
Newsletter
Awas, Tariff Man Tebar Ancaman
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
05 December 2018 06:01

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,57% sedangkan nilai tukar rupiah melemah 0,35% terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Walaupun penguatannya tak besar, IHSG menjadi indeks saham dengan performa terbaik kedua di kawasan Asia. Indeks Shanghai naik 0,42%, indeks Hang Seng naik 0,29%, indeks PSEi (Filipina) naik 2,27%, indeks SET (Thailand) turun 0,02%, indeks Nikkei turun 2,39%, indeks Strait Times turun 0,72%, indeks Kospi turun 0,82%, indeks KLCI (Malaysia) turun 0,28%, dan indeks Nifty 50 (India) turun 0,13%.
Sementara itu, rupiah menjadi mata uang paling lemah di Asia kemarin. Mayoritas mata uang utama Asia masih mampu perkasa terhadap greenback.
Hanya ada tiga mata uang yang ikut melemah bersama rupiah, yakni peso Filipina, dolar Taiwan, dan rupee India. Tapi trio itupun pelemahannya masih lebih tipis dibandingkan rupiah.
Sejatinya, sentimen yang ada cukup kondusif bagi investor untuk terus melakukan aksi beli di pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia. Sebab, hubungan AS-China sepertinya sedang mesra-mesranya sehingga hawa damai dagang pun merebak.
Mengutip Reuters, China bersedia meningkatkan impor produk-produk asal AS senilai US$ 1,2 triliun. Tidak hanya itu, China juga akan menghapus bea masuk untuk impor mobil dan hambatan non-tarif.
"Kami ingin tarif bea masuk (otomotif) turun ke 0%. Saya bisa katakan bahwa Presiden Xi (Jinping) tidak pernah begitu terlibat, dan kata yang mereka sebutkan adalah 'secepatnya'," tegas Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow, dikutip dari Reuters.
Washington pun semakin optimistis bahwa China mampu lebih membuka perekonomian mereka. Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengungkapkan bahwa Presiden China Xi Jinping menunjukkan komitmen tersebut kala berbincang dengan Trump di Buenos Aires.
"Sepertinya ini adalah kali pertama kami merasakan adanya komitmen. Tampaknya ini akan menjadi kesepakatan yang sesungguhnya," ujar Mnuchin, mengutip Reuters.
Namun, kenaikan yang sudah sangat signifikan pada perdagangan kemarin mendorong pelaku pasar untuk melakukan aksi ambil untung di bursa saham regional. Kemarin, indeks Nikkei naik 1%, indeks Shanghai meroket 2,57%, indeks Hang Seng melesat 2,55%, indeks Strait Times menguat 2,34%, dan indeks Kospi naik 1,67%.
Rupiah juga menjadi korban profit taking. Wajar, sejak 30 Oktober rupiah sudah menguat 6,48%. Bagi sebagian investor, angka itu mungkin cukup menggiurkan sehingga memancing aksi ambil untung.
Rupiah juga tertekan lantaran kenaikan harga minyak mentah dunia yang begitu pesat. Pada pukul 16:49 WIB, harga minyak jenis brent melonjak 2% sementara light sweet melompat 2,07%. Pada awal pekan, kedua harga minyak tersebut kompak melesat nyaris 4%.
Kenaikan harga minyak mentah dunia yang signifikan membuat pelaku pasar khawatir bahwa defisit transaksi berjalan (current account deficit) akan kembali membengkak pada kuartal-IV 2018. Pada kuartal-II dan III, defisit transaksi berjalan berada di atas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) akibat besarnya defisit dagang di pos minyak dan gas.
Investor mencemaskan ada risiko tekanan di pasar keuangan, yang tanda-tanda muncul dari imbal hasil (yield) obligasi. Yield untuk obligasi tenor pendek kini lebih tinggi ketimbang tenor panjang.
Pada pukul 05:10 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun adalah 2,7987% dan tenor 3 tahun adalah 2,8079. Lebih tinggi dibandingkan tenor 5 tahun yang sebesar 2,7905%.
Yield tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang sering disebut inverted. Inverted yield menjadi indikator bahwa dalam waktu dekat akan ada tekanan yang besar di pasar keuangan, sebab investor meminta 'jaminan' lebih tinggi untuk memegang obligasi jangka pendek. Artinya risiko dalam jangka pendek lebih besar ketimbang jangka panjang.
Risiko tersebut dicerna oleh pasar sebagai sentimen negatif yang signifikan karena belum pernah terjadi selama 10 tahun terakhir. Melihat hal tersebut, investor pun meninggalkan instrumen berisiko seperti saham dan berpaling ke pelukan aset-aset aman (safe haven).
"Ada kekhawatiran karena terjadi inverted yield. Sebab, ini merupakan tanda-tanda awal terjadinya resesi," tegas Chuck Carlson, CEO Horizon Investment Services yang berbasis di Indiana, mengutip Reuters.
Selain itu, pelaku pasar juga khawatir terhadap risiko tidak tercapainya kesepakatan damai dagang antara AS dengan China. Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping sepakat untuk melakukan gencatan senjata selama 90 hari.
Dalam periode tersebut, Washington dan Beijing akan bernegosiasi seputar transfer teknologi, hak atas kekayaan intelektual, hambatan non-tarif, pencurian siber, dan pertanian. Apabila tidak ada perkembangan yang memuaskan selama 90 hari, maka kedua pihak sepakat tarif bea masuk bagi produk China ke AS akan naik dari 10% menjadi 25%.
"Kami akan mencoba menyelesaikan (negosiaasi). Namun jika tidak, ingat bahwa saya adalah manusia bea masuk (Tariff Man)!," cuit Trump di Twitter.
Kemunculan sang Tariff Man kembali menebar ancaman dan pelaku pasar kemudian berpikir ulang. Apakah AS- China benar-benar bisa mencapai damai dagang? Apakah euforia pasar yang terjadi selama 2 hari terakhir adalah tindakan berlebihan?
"Sell-off (aksi jual massal) hari ini adalah wujud dari kesadaran bahwa belum ada apa-apa yang telah diselesaikan (antara AS dan China). Masih banyak pekerjaan yang harus dituntaskan, sehingga euforia yang terjadi sebelumnya lebih karena pemberitaan tetapi bukan substansi," papar Delores Rubin, Senior Equities Trader di Deutsche Bank Wealth Management yang berbasis di New York, mengutip Reuters.
Sepertinya hubungan AS-China ternyata tidak mesra-mesra amat. Masih ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, dan ada pula risiko mengalami kebuntuan (dealock) yang membuat perang dagang kembali berkobar.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu adalah 'kebakaran' yang terjadi di Wall Street. Dikhawatirkan 'kebakaran' itu merambat sampai ke Asia, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua adalah kekhawatiran terhadap hubungan dagang AS-China yang masih bisa kembali memanas. Kembalinya Trump si Tariff Man bisa membuat pelaku pasar mundur teratur dan memilih bermain aman. Keraguan pun merebak.
"Hari ini adalah badai yang sempurna. Sebenarnya memang mungkin tidak ada apa-apa yang dihasilkan dari pertemuan Trump dan Xi di G20," ujar RJ Grant, Head of Trading di Keefe, Bruyette & Woods yang berbasis di New York, mengutip Reuters.
Jika mode bermain aman terpasang, maka tujuan pelaku pasar biasanya adalah dolar AS. Dari sini kita akan masuk ke sentimen ketiga.
Ada kemungkinan dolar AS bangkit setelah tertekan sejak awal pekan. Tidak hanya karena preferensi investor yang memilih bermain aman, greenback juga bisa mendapat energi dari pernyataan John Williams, Presiden The Federal Reserve/The Fed New York.
"Saat saya berkaca ke belakang dan melihat ekonomi dalam kondisi yang kuat dan memiliki banyak momentum (pertumbuhan), maka kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut pada tahun depan masih masuk akal. Waktu untuk menentukan kapan harus menyesuaikan kebijakan tentu akan kami diskusikan," jelas Williams, dikutip dari Reuters.
"Kami memperhatikan dengan seksama sisi-sisi yang mengalami perlambatan atau tanda-tanda munculnya risiko. Namun perkiraan saya adalah tetap positif," tambah Williams.
Pernyataan ini menghapus pandangan bahwa The Fed mulai dovish. Williams menegaskan bahwa stance The Fed masih cenderung hawkish, setidaknya sampai tahun depan.
Suku bunga acuan masih akan naik secara gradual, dan itu mendukung penguatan dolar AS. Oleh karena itu, mata uang Asia (terutama rupiah) harus waspada.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Ekonomi AS Tumbuh Perkasa, Pesta Pasar Keuangan RI Bisa Berlanjut
Walaupun penguatannya tak besar, IHSG menjadi indeks saham dengan performa terbaik kedua di kawasan Asia. Indeks Shanghai naik 0,42%, indeks Hang Seng naik 0,29%, indeks PSEi (Filipina) naik 2,27%, indeks SET (Thailand) turun 0,02%, indeks Nikkei turun 2,39%, indeks Strait Times turun 0,72%, indeks Kospi turun 0,82%, indeks KLCI (Malaysia) turun 0,28%, dan indeks Nifty 50 (India) turun 0,13%.
Sementara itu, rupiah menjadi mata uang paling lemah di Asia kemarin. Mayoritas mata uang utama Asia masih mampu perkasa terhadap greenback.
Hanya ada tiga mata uang yang ikut melemah bersama rupiah, yakni peso Filipina, dolar Taiwan, dan rupee India. Tapi trio itupun pelemahannya masih lebih tipis dibandingkan rupiah.
Sejatinya, sentimen yang ada cukup kondusif bagi investor untuk terus melakukan aksi beli di pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia. Sebab, hubungan AS-China sepertinya sedang mesra-mesranya sehingga hawa damai dagang pun merebak.
Mengutip Reuters, China bersedia meningkatkan impor produk-produk asal AS senilai US$ 1,2 triliun. Tidak hanya itu, China juga akan menghapus bea masuk untuk impor mobil dan hambatan non-tarif.
"Kami ingin tarif bea masuk (otomotif) turun ke 0%. Saya bisa katakan bahwa Presiden Xi (Jinping) tidak pernah begitu terlibat, dan kata yang mereka sebutkan adalah 'secepatnya'," tegas Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow, dikutip dari Reuters.
Washington pun semakin optimistis bahwa China mampu lebih membuka perekonomian mereka. Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengungkapkan bahwa Presiden China Xi Jinping menunjukkan komitmen tersebut kala berbincang dengan Trump di Buenos Aires.
"Sepertinya ini adalah kali pertama kami merasakan adanya komitmen. Tampaknya ini akan menjadi kesepakatan yang sesungguhnya," ujar Mnuchin, mengutip Reuters.
Namun, kenaikan yang sudah sangat signifikan pada perdagangan kemarin mendorong pelaku pasar untuk melakukan aksi ambil untung di bursa saham regional. Kemarin, indeks Nikkei naik 1%, indeks Shanghai meroket 2,57%, indeks Hang Seng melesat 2,55%, indeks Strait Times menguat 2,34%, dan indeks Kospi naik 1,67%.
Rupiah juga menjadi korban profit taking. Wajar, sejak 30 Oktober rupiah sudah menguat 6,48%. Bagi sebagian investor, angka itu mungkin cukup menggiurkan sehingga memancing aksi ambil untung.
Rupiah juga tertekan lantaran kenaikan harga minyak mentah dunia yang begitu pesat. Pada pukul 16:49 WIB, harga minyak jenis brent melonjak 2% sementara light sweet melompat 2,07%. Pada awal pekan, kedua harga minyak tersebut kompak melesat nyaris 4%.
Kenaikan harga minyak mentah dunia yang signifikan membuat pelaku pasar khawatir bahwa defisit transaksi berjalan (current account deficit) akan kembali membengkak pada kuartal-IV 2018. Pada kuartal-II dan III, defisit transaksi berjalan berada di atas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) akibat besarnya defisit dagang di pos minyak dan gas.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dari Wall Street, kabar agak menakutkan siap menerkam di mana tiga indeks utama terperosok sangat dalam. Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 3,1%, S&P 500 amblas 3,24%, dan Nasdaq Composite ambrol 3,8%. Investor mencemaskan ada risiko tekanan di pasar keuangan, yang tanda-tanda muncul dari imbal hasil (yield) obligasi. Yield untuk obligasi tenor pendek kini lebih tinggi ketimbang tenor panjang.
Pada pukul 05:10 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun adalah 2,7987% dan tenor 3 tahun adalah 2,8079. Lebih tinggi dibandingkan tenor 5 tahun yang sebesar 2,7905%.
Yield tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang sering disebut inverted. Inverted yield menjadi indikator bahwa dalam waktu dekat akan ada tekanan yang besar di pasar keuangan, sebab investor meminta 'jaminan' lebih tinggi untuk memegang obligasi jangka pendek. Artinya risiko dalam jangka pendek lebih besar ketimbang jangka panjang.
Risiko tersebut dicerna oleh pasar sebagai sentimen negatif yang signifikan karena belum pernah terjadi selama 10 tahun terakhir. Melihat hal tersebut, investor pun meninggalkan instrumen berisiko seperti saham dan berpaling ke pelukan aset-aset aman (safe haven).
"Ada kekhawatiran karena terjadi inverted yield. Sebab, ini merupakan tanda-tanda awal terjadinya resesi," tegas Chuck Carlson, CEO Horizon Investment Services yang berbasis di Indiana, mengutip Reuters.
Selain itu, pelaku pasar juga khawatir terhadap risiko tidak tercapainya kesepakatan damai dagang antara AS dengan China. Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping sepakat untuk melakukan gencatan senjata selama 90 hari.
Dalam periode tersebut, Washington dan Beijing akan bernegosiasi seputar transfer teknologi, hak atas kekayaan intelektual, hambatan non-tarif, pencurian siber, dan pertanian. Apabila tidak ada perkembangan yang memuaskan selama 90 hari, maka kedua pihak sepakat tarif bea masuk bagi produk China ke AS akan naik dari 10% menjadi 25%.
"Kami akan mencoba menyelesaikan (negosiaasi). Namun jika tidak, ingat bahwa saya adalah manusia bea masuk (Tariff Man)!," cuit Trump di Twitter.
Kemunculan sang Tariff Man kembali menebar ancaman dan pelaku pasar kemudian berpikir ulang. Apakah AS- China benar-benar bisa mencapai damai dagang? Apakah euforia pasar yang terjadi selama 2 hari terakhir adalah tindakan berlebihan?
"Sell-off (aksi jual massal) hari ini adalah wujud dari kesadaran bahwa belum ada apa-apa yang telah diselesaikan (antara AS dan China). Masih banyak pekerjaan yang harus dituntaskan, sehingga euforia yang terjadi sebelumnya lebih karena pemberitaan tetapi bukan substansi," papar Delores Rubin, Senior Equities Trader di Deutsche Bank Wealth Management yang berbasis di New York, mengutip Reuters.
Sepertinya hubungan AS-China ternyata tidak mesra-mesra amat. Masih ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, dan ada pula risiko mengalami kebuntuan (dealock) yang membuat perang dagang kembali berkobar.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu adalah 'kebakaran' yang terjadi di Wall Street. Dikhawatirkan 'kebakaran' itu merambat sampai ke Asia, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua adalah kekhawatiran terhadap hubungan dagang AS-China yang masih bisa kembali memanas. Kembalinya Trump si Tariff Man bisa membuat pelaku pasar mundur teratur dan memilih bermain aman. Keraguan pun merebak.
"Hari ini adalah badai yang sempurna. Sebenarnya memang mungkin tidak ada apa-apa yang dihasilkan dari pertemuan Trump dan Xi di G20," ujar RJ Grant, Head of Trading di Keefe, Bruyette & Woods yang berbasis di New York, mengutip Reuters.
Jika mode bermain aman terpasang, maka tujuan pelaku pasar biasanya adalah dolar AS. Dari sini kita akan masuk ke sentimen ketiga.
Ada kemungkinan dolar AS bangkit setelah tertekan sejak awal pekan. Tidak hanya karena preferensi investor yang memilih bermain aman, greenback juga bisa mendapat energi dari pernyataan John Williams, Presiden The Federal Reserve/The Fed New York.
"Saat saya berkaca ke belakang dan melihat ekonomi dalam kondisi yang kuat dan memiliki banyak momentum (pertumbuhan), maka kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut pada tahun depan masih masuk akal. Waktu untuk menentukan kapan harus menyesuaikan kebijakan tentu akan kami diskusikan," jelas Williams, dikutip dari Reuters.
"Kami memperhatikan dengan seksama sisi-sisi yang mengalami perlambatan atau tanda-tanda munculnya risiko. Namun perkiraan saya adalah tetap positif," tambah Williams.
Pernyataan ini menghapus pandangan bahwa The Fed mulai dovish. Williams menegaskan bahwa stance The Fed masih cenderung hawkish, setidaknya sampai tahun depan.
Suku bunga acuan masih akan naik secara gradual, dan itu mendukung penguatan dolar AS. Oleh karena itu, mata uang Asia (terutama rupiah) harus waspada.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis pembacaan pertumbuhan ekonomi Australia kuartal III-2018 (07:30 WIB).
- Rilis data indeks PMI sektor jasa China versi Caixin periode November 2018 (08:45 WIB).
- Pidato Presiden European Central Bank (ECB) Mario Draghi (15:30 WIB).
- Rilis data pembacaan akhir indeks PMI sektor jasa zona Eropa periode November 2018 (16:00 WIB).
- Rilis data indeks PMI sektor jasa Inggris periode November 2018 (16:30 WIB).
Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
PT Bank Sinarmas Tbk (BSIM) | RUPSLB | 09:00 |
PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) | RUPSLB | 10:00 |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY) | 5,17% |
Inflasi (November 2018 YoY) | 3,23% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (November 2018) | 6% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2,19% PDB |
Transaksi berjalan (Q III-2018) | -3,37% PDB |
Neraca pembayaran (Q III-2018) | -US$ 4,39 miliar |
Cadangan devisa (Oktober 2018) | US$ 115,16 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Ekonomi AS Tumbuh Perkasa, Pesta Pasar Keuangan RI Bisa Berlanjut
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular