungkinan AS-China akan mengakhiri perang dagang yang memanas sejak awal tahun ini.
Investor pun bergairah dan bersemangat memburu cuan. Aliran modal mengalir deras ke negara-negara berkembang di Asia dan dan aset aman (safe haven) ditinggalkan. Ini yang membuat IHSG dan pasar obligasi pemerintah Indonesia mampu menguat.
Namun rupiah tidak mampu memanfaatkan hal ini karena kenaikan harga minyak dan masih kencangnya ambil untung (profit taking). Rupiah memang sangat sensitif terhadap harga minyak yang kemarin naik di kisaran 1%.
Maklum, Indonesia adalah negara net importir migas. Ketika harga minyak naik, maka biaya yang dikeluarkan untuk impor migas akan membengkak.
Hasilnya adalah defisit transaksi berjalan (current account deficit) kemungkinan bakal semakin melebar. Saat pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa minim cenderung tekor, maka rupiah tentu bakal sulit menguat.
Sedangkan profit taking masih terjadi karena sejak 30 Oktober hingga 3 Desember, rupiah menguat 6,93% di hadapan greenback. Rupiah memang melemah sejak 4 Desember hingga kemarin yaitu mencapai 2,17%, tetapi angka ini bahkan belum sampai separuh dari penguatan yang terjadi sebelumnya. Oleh karena itu, hantu profit taking sebenarnya masih terus membayangi langkah rupiah.
Seperti kompatriotnya di Asia, bursa saham New York juga merasakan angin surga damai dagang AS-China. Presiden Trump bahkan bersedia mengintervensi kasus hukum yang menimpa petinggi Huawei jika itu memang diperlukan untuk mencapai kesepakatan dagang dengan China. Sebelumnya, CFO Huawei Meng Wanzhou ditahan oleh aparat penegak hukum Kanada karena bertransaksi dengan pihak dari Iran.
"Apa pun yang terbaik bagi negara ini, akan saya lakukan. Ini akan menjadi kesepakatan dagang terbesar dalam sejarah, dan pasti sangat penting. Saya tentu akan melakukan intervensi jika memang diperlukan," tegas Trump, mengutip Reuters.
Saham-saham sektor industri manufaktur menjadi salah satu penggerak utama dua Wall Street. Indeks sektor industri di DJIA menguat 1,25%, di mana saham Caterpillar melesat 1,73%, Boeing melompat 1,45%, 3M terdongkrak 1,19%, dan Merck & Co melejit 1,17%.
Sektor industri mendapat suntikan tenaga dari sentimen damai dagang. Dengan harapan tidak ada lagi hambatan tarif, korporasi AS bisa mengakses pasar China dengan lebih leluasa.
Selain itu, investor juga lega karena ada kabar positif dari Inggris. Meski mendapat mosi tidak percaya, hasil pemungutan suara di parlemen ternyata tidak menggoyahkan Theresa May dari kursi Perdana Menteri. May memenangkan dukungan parlemen dengan memperoleh 200 suara, sementara jumlah suara yang ingin mendongkelnya adalah 117.
Perkembangan ini membuat proses pembahasan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) menemui kepastian, karena tidak ada pergantian kepemimpinan. Sebelumnya, May menegaskan pergantian kepemimpinan bukan jalan terbaik bagi Inggris yang sedang menghadapi sengkarut Brexit. Negeri John Bull sudah tidak punya banyak waktu, karena Bexit efektif berlaku pada 29 Maret 2019.
"Pemimpin baru tidak akan bisa bertugas pada 21 Januari (jadwal pelaksaan voting proposal Brexit di parlemen Inggris). Jadi memilih pemimpin baru menyebabkan risiko dalam negosiasi Brexit karena tidak akan ada waktu untuk renegosiasi proposal perpisahan," tegas May, dikutip dari Reuters.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu hijaunya Wall Street yang diharapkan mampu memberikan motivasi bagi bursa saham Asia, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS, yang kemungkinan akan melemah. Pada pukul 04:33 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) terkoreksi 0,29%.
Sentimen global yang positif yaitu damai dagang AS-China dan keberhasilan May mempertahankan jabatannya membuat pelaku pasar berani mengambil risiko. Arus modal kemungkinan masih akan meninggalkan aset-aset aman seperti dolar AS untuk masuk ke instrumen berisiko di negara berkembang Asia. Jika ini terus terjadi, maka IHSG dkk akan mendapatkan durian runtuh.
Selain itu, dolar AS juga tidak disokong oleh data ekonomi terbaru di Negeri Paman Sam. Kementerian Ketenagakerjaan AS melaporkan laju inflasi secara year-on-year (YoY) sebesar 2,2% pada November. Lebih lambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 2,5%, dan bahkan menjadi yang paling lambat sejak Februari.
Laju konsumsi di AS sepertinya belum terlalu kencang, masih ditemui perlambatan. Oleh karena itu, kemungkinan The Federal Reserve/The Fed untuk tetap agresif menaikkan suku bunga acuan pada 2019 semakin mengecil.
Pelaku pasar awalnya memperkirakan Jerome 'Jay' Powell dan rekan bakal menaikkan Federal Funds Rate sebanyak tiga kali pada 2019. Namun saat ini sudah banyak yang memperkirakan kenaikan suku bunga acuan hanya akan terjadi dua kali.
Tanpa adanya kebijakan moneter yang lebih ketat, dolar AS kehilangan kemolekannya. Selama ini dolar AS begitu seksi karena The Fed cukup agresif menaikkan suku bunga acuan.
Oleh karena itu, ada peluang bagi rupiah untuk membalas dendam hari ini. Jika kemarin rupiah hanya berakhir stagnan, maka hari ini bukan tidak mungkin mata uang Tanah Air akan mencatat apresiasi.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Sentimen ketiga adalah harga minyak, yang terkoreksi setelah kemarin sempat naik di kisaran 1%. Pada pukul 04:46 WIB, harga minyak jenis brent turun 0,95% sementara light sweet berkurang 0,08%.
Koreksi harga minyak disebabkan oleh ekspor minyak Iran yang membaik, meski tengah menjalani sanksi embargo dari AS sejak 4 November lalu. Hal tersebut dikemukakan langsung oleh Presiden Iran Hassan Rouhani.
"AS telah memblokade ekspor minyak kami, Namun jujur saja, ekspor minyak Iran justru naik. Jadi AS telah gagal," tegasnya dalam sebuah pidato yang disiarkan televisi nasional, mengutip Reuters.
Selain itu, harga si emas hitam juga tertekan karena proyeksi teranyar yang dirilis Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC). Dalam laporan bulanannya, OPEC memperkirakan permintaan minyak dunia pada 2019 sebesar 31,44 juta barel/hari. Turun 100.000 barel/hari dibandingkan proyeksi sebelumnya, dan di bawah tingkat produksi global yang saat ini mendekati 33 juta barel/hari.
Artinya, ancaman kelebihan pasokan alias oversupply masih menghantui komoditas ini. Barang yang pasokannya berlimpah tentu harganya turun, dan ini yang sedang terjadi pada minyak.
Penurunan harga minyak bisa berdampak negatif bagi pasar saham, karena emiten energi dan pertambangan menjadi kurang diapresiasi investor. Namun menjadi kabar gembira bagi rupiah, karena membantu menghemat devisa dari impor migas sehingga mengurangi beban transaksi berjalan.
Kemudian sentimen keempat adalah dari Italia, di mana pemerintahan Perdana Menteri Giuseppe Conte semakin melunak soal rencana anggaran 2019. Awalnya, Roma mengajukan rancangan anggaran 2019 dengan defisit mencapai 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang ditolak Uni Eropa karena dianggap terlampau agresif. Italia diminta mengurangi defisit agar tidak kembali jatuh ke jurang krisis fiskal seperti pada 2009-2010 lalu.
Mengutip Reuters, Conte disebut-sebut akan mengajukan rancangan anggaran baru dengan defisit 2% PDB. Pelaku pasar pun menyambut gembira kabar ini, dan yield obligasi pemerintah Italia tenor 10 tahun turun 1,2 bps.
Sepertinya kekhawatiran soal drama fiskal Italia bisa segera diselesaikan. Setelah perang dagang AS-China yang kini mereda, risiko dan Negeri Pizza pun tampaknya bisa sirna dalam waktu dekat.
Secara umum, sentimen eksternal yang beredar masih positif. Semesta yang sedang mendukung ini bisa membantu IHSG meneruskan penguatan, dan rupiah mungkin mulai bisa mencatat apresiasi. Semoga...
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Ekonomi AS Tumbuh Perkasa, Pesta Pasar Keuangan RI Bisa Berlanjut
Kemarin, IHSG ditutup menguat 0,64%. Performa IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona hijau seperti Nikkei 225 yang melesat 2,15%, Shanghai Composite naik 0,31%, Hang Seng melejit 1,61%, Straits Times melompat 1,33%, dan Kospi terdongkrak 1,44%.
Sementara yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 5,8 basis poin (bps). Harga instrumen ini naik 33,8 bps.
Akan tetapi, rupiah ditutup di Rp 14.595/US$ atau sama dengan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. Meski begitu, mayoritas mata uang utama Asia justru melemah saat waktu penutupan pasar spot valas di Indonesia setelah seharian menguat.
Sepanjang hari kemarin, investor dibuat berbunga-bunga karena damai dagang AS-China yang sepertinya semakin nyata. Dalam wawancara dengan Reuters, Presiden AS Donald Trump menyiratkan hubungan Washington-Beijing kini sedang memasuki masa bulan madu. Trump mengatakan bahwa China mulai memborong kedelai asal AS. Ini merupakan tindak lanjut dari pembicaraannya dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G20 di Argentina akhir bulan lalu.
"Saya baru saja mendengar bahwa China membeli banyak kedelai. Ini mereka baru mulai, baru mulai," ungkapnya.
Trump juga menegaskan bahwa China siap menurunkan tarif bea masuk untuk impor mobil asal AS dari 40% menjadi 15%. "Segera, sangat cepat," ujarnya.
Oleh karena itu, Trump pun menepati janjinya dengan tidak menaikkan tarif bea masuk bagi produk-produk China. Sedianya tarif bea masuk bagi impor produk China senilai US$ 200 miliar akan naik dari 10% menjadi 25% pada 1 Januari 2015. "Saya tidak akan menaikkan bea masuk sampai terjadi kesepakatan," katanya.
Berbagai perkembangan tersebut jelas menggambarkan bahwa damai dagang AS-China bukan sesuatu yang mustahil. Terbuka kemungkinan AS-China akan mengakhiri perang dagang yang memanas sejak awal tahun ini.
Investor pun bergairah dan bersemangat memburu cuan. Aliran modal mengalir deras ke negara-negara berkembang di Asia dan dan aset aman (safe haven) ditinggalkan. Ini yang membuat IHSG dan pasar obligasi pemerintah Indonesia mampu menguat.
Namun rupiah tidak mampu memanfaatkan hal ini karena kenaikan harga minyak dan masih kencangnya ambil untung (profit taking). Rupiah memang sangat sensitif terhadap harga minyak yang kemarin naik di kisaran 1%.
Maklum, Indonesia adalah negara net importir migas. Ketika harga minyak naik, maka biaya yang dikeluarkan untuk impor migas akan membengkak.
Hasilnya adalah defisit transaksi berjalan (current account deficit) kemungkinan bakal semakin melebar. Saat pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa minim cenderung tekor, maka rupiah tentu bakal sulit menguat.
Sedangkan profit taking masih terjadi karena sejak 30 Oktober hingga 3 Desember, rupiah menguat 6,93% di hadapan greenback. Rupiah memang melemah sejak 4 Desember hingga kemarin yaitu mencapai 2,17%, tetapi angka ini bahkan belum sampai separuh dari penguatan yang terjadi sebelumnya. Oleh karena itu, hantu profit taking sebenarnya masih terus membayangi langkah rupiah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup di jalur hijau. Dow Jones Industrial Average (DJIA) menguat 0,64%, S&P 500 naik 0,54%, dan Nasdaq Composite bertambah lumayan tinggi yaitu 0,95%. Seperti kompatriotnya di Asia, bursa saham New York juga merasakan angin surga damai dagang AS-China. Presiden Trump bahkan bersedia mengintervensi kasus hukum yang menimpa petinggi Huawei jika itu memang diperlukan untuk mencapai kesepakatan dagang dengan China. Sebelumnya, CFO Huawei Meng Wanzhou ditahan oleh aparat penegak hukum Kanada karena bertransaksi dengan pihak dari Iran.
"Apa pun yang terbaik bagi negara ini, akan saya lakukan. Ini akan menjadi kesepakatan dagang terbesar dalam sejarah, dan pasti sangat penting. Saya tentu akan melakukan intervensi jika memang diperlukan," tegas Trump, mengutip Reuters.
Saham-saham sektor industri manufaktur menjadi salah satu penggerak utama dua Wall Street. Indeks sektor industri di DJIA menguat 1,25%, di mana saham Caterpillar melesat 1,73%, Boeing melompat 1,45%, 3M terdongkrak 1,19%, dan Merck & Co melejit 1,17%.
Sektor industri mendapat suntikan tenaga dari sentimen damai dagang. Dengan harapan tidak ada lagi hambatan tarif, korporasi AS bisa mengakses pasar China dengan lebih leluasa.
Selain itu, investor juga lega karena ada kabar positif dari Inggris. Meski mendapat mosi tidak percaya, hasil pemungutan suara di parlemen ternyata tidak menggoyahkan Theresa May dari kursi Perdana Menteri. May memenangkan dukungan parlemen dengan memperoleh 200 suara, sementara jumlah suara yang ingin mendongkelnya adalah 117.
Perkembangan ini membuat proses pembahasan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) menemui kepastian, karena tidak ada pergantian kepemimpinan. Sebelumnya, May menegaskan pergantian kepemimpinan bukan jalan terbaik bagi Inggris yang sedang menghadapi sengkarut Brexit. Negeri John Bull sudah tidak punya banyak waktu, karena Bexit efektif berlaku pada 29 Maret 2019.
"Pemimpin baru tidak akan bisa bertugas pada 21 Januari (jadwal pelaksaan voting proposal Brexit di parlemen Inggris). Jadi memilih pemimpin baru menyebabkan risiko dalam negosiasi Brexit karena tidak akan ada waktu untuk renegosiasi proposal perpisahan," tegas May, dikutip dari Reuters.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu hijaunya Wall Street yang diharapkan mampu memberikan motivasi bagi bursa saham Asia, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS, yang kemungkinan akan melemah. Pada pukul 04:33 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) terkoreksi 0,29%.
Sentimen global yang positif yaitu damai dagang AS-China dan keberhasilan May mempertahankan jabatannya membuat pelaku pasar berani mengambil risiko. Arus modal kemungkinan masih akan meninggalkan aset-aset aman seperti dolar AS untuk masuk ke instrumen berisiko di negara berkembang Asia. Jika ini terus terjadi, maka IHSG dkk akan mendapatkan durian runtuh.
Selain itu, dolar AS juga tidak disokong oleh data ekonomi terbaru di Negeri Paman Sam. Kementerian Ketenagakerjaan AS melaporkan laju inflasi secara year-on-year (YoY) sebesar 2,2% pada November. Lebih lambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 2,5%, dan bahkan menjadi yang paling lambat sejak Februari.
Laju konsumsi di AS sepertinya belum terlalu kencang, masih ditemui perlambatan. Oleh karena itu, kemungkinan The Federal Reserve/The Fed untuk tetap agresif menaikkan suku bunga acuan pada 2019 semakin mengecil.
Pelaku pasar awalnya memperkirakan Jerome 'Jay' Powell dan rekan bakal menaikkan Federal Funds Rate sebanyak tiga kali pada 2019. Namun saat ini sudah banyak yang memperkirakan kenaikan suku bunga acuan hanya akan terjadi dua kali.
Tanpa adanya kebijakan moneter yang lebih ketat, dolar AS kehilangan kemolekannya. Selama ini dolar AS begitu seksi karena The Fed cukup agresif menaikkan suku bunga acuan.
Oleh karena itu, ada peluang bagi rupiah untuk membalas dendam hari ini. Jika kemarin rupiah hanya berakhir stagnan, maka hari ini bukan tidak mungkin mata uang Tanah Air akan mencatat apresiasi.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Sentimen ketiga adalah harga minyak, yang terkoreksi setelah kemarin sempat naik di kisaran 1%. Pada pukul 04:46 WIB, harga minyak jenis brent turun 0,95% sementara light sweet berkurang 0,08%.
Koreksi harga minyak disebabkan oleh ekspor minyak Iran yang membaik, meski tengah menjalani sanksi embargo dari AS sejak 4 November lalu. Hal tersebut dikemukakan langsung oleh Presiden Iran Hassan Rouhani.
"AS telah memblokade ekspor minyak kami, Namun jujur saja, ekspor minyak Iran justru naik. Jadi AS telah gagal," tegasnya dalam sebuah pidato yang disiarkan televisi nasional, mengutip Reuters.
Selain itu, harga si emas hitam juga tertekan karena proyeksi teranyar yang dirilis Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC). Dalam laporan bulanannya, OPEC memperkirakan permintaan minyak dunia pada 2019 sebesar 31,44 juta barel/hari. Turun 100.000 barel/hari dibandingkan proyeksi sebelumnya, dan di bawah tingkat produksi global yang saat ini mendekati 33 juta barel/hari.
Artinya, ancaman kelebihan pasokan alias oversupply masih menghantui komoditas ini. Barang yang pasokannya berlimpah tentu harganya turun, dan ini yang sedang terjadi pada minyak.
Penurunan harga minyak bisa berdampak negatif bagi pasar saham, karena emiten energi dan pertambangan menjadi kurang diapresiasi investor. Namun menjadi kabar gembira bagi rupiah, karena membantu menghemat devisa dari impor migas sehingga mengurangi beban transaksi berjalan.
Kemudian sentimen keempat adalah dari Italia, di mana pemerintahan Perdana Menteri Giuseppe Conte semakin melunak soal rencana anggaran 2019. Awalnya, Roma mengajukan rancangan anggaran 2019 dengan defisit mencapai 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang ditolak Uni Eropa karena dianggap terlampau agresif. Italia diminta mengurangi defisit agar tidak kembali jatuh ke jurang krisis fiskal seperti pada 2009-2010 lalu.
Mengutip Reuters, Conte disebut-sebut akan mengajukan rancangan anggaran baru dengan defisit 2% PDB. Pelaku pasar pun menyambut gembira kabar ini, dan yield obligasi pemerintah Italia tenor 10 tahun turun 1,2 bps.
Sepertinya kekhawatiran soal drama fiskal Italia bisa segera diselesaikan. Setelah perang dagang AS-China yang kini mereda, risiko dan Negeri Pizza pun tampaknya bisa sirna dalam waktu dekat.
Secara umum, sentimen eksternal yang beredar masih positif. Semesta yang sedang mendukung ini bisa membantu IHSG meneruskan penguatan, dan rupiah mungkin mulai bisa mencatat apresiasi. Semoga...
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data suku bunga acuan (Main Refinancing Rate) Bank Sentral Eropa (19:45 WIB).
- Rilis data klaim pengangguran AS dalam sepekan hingga 7 Desember 2018 (20:30 WIB).
Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
PT Bank MNC Internasional Tbk (BABP) | RUPSLB | 14:00 |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY) | 5,17% |
Inflasi (November 2018 YoY) | 3,23% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (November 2018) | 6% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2,19% PDB |
Transaksi berjalan (Q III-2018) | -3,37% PDB |
Neraca pembayaran (Q III-2018) | -US$ 4,39 miliar |
Cadangan devisa (Oktober 2018) | US$ 115,16 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Ekonomi AS Tumbuh Perkasa, Pesta Pasar Keuangan RI Bisa Berlanjut
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular