
Newsletter
Awas, Wall Street Masih Panas!
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
21 November 2018 05:46

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu 'kebakaran' di bursa saham New York.
Indonesia tidak bisa menghindar lagi ketika bursa saham Asia ikut terbakar. IHSG sepertinya akan berada di bibir jurang, sulit menghindari kejatuhan.
Kedua adalah harga minyak, yang sukses membuat Wall Street terkoreksi dalam. Namun bagi Indonesia, penurunan harga minyak bisa berarti kabar buruk atau kabar baik.
Kabar buruknya adalah penurunan harga minyak akan membuat emiten energi dan pertambangan kurang diapresiasi, layaknya Exxon dan Chevron di Wall Street. Jika harga saham emiten energi dan pertambangan turun, maka bisa saja membawa serta IHSG secara keseluruhan.
Kabar baiknya adalah penurunan harga minyak akan membuat impor migas menjadi lebih murah. Bagi negara net importir migas seperti Indonesia, ini tentu menjadi berkah. Tidak perlu banyak valas untuk mengimpor migas, sehingga mengurangi beban neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account). Artinya fundamental rupiah akan lebih kuat sehingga mata uang Tanah Air menjadi stabil.
Sentimen ketiga adalah nilai tukar dolar AS. Meski penurunan harga minyak positif buat rupiah, tetapi mata uang ini tetap akan sulit menguat kalau dolar AS sedang sangat perkasa. Pada pukul 05:03 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama) menguat cukup tajam yaitu 0,64%.
Sikap investor yang memilih bermain aman membuat dolar AS menjadi primadona. Permintaan terhadap mata uang ini meningkat dan nilainya menguat.
Risiko memang sedang tinggi, utamanya akibat hubungan AS-China yang kembali tegang. Penyebabnya adalah kegagalan Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) dalam menghasilkan komunike dalam KTT di Papua Nugini. Ini adalah kali pertama sepanjang sejarah APEC gagal menelurkan kesepakatan bersama.
AS dan China bersitegang karena masalah perdagangan. Sejak awal tahun, kedua negara ini memang terlibat perang dagang dengan saling berbalas mengenakan bea masuk.
China menuding AS memaksakan kehendak dan ingin membenarkan praktik proteksionisme untuk masuk dalam salah satu poin komunike APEC. Menurut Beijing, Washington menjadikan APEC sebagai arena untuk melampiaskan amarah. China pun terpaksa masuk ke arena pertandingan tersebut.
"Ada satu negara yang memaksa memasukkan ide mereka ke teks yang harus disepakati pihak-pihak lain, membenarkan proteksionisme dan unilateralisme. Tidak mau menerima masukan dari China dan negara-negara lainnya," tegas Wang Yi, Penasihat Negara China, seperti dikutip Reuters.
Namun AS membantah tuduhan itu. Gedung Putih menilai China 'memelintir' fakta yang sebenarnya.
"Ada 20 dari 21 negara yang siap menandatangani komunike, hanya China yang tidak bersedia. Kami berusaha menyelesaikan ini, tetapi mereka tidak mau," kata seorang pejabat pemerintah AS kepada Reuters.
Dikhawatirkan hubungan yang buruk ini berlanjut hingga ke pertemuan Presiden Trump dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G20 di Argentina akhir November hingga awal Desember mendatang. Padahal pelaku pasar sudah berharap banyak dari pertemuan ini.
"Gedung Putih melihat KTT ASEAN dan APEC adalah panggung pembuka untuk G20. Kami tidak ingin berharap banyak, saya rasa ekspektasi tidak akan terlalu tinggi setelah pengalaman ini (di APEC)," lanjut sang sumber.
Perkembangan ini membuat pelaku pasar panik dan mencari selamat masing-masing. Instrumen berisiko tidak menjadi pilihan utama, semua memilih aset aman (safe haven). Dolar AS pun kebanjiran peminat sehingga nilainya menguat.
Rupiah cs di Asia harus waspada. Jika pola ini berlanjut, maka dolar AS akan kembali digdaya di Benua Kuning.
Rupiah sudah menguat dalam 5 hari perdagangan. Apabila dolar AS terus sangar, maka kemungkinan streak penguatan rupiah akan terhenti hari ini.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Indonesia tidak bisa menghindar lagi ketika bursa saham Asia ikut terbakar. IHSG sepertinya akan berada di bibir jurang, sulit menghindari kejatuhan.
Kedua adalah harga minyak, yang sukses membuat Wall Street terkoreksi dalam. Namun bagi Indonesia, penurunan harga minyak bisa berarti kabar buruk atau kabar baik.
Kabar buruknya adalah penurunan harga minyak akan membuat emiten energi dan pertambangan kurang diapresiasi, layaknya Exxon dan Chevron di Wall Street. Jika harga saham emiten energi dan pertambangan turun, maka bisa saja membawa serta IHSG secara keseluruhan.
Kabar baiknya adalah penurunan harga minyak akan membuat impor migas menjadi lebih murah. Bagi negara net importir migas seperti Indonesia, ini tentu menjadi berkah. Tidak perlu banyak valas untuk mengimpor migas, sehingga mengurangi beban neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account). Artinya fundamental rupiah akan lebih kuat sehingga mata uang Tanah Air menjadi stabil.
Sentimen ketiga adalah nilai tukar dolar AS. Meski penurunan harga minyak positif buat rupiah, tetapi mata uang ini tetap akan sulit menguat kalau dolar AS sedang sangat perkasa. Pada pukul 05:03 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama) menguat cukup tajam yaitu 0,64%.
Sikap investor yang memilih bermain aman membuat dolar AS menjadi primadona. Permintaan terhadap mata uang ini meningkat dan nilainya menguat.
Risiko memang sedang tinggi, utamanya akibat hubungan AS-China yang kembali tegang. Penyebabnya adalah kegagalan Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) dalam menghasilkan komunike dalam KTT di Papua Nugini. Ini adalah kali pertama sepanjang sejarah APEC gagal menelurkan kesepakatan bersama.
AS dan China bersitegang karena masalah perdagangan. Sejak awal tahun, kedua negara ini memang terlibat perang dagang dengan saling berbalas mengenakan bea masuk.
China menuding AS memaksakan kehendak dan ingin membenarkan praktik proteksionisme untuk masuk dalam salah satu poin komunike APEC. Menurut Beijing, Washington menjadikan APEC sebagai arena untuk melampiaskan amarah. China pun terpaksa masuk ke arena pertandingan tersebut.
"Ada satu negara yang memaksa memasukkan ide mereka ke teks yang harus disepakati pihak-pihak lain, membenarkan proteksionisme dan unilateralisme. Tidak mau menerima masukan dari China dan negara-negara lainnya," tegas Wang Yi, Penasihat Negara China, seperti dikutip Reuters.
Namun AS membantah tuduhan itu. Gedung Putih menilai China 'memelintir' fakta yang sebenarnya.
"Ada 20 dari 21 negara yang siap menandatangani komunike, hanya China yang tidak bersedia. Kami berusaha menyelesaikan ini, tetapi mereka tidak mau," kata seorang pejabat pemerintah AS kepada Reuters.
Dikhawatirkan hubungan yang buruk ini berlanjut hingga ke pertemuan Presiden Trump dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G20 di Argentina akhir November hingga awal Desember mendatang. Padahal pelaku pasar sudah berharap banyak dari pertemuan ini.
"Gedung Putih melihat KTT ASEAN dan APEC adalah panggung pembuka untuk G20. Kami tidak ingin berharap banyak, saya rasa ekspektasi tidak akan terlalu tinggi setelah pengalaman ini (di APEC)," lanjut sang sumber.
Perkembangan ini membuat pelaku pasar panik dan mencari selamat masing-masing. Instrumen berisiko tidak menjadi pilihan utama, semua memilih aset aman (safe haven). Dolar AS pun kebanjiran peminat sehingga nilainya menguat.
Rupiah cs di Asia harus waspada. Jika pola ini berlanjut, maka dolar AS akan kembali digdaya di Benua Kuning.
Rupiah sudah menguat dalam 5 hari perdagangan. Apabila dolar AS terus sangar, maka kemungkinan streak penguatan rupiah akan terhenti hari ini.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular