
Waspada, Wall Street 'Berdarah'

Pada perdagangan kemarin, IHSG berakhir dengan koreksi 1,65%. Bagaimana dengan bursa saham Asia lainnya? Nikkei 225 naik 0,09%, Hang Seng menguat 0,12%, Shanghai Composite melesat 1,22%, Kospi melemah 0,27%, dan Straits Times turun 0,32%. Jadi IHSG adalah yang terburuk di kawasan.
Sementara rupiah ditutup melemah 0,89% di hadapan greenback di perdagangan pasar spot. Kala penutupan pasar spot di Indonesia, semua mata uang utama Benua Kuning juga melemah. Namun tidak ada yang melemah sedalam rupiah.
Sentimen global dan domestik memang sedang kurang kondusif. Perkembangan di Eropa membuat investor memilih bermain aman dan menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang Asia, termasuk Indonesia.
Lagi-lagi proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) menemui hambatan. Mengutip Sunday Times, 4 orang menteri di kabinet Perdana Menteri Theresa May dikabarkan siap mundur karena mendukung Inggris untuk tetap menjadi bagian Uni Eropa. Akhir pekan lalu, Wakil Menteri Transportasi Jo Johnson sudah mundur dan kabarnya menteri-menteri lain siap menyusul.
Tidak hanya itu, Brussel juga disebut menolak proposal yang diajukan London terkait kesepakatan sementara terkait wilayah kepabeanan di Pulau Irlandia. "Negosiasi secara intens terus dilakukan, tetapi isu wilayah kepabeanan di Irlandia belum menemui jalan keluar," kata Michael Barnier, Kepala Negosiator Uni Eropa untuk Brexit.
Di Italia, drama rencana anggaran negara 2019 masih menjadi kekhawatiran pelaku pasar. Uni Eropa sudah menolak rencana anggaran tersebut dan memberi waktu kepada Italia untuk merevisi sampai Selasa waktu setempat.
Uni Eropa juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Negeri Pizza. Untuk 2019, Uni Eropa memperkirakan ekonomi Italia tumbuh 1,1%. Lebih rendah ketimbang proyeksi pemerintahan Perdana Menteri Giuseppe Conte di 1,2%.
Ketidakpastian soal Brexit dan fiskal Italia membuat investor menghindari Benua Biru. Bermain aman menjadi pilihan utama dan dolar AS pun menjadi pilihan pertama.
Apalagi greenback masih merasakan dampak positif dari hasil rapat The Federal Reserve/The Fed edisi Oktober 2018. Jerome 'Jay' Powell dan sejawat memang mempertahankan suku bunga acuan di 2-2,25%. Namun The Fed masih memandang kenaikan suku bunga acuan secara bertahap adalah kebijakan yang layak untuk ditempuh.
Pernyataan ini membuat pelaku pasar bernafsu memburu dolar AS. Pasalnya kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengatrol imbalan investasi, terutama di instrumen berpendapatan tetap.
Namun, IHSG dan rupiah menjadi yang terlemah di Asia tentunya karena dibebani sentimen negatif domesik. Akhir pekan lalu, Bank Indonesia (BI) merilis Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal III-2018 mengalami defisit US$ 4,39 miliar, paling dalam sejak kuartal II-2018.
NPI terdiri dari transaksi berjalan (current account) serta transaksi modal dan finansial. Pada kuartal II-2018, keduanya tekor.
Transaksi berjalan, yang menggambarkan pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa, mengalami defisit US$ 8,85 miliar atau 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini merupakan defisit terdalam sejak kuartal II-2014.
Sementara transaksi modal dan finansial, yang mencerminkan pasokan valas dari investasi di sektor riil dan pasar keuangan, defisit US$ 4,67 miliar. Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu minus US$ 3,44 miliar.
Dengan NPI yang defisit, bahkan lebih dalam dibandingkan kuartal sebelumnya, maka artinya Indonesia sedang kekurangan valas. Ini tentu akan menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan domestik.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kabar mengejutkan datang dari Wall Street, tiga indeks utama mengalami 'pendarahan' hebat. Dow Jones Industrial Average (DJIA) amblas 2,32%, S&P 500 jatuh 1,95%, dan Nasdaq Composite ambrol 2,98%.
Ada dua saham yang menjadi biang kerok kejatuhan bursa saham New York yaitu Apple (-5,04%) dan Goldman Sachs (-7,45%). Gara-gara Apple, indeks sektor teknologi di DJIA jeblok 3,54% sementara Goldman Sachs membuat indeks sektor keuangan terpangkas 2,85%.
Lumentum Holdings, perusahaan pemasok teknologi Face IDE untuk iPhone, memotong proyeksi pendapatan mencapai 50% untuk 2018 menjadi sekixar US$ 50 miliar. Penyebabnya adalah kinerja buruk dari satu 'pelanggan raksasa', yang kemungkinan besar adalah Apple.
Pelaku pasar memperkirakan penjualan iPhone teranyar seri X kurang meyakinkan. Konsumen dinilai sudah jengah dengan iPhone yang selalu dibanderol jauh lebih mahal setiap kali rilis model terbaru. Akibatnya, konsumen di negara-negara besar seperti India, China, dan Indonesia banyak beralih ke pabrikan lain yang lebih ramah di kantong.
Sebelum Lumentum, pemasok Apple lainnya juga sudah mengeluh. Mengutip harian Nikkei, Apple telah meminta Foxconn dan Pegatron agar jangan dulu menambah lini produksi terutama untuk iPhone XR dan XS Max. Lini produksi yang ada saat ini sudah cukup karena permintaan memang tidak terlalu membludak.
Sementara kejatuhan saham Goldman Sachs disebabkan oleh kabar pemerintah Malaysia yang meminta pengembalian dana hasil korupsi 1MDB. Sebagai mana Reuters mengutip Bloomberg, Menteri Keuangan Malaysia Lim Guan Eng mengatakan Negeri Harimau Malaya meminta seluruh dana yang dibayarkan ke Goldman Sachs untuk kepentingan 1IMDB dikembalikan. Lim menilai Goldman Sachs telah mengaku bersalah setelah bankir mereka Tim Leissner mengakui perannya dalam skandal 1MDB.
"Kami menyangkal tuduhan telah berbuat kesalahan," tegas Michae DuVally, Juru Bicara Goldman Sachs, kepada Reuters.
Goldman Sachs mendapat komisi US$ 600 juta dari kerja sama dengan 1MDB. Termasuk dalam penerbitan tiga seri obligasi pada 2012 dan 2013 yang meraup dana mencapai US$ 6,5 miliar.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu kejatuhan Wall Street yang bisa menyebabkan aura negatif bagi bursa saham Asia. Semoga virus koreksi dari New York tidak menyebar sampai ke Benua Kuning, termasuk Indonesia.
Sebab tentu masih segar di ingatan terjadi dua kali aksi jual besar-besaran (sell-off) di Wall Street pada Oktober. Saat itu Wall Street terkoreksi sangat dalam. 'Kebakaran' di Wall Street kemudian menjalar ke Asia, termasuk IHSG.
Oleh karena itu, Indonesia harus waspada melihat merahnya Wall Street hari ini. Jangan-jangan tragedi Oktober bisa terulang lagi.
Sentimen kedua adalah penguatan nilai tukar dolar AS yang kemungkinan masih berlanjut. Pada pukul 04:46 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat cukup tajam yaitu 0,77% ke 97,656. Ini merupakan posisi tertinggi sejak Juni 2017.
Sentimen negatif dari Eropa dan hawa kenaikan suku bunga acuan di Negeri Paman Sam masih membayangi benak pelaku pasar. Hasilnya adalah dolar AS menjadi pilihan utama, karena selain aman juga menawarkan cuan karena kenaikan suku bunga acuan.
Jika dolar AS masih perkasa di Asia, maka rupiah akan kembali menghadapi tantangan berat. Akan sulit menghadapi amukan dolar AS sehingga ada kemungkinan rupiah kembali tertekan.
Namun ada sentimen ketiga yang bisa menolong rupiah, yaitu berlanjutnya tren penurunan harga minyak. Pada pukul 04:51 WIB, harga minyak jenis brent jatuh 1,33% sementara light sweet terperosok 1,94%. Koreksi yang amat dalam.
Penurunan harga minyak terjadi meski Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) memutuskan untuk mengurangi produksi tahun depan. Khalid al-Falih, Menteri Energi Arab Saudi, menyebutkan produksi minyak tahun depan perlu dikurangi sekitar 1 juta barel/hari karena ternyata pasokan komoditas ini cukup berlimpah.
"Kesepakatan kami adalah pasar harus diseimbangkan. Kalau itu perlu dilakukan dengan mengurangi pasokan 1 juta barel/hari, maka akan kami lakukan. Sanksi (AS kepada Iran) ternyata tidak mengurangi pasokan seperti perkiraan pasar," ungkap al-Falih, dikutip dari Reuters.
Namun, rencana ini mendapat kritik dari Presiden AS Donald Trump. Melalui cuitan di Twitter, Trump meminta agar Arab Saudi dan OPEC tidak mengurangi pasokan minyak agar harga si emas hitam tidak melambung.
"Berharap Arab Saudi dan OPEC tidak mengurangi produksi minyak. Harga minyak seharusnya lebih rendah karena (tingginya) pasokan," cuit Trump.
'Veto' Trump tampaknya sukses, investor lebih condong melihat pasokan akan melimpah meski ada risiko penurunan produksi dan ekspor Iran akibat sanksi AS. Ini membuat harga minyak terjun bebas.
Penurunan harga minyak bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG, karena emiten energi akan kurang mendapat apresiasi. Namun bagi rupiah, koreksi harga minyak adalah berkah karena dapat mengurangi biaya impor migas. Defisit di neraca migas adalah biang kerok tekornya neraca perdagangan dan transaksi berjalan.
Bicara transaksi berjalan, maka kita bisa masuk sentimen keempat. Pemerintah menegaskan belum ada rencana untuk menambah kebijakan penyelamatan transaksi berjalan. "Pesan yang disampaikan pemerintah dan BI sudah konsisten," ujar Suahasil Nazara, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan.
Pemerintah sudah merilis sejumlah kebijakan seperti kewajiban penggunaan campuran bahan bakar nabati sebesar 20% untuk minyak diesel/solar (B20) hingga kenaikan Pajak Penghasilan (PPh) impor untuk lebih dari 1.000 produk luar negeri. Tujuannya adalah untuk mengendalikan impor sehingga tidak banyak devisa yang terbuang sehingga transaksi berjalan dan rupiah bisa lebih stabil.
Sementara BI sudah mengeluarkan ajian pamungkas yaitu kenaikan suku bunga acuan hingga 150 basis poin (bps) sepanjang 2018. Kebijakan ini diharapkan mampu membuat pasar keuangan Indonesia lebih atraktif sehingga mengundang arus modal masuk yang bisa menjadi pijakan bagi penguatan rupiah.
Namun sejauh ini rupiah masih melemah signifikan. Sejak awal tahun, rupiah terdepresiasi 7,6% terhadap dolar AS. Rupiah adalah mata uang dengan pelemahan terdalam kedua di Asia, hanya lebih baik dari rupee India.
Tanpa kebijakan baru, bisa muncul kekhawatiran transaksi berjalan akan semakin memburuk pada kuartal IV-2018. Dampaknya adalah rupiah berisiko untuk terus melemah. Apabila sampai muncul persepsi rupiah akan terus melemah ke depannya, maka investor akan menghindari aset-aset berbasis mata uang ini. Investor mana yang mau memegang aset yang harganya bakal turun?
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
- Menko Perekonomian Darmin Nasution dan sejumlah menteri Kabinet Kerja menggelar rapat koordinasi membahas Daftar Negatif Investasi (13:30 WIB).
- Rilis data tingkat pengangguran Inggris periode September 2018 (16:30 WIB).
- Pidato anggota Dewan Gubernur The Fed Lael Brainard (22:00 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY) | 5,17% |
Inflasi (Oktober 2018 YoY) | 3,16% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2,19% PDB |
Transaksi berjalan (Q III-2018) | -3,37% PDB |
Neraca pembayaran (Q III-2018) | -US$ 4,39 miliar |
Cadangan devisa (Oktober 2018) | US$ 115,16 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Efek Buruk SVB Mulai Memudar, Saatnya Rupiah Menguat Lagi!
