Newsletter

Awas, Wall Street Masih Panas!

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
21 November 2018 05:46
Saham Teknologi dan Energi 'Bakar' Wall Street
Perdagangan Saham di Wall Street (Reuters)
Akan tetapi, Indonesia hari ini tidak bisa menghindar karena 'kebakaran' di Wall Street masih terjadi dan bahkan semakin parah. Pada perdagangan yang berakhir dini hari tadi, DJIA anjlok lebih dalam yaitu 2,21%. Sementara S&P 500 amblas 1,81%, dan Nasdaq jatuh 1,75%. 

Aksi jual besar-besaran (sell off) kembali terjadi dan lagi-lagi menimpa saham-saham teknologi. Apple anjlok 4,78%, Amazon ambrol 1,11%, Netflix jatuh 1,34%, Microsoft amblas 2,78%, dan Intel terperosok 1,27%. 

Isu yang membayangi masih sama dengan kemarin, yaitu kekhawatiran investor terhadap prospek Apple. Penjualan iPhone seri terbaru sepertinya kurang ciamik. Sejumlah pemasok komponen untuk iPhone dikabarkan mendapat instruksi untuk tidak menambah lini produksi karena memang permintaan kurang oke. 


Tekanan hari ini bertambah karena saham-saham energi ikut jatuh. Saham Exxon Mobil anjlok 2,84% sedangkan Chevron amblas 2,78%. 

Harga minyak yang jatuh dalam menyeret saham-saham energi ke zona merah. Pada pukul 04:53 WIB, harga minyak jenis brent melemah sampai 6,53% dan light sweet terkoreksi dalam yaitu 6,68%. Parah sekali. 

Penyebab penurunan harga minyak adalah risiko perlambatan ekonomi global. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia pada 2018 dan 2019 tumbuh 3,7%. Melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%. 

Perang dagang AS vs China masih menjadi faktor penyebab perlambatan ekonomi global. Kala dua kekuatan ekonomi terbesar dunia saling hambat dalam perdagangan, maka rantai pasok global akan terpengaruh.  

Selain itu, mesin pertumbuhan ekonomi dunia memang sedang pincang. AS boleh dibilang menjadi satu-satunya negara dengan pertumbuhan ekonomi yang melaju kencang sementara Eropa, Jepang, China, dan negara-negara berkembang malah melambat. 

Saat ekonomi global melambat dan berjalan dengan satu mesin, maka permintaan energi juga akan berkurang. Artinya, permintaan minyak turun dan harganya ikut jatuh. 

Kondisi ini diperparah dengan rencana Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) mengurangi produksi hingga 1,4 juta barel pada 2019. Hal ini didasari perhitungan bahwa permintaan minyak dunia pada 2019 naik 1,29 juta barel/hari menjadi 31,54 juta barel/hari. Sedangkan produksi minyak tahun depan diperkirakan naik 127.000 barel/hari menjadi 32,9 juta barel/hari. Artinya ada potensi kelebihan pasokan (over supply) sebesar 1,36 juta barel/hari.  

Pengurangan produksi diharapkan bisa mendongkrak harga minyak. Namun dengan ekonomi global yang melambat, kenaikan harga minyak adalah bencana. 

Bayangkan saja, ekonomi lesu tetapi harga minyak naik. Hasilnya malah harga minyak bisa semakin jatuh karena permintaan tambah turun. 

"Pasokan di pasar saat ini sangat baik. Oleh karena itu, mengurangi produksi justru akan berdampak negatif karena pasar menjadi ketat. Saya harap produsen dan konsumen menggunakan akal sehat dalam situasi yang sulit seperti ini," tegas Fatih Birol, Ketua International Energy Agency (IEA), dikutip dari Reuters. 

(BERLANJUT KE HALAMAN 3)

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular