
Newsletter
Angin Surga dari Eropa Siap Lambungkan Pasar Indonesia?
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
26 November 2018 05:34

Dari AS, bursa saham Wall Street juga ternyata kompak terkoreksi, bahkan lebih parah daripada Bursa Asia. Selama sepekan, Dow Jones Industrial Average (DJIA) jatuh 4,43%, S&P 500 minus 3,79%, dan Nasdaq Composite anjlok 4,26%.
Akhir pekan lalu, Wall Street hanya dibuka setengah hari karena AS masih memperingati Thanksgiving. Pada hari itu, DJIA melemah 0,73%, S&P 500 terkoreksi 0,65%, dan Nasdaq berkurang 0,48%.
Selain perekonomian global yang kurang kondusif akibat kembali munculnya risiko perang dagang, Wall Street juga tertekan oleh aksi jual besar-besaran (sell off) yang menimpa saham-saham teknologi.
Dalam sepekan, harga saham Apple anjlok 10,98%, Amazon amblas 5,73%, Netfix ambrol 9,57%, Microsoft jeblok 4,82%, dan Intel turun 4,69%. Isu yang membayangi saham-saham teknologi ini datang dari kekhawatiran investor terhadap prospek Apple.
Penjualan iPhone seri terbaru sepertinya kurang ciamik. Sejumlah pemasok komponen untuk iPhone dikabarkan mendapat instruksi untuk tidak menambah lini produksi karena memang permintaan kurang oke.
Selain itu, saham-saham energi juga ikut terjun bebas menyusul harga minyak mentah dunia yang sedang loyo. Dalam sepekan, harga saham Exxon Mobil dan Chevron kompak amblas masing-masing sebesar 4,39% dan 4,59%.
Anjloknya harga minyak juga menimbulkan persepsi lain yaitu semakin perlambatan ekonomi yang semakin terkonfirmasi. AS yang saat ini menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan melambat dalam beberapa waktu ke depan.
Hingga saat ini, ekonomi Negeri Paman Sam melaju kencang karena dampak stimulus pajak yang dikeluarkan Presiden Donald Trump akhir tahun lalu. Pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi dan badan di AS sukses menggenjot konsumsi masyarakat dan korporasi di sana.
Namun ini tidak akan berlangsung selamanya. Akan datang waktu di mana semua akan kembali ke mode normal. Bahkan kemungkinan ini sudah terjadi pada kuartal IV-2018.
The Federal Reserve/The Fed memperkirakan ekonomi Negeri Adidaya pada kuartal IV-2019 tumbuh 2,5% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 3,5%.
Saat sang lokomotif memperlambat laju, maka gerbong-gerbong di belakangnya juga akan melambat. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global 3,7% pada 2019, melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%.
Ini tentu bukan berita baik bagi investor. Hasilnya adalah seperti yang sudah disebutkan di atas, pelaku pasar memilih bermain aman dan menanggalkan instrumen berisiko seperti saham. Arus modal lebih memilih berlindung di safe haven assets seperti greenback atau obligasi pemerintah AS.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Akhir pekan lalu, Wall Street hanya dibuka setengah hari karena AS masih memperingati Thanksgiving. Pada hari itu, DJIA melemah 0,73%, S&P 500 terkoreksi 0,65%, dan Nasdaq berkurang 0,48%.
Selain perekonomian global yang kurang kondusif akibat kembali munculnya risiko perang dagang, Wall Street juga tertekan oleh aksi jual besar-besaran (sell off) yang menimpa saham-saham teknologi.
Dalam sepekan, harga saham Apple anjlok 10,98%, Amazon amblas 5,73%, Netfix ambrol 9,57%, Microsoft jeblok 4,82%, dan Intel turun 4,69%. Isu yang membayangi saham-saham teknologi ini datang dari kekhawatiran investor terhadap prospek Apple.
Penjualan iPhone seri terbaru sepertinya kurang ciamik. Sejumlah pemasok komponen untuk iPhone dikabarkan mendapat instruksi untuk tidak menambah lini produksi karena memang permintaan kurang oke.
Selain itu, saham-saham energi juga ikut terjun bebas menyusul harga minyak mentah dunia yang sedang loyo. Dalam sepekan, harga saham Exxon Mobil dan Chevron kompak amblas masing-masing sebesar 4,39% dan 4,59%.
Anjloknya harga minyak juga menimbulkan persepsi lain yaitu semakin perlambatan ekonomi yang semakin terkonfirmasi. AS yang saat ini menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan melambat dalam beberapa waktu ke depan.
Hingga saat ini, ekonomi Negeri Paman Sam melaju kencang karena dampak stimulus pajak yang dikeluarkan Presiden Donald Trump akhir tahun lalu. Pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi dan badan di AS sukses menggenjot konsumsi masyarakat dan korporasi di sana.
Namun ini tidak akan berlangsung selamanya. Akan datang waktu di mana semua akan kembali ke mode normal. Bahkan kemungkinan ini sudah terjadi pada kuartal IV-2018.
The Federal Reserve/The Fed memperkirakan ekonomi Negeri Adidaya pada kuartal IV-2019 tumbuh 2,5% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 3,5%.
Saat sang lokomotif memperlambat laju, maka gerbong-gerbong di belakangnya juga akan melambat. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global 3,7% pada 2019, melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%.
Ini tentu bukan berita baik bagi investor. Hasilnya adalah seperti yang sudah disebutkan di atas, pelaku pasar memilih bermain aman dan menanggalkan instrumen berisiko seperti saham. Arus modal lebih memilih berlindung di safe haven assets seperti greenback atau obligasi pemerintah AS.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular