Newsletter

The Fed Mulai Dovish, IHSG dan Rupiah Siap Melesat?

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
29 November 2018 05:50
Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Sentimen ketiga adalah harga minyak yang kembali turun. Bukan sekedar turun, tetapi anjlok. 

Pada pukul 05:07 WIB, harga minyak brent amblas 2,38% dan light sweet jatuh 2,37%. Penyebabnya adalah persepsi kelebihan pasokan di pasar global. 

US Energy Information Administration melaporkan, cadangan minyak AS naik 3,6 juta barel menjadi 450 juta barel pada pekan lalu. Cadangan minyak Negeri Adidaya terus naik dalam 10 pekan beruntun. 

Penurunan harga minyak bisa menjadi sentimen negatif bagi IHSG. Saham-saham energi dan pertambangan akan kurang mendapat apresiasi, dan bisa mempengaruhi IHSG secara keseluruhan. 

Namun sebaliknya, koreksi harga si emas hitam adalah berkah bagi rupiah. Saat harga minyak turun, maka biaya impor migas akan ikut turun. Ini tentu akan meringankan beban di neraca migas, dan kemudian membuat transaksi berjalan (current account) membaik. 

Transaksi berjalan mencerminkan pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa, yang lebih bertahan lama (sustainable) ketimbang pasokan dari portofolio di sektor keuangan alias hot money. Oleh karena itu, transaksi berjalan menjadi komponen penting yang menentukan kekuatan rupiah. 

Jika pasokan valas dari transaksi berjalan bisa membaik, maka rupiah juga akan lebih stabil dan kuat. Oleh karena itu, penurunan harga minyak bisa membantu menstabilkan dan menguatkan rupiah. 

Sentimen keempat adalah pernyataan Bank Sentral Inggris (BoE) mengenai Brexit. BoE menyatakan jika Brexit tidak berjalan mulus dan menghasilkan No Deal Brexit, maka Negeri Ratu Elizabeth harus siap-siap menderita. 

Apabila itu terjadi, maka perdagangan Inggris dengan para tetangganya di Eropa Daratan akan terhambat. Padahal negara-negara Uni Eropa adalah mitra dagang utama Inggris. Pada 2016, porsi ekspor Inggris ke Uni Eropa mencapai 48% dari total ekspor. 

Oleh karena itu, BoE memperkirakan ekonomi Inggris bisa terkontraksi alias negatif 8% per tahun jika No Deal Brexit terjadi. Lebih buruk ketimbang kontraksi saat krisis keuangan global satu dekade lalu, yaitu minus 6,25%. 

Tidak hanya itu. Nilai tukar poundsterling akan melemah sampai 25% di hadapan dolar AS. Kemudian inflasi meroket ke 6,5% (dari sekarang 2,4%) dan harga properti bisa anjlok sampai 30%. 

"Tugas kami bukan berharap yang terbaik. Namun harus bersiap untuk kondisi terburuk," tegas Maret Carney, Gubernur BoE, seperti dikutip Reuters. 

Beberapa waktu lalu, Uni Eropa sudah menerima proposal Brexit yang diajukan pemerintahan Perdana Menteri Theresa May. Kini tinggal membutuhkan pengesahan parlemen, yang rencananya digelar pada 11 Desember. Ini akan berat karena kubu oposisi pimpinan Partai Buruh tentu siap menjegal. 

Kekhawatiran soal Brexit bisa menjadi sentimen negatif di pasar. Jika sentimen ini sampai dominan, maka aset-aset aman (safe haven) kembali akan jadi pilihan investor. Arus modal akan tertuju ke dolar AS, sehingga IHSG dan rupiah harus gigit jari. 

(BERLANJUT KE HALAMAN 5)

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular