Newsletter

Cermati Pemilu Sela di AS Sampai Penurunan Keyakinan Konsumen

Hidayat Setiaji & Yazid Muamar & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
06 November 2018 05:35
Cermati Pemilu Sela di AS Sampai Penurunan Keyakinan Konsumen
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak berlawanan arah pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan obligasi pemerintah menguat, tetapi rupiah terdepresiasi di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). 

Kemarin, IHSG ditutup menguat 0,24% dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun turun 5,3 basis poin (bps) sehingga harga instrumen ini melonjak 30,9 bps. Namun, rupiah malah melemah seharian dan berakhir dengan depresiasi 0,17% terhadap greenback. 

IHSG boleh dipuji karena menjadi salah satu bursa saham terbaik di Asia, yang mayoritas berkubang d zona merah. Indeks Nikkei 225 anjlok 1,55%, Hang Seng amblas 2,08%, Shanghai Composite turun 0,41%, Kospi jatuh 1,02%, Straits Times ambrol 1,79%, dan KLCI (Malaysia) terkoreksi 0,3%. Hanya PSEI (Filipina) yang memiliki performa lebih baik dibandingkan IHSG dengan penguatan mencapai 1,02%. 


Harga aset yang sudah di pasar saham dan obligasi Indonesia yang sudah murah sepertinya menggoda investor untuk melakukan aksi borong. Sejak awal November, IHSG memang sudah menguat 1,53%. Akan tetapi, penguatan itu belum ada apa-apanya karena IHSG sudah berkurang 6,85% sejak awal Oktober. 

Oleh karena itu, investor tidak tanggung-tanggung dalam memborong ekuitas di Indonesia, saham-saham kelas paus pun banyak dicari. Saham-saham yang banyak dibeli oleh investor asing di antaranya ASII (beli bersih Rp 199,46 miliar), BBCA (Rp 184,05 miliar), HMSP (Rp 101,48 miliar), TLKM (Rp 100,59 miliar), dan BBRI (Rp 85,6 miliar). 

Kemudian, keputusan keputusan yang tidak akan menaikkan cukai rokok tahun depan juga masih menjadi penopang saham emiten rokok, yakni HMSP (+2,89%) dan GGRM (+3,67%). Naiknya dua saham ini mampu melambungkan indeks saham konsumsi hingga 1,54%.

Begitu pula dengan pasar obligasi Indonesia. Betul bahwa yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun sudah amblas 33,2 bps sejak 26 Oktober. Namun selama awal Oktober hingga kemarin, yield masih melonjak 30,9 bps sehingga harga obligasi sebenarnya masih 'terbanting'. 


Selain itu, ada sentimen positif yaitu rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal III-2018 yang sebesar 5,17%. Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 5,27%, tetapi lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun CNBC yaitu 5,14%. 

Namun arus modal di pasar saham dan obligasi tidak mampu menyelamatkan rupiah. Sebab tarikan sentimen negatif dari luar ternyata lebih kuat. 


Pada pukul 16:33 WIB kemarin, seluruh mata uang Asia memang melemah tanpa terkecuali. Yen Jepang melemah 0,04%, yuan China minus 0,56%, won Korea Selatan terpangkas 0,6%, dolar Taiwan jatuh 0,4%, dolar Hong Kong berkurang 0,22%, rupee India terdepreiasi 0,83%, ringgit Malaysia defisit 0,31%, dolar Singapura terpeleset 0,1%, baht Thailand terperosok 0,4%, dan peso Filipina ambruk 0,34%. 

Berbagai sentimen membuat pilihan investor jatuh kepada dolar AS ketimbang mata uang Benua Kuning. Angka pengangguran AS pada Oktober 2018 memang masih bertahan di 3,7% tetapi penciptaan lapangan kerja mencapai 250.000. Jauh di atas konsensus pasar yang dihimpun Refinitiv yaitu 190.000, juga jauh melampaui angka bulan sebelumnya yaitu 118.000. 

Kemudian upah per jam rata-rata meningkat sebesar 0,2% secara bulanan (month-to-month/MtM) atau sebesar 3,1% secara tahunan. Peningkatan tahunan sebesar itu merupakan yang tercepat sejak tahun 2009. 

Artinya, perekonomian Negeri Adidaya masih kuat sehingga membuat The Federal Reserve/The Fed punya alasan untuk terus menerapkan kebijakan moneter ketat. Bulan ini, Federal Funds Rate diperkirakan tetap, tetapi akan naik pada Desember.   

Akibatnya, berinvestasi di AS akan semakin menguntungkan karena kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek imbalan penanaman modal, terutama di instrumen berpendapatan tetap. Permintaan dolar AS akan tetap tinggi sehingga mata uang ini memang punya alasan untuk menguat. 

Kemudian dari eksternal, perang dagang AS vs China kembali menjadi kekhawatiran pelaku pasar. Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping memang akan menggelar pertemuan di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires (Argentina) akhir bulan ini. Namun bukan berarti pertemuan tersebut akan menelurkan hasil positif. 

Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence 'Larry' Kudlow mengingatkan masih ada risiko. Bahkan bukan tidak mungkin perundingan itu tidak menghasilkan apa-apa dan AS kembali menerapkan bea masuk baru bagi produk-produk made in China. 


Bensin dari data pertumbuhan ekonomi kurang tokcer mendorong rupiah. Tarikan sentimen negatif eksternal sepertinya lebih kuat sehingga rupiah pun tidak bisa bertahan dari sapuan penguatan dolar AS. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup di variatif cenderung menguat. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,76%, S&P 500 menguat 0,61%, tetapi Nasdaq Composite melemah 0,42%. 

Saham-saham defensif seperti sektor barang konsumsi, energi, dan industri menjadi pilihan investor. Ketiga indeks saham tersebut masing-masing menguat 1,34%, 1,21%, dan 0,66% di DJIA. 

Penyebabnya adalah investor sepertinya mulai bermain aman jelang pemilihan sela (mid term election) di Negeri Paman Sam, Selasa waktu setempat. Ada kemungkinan Partai Demokrat akan menguasai Kongres, mengubah peta kekuatan politik AS. Namun Partai Republik akan terus 'mengawal' Presiden Donald Trump dengan kekuatan mayoritas di Senat. 

Goldman Sachs menyebutkan ada dua skenario ekstrem. Pertama adalah Partai Demokrat mengambil alih kekuatan mayoritas di Kongres dan Senat. Kedua, Partai Republik tetap mempertahankan dominasi di Kongres dan Senat. 

Skenario pertama akan berimbas ke ekspektasi pertumbuhan ekonomi AS yang lebih lambat, karena kebijakan ekspansif dari Presiden Trump akan mendapat blokade di parlemen. Yield obligasi AS akan turun dan dolar AS berpotensi melemah. 

Sementara skenario kedua diperkirakan membuat ekonomi AS tumbuh semakin kencang karena kebijakan Trump akan melenggang mulus tanpa hambatan berarti. Yield obligasi AS akan kembali menanjak dan dolar AS bakal terus menguat.  

Oleh karena itu, investor lebih memilih tidak mengambil risiko dan menunggu seperti apa perpolitikan AS nantinya. Sebab peta politik AS akan mempengaruhi kinerja ekonomi negara tersebut. 

Sedangkan koreksi yang dialami Nasdaq bisa ditebak, tentu ada pelemahan di saham-saham terkait teknologi. Penyebabnya adalah saham Apple, yang amblas 2,84%. 

Harian Nikkei melaporkan, Apple sudah memberitahukan kepada para pemasoknya yaitu Foxconn dan Pegatron untuk menunda tambahan produksi iPhone XR. Permintaan yang lesu membuat Apple terpaksa menempuh langkah ini. 

"Foxconn diberi tahu bahwa mereka cukup menggunakan 45 jalur perakitan seperti sekarang, belum ada kebutuhan untuk menaikkannya menjadi 60. Pelanggan besar mereka mengatakan tidak perlu memproduksi sebanyak itu," ungkap seorang sumber kepada Nikkei, dikutip dari Reuters. 

Koreksi saham Apple menarik saham-saham berbasis teknologi lainnya. Facebook anjlok 1,11%, Amazon jeblok 2,26%, dan Alphabet (induk usaha Google) amblas 1,47%. Hasilnya jelas, Nasdaq menjadi satu-satunya indeks utama yang terjebak di zona merah. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, pelaku pasar perlu mencermati sejumlah risiko. Pertama adalah hasil di Wall Street yang meski mixed tetapi cenderung hijau. Diharapkan hijaunya bursa saham New York bisa menjalar ke Asia, termasuk Indonesia. 

Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS, yang melemah dini hari ini. Pada pukul 04:46 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) terkoreksi 0,21%. 

Seperti di pasar saham, investor di pasar valas juga memilih wait and see. Investor akan menunggu kepastian politik di AS sebelum kembali memutuskan akan mengoleksi atau melepas greenback. Sebab, seperti proyeksi Goldman Sachs, nasib mata uang ini akan sangat ditentukan oleh hasil pemilihan sela. 

Oleh karena itu, ada peluang bagi rupiah dkk di Asia untuk membalas dendam. Jika kemarin dolar AS jadi raja Asia, maka saat ini ada momentum untuk menjadi tuan rumah di kawasan sendiri. 

Sentimen ketiga adalah dinamika perang dagang AS vs China. Investor perlu terus memantau perkembangan isu ini karena sangat bisa mempengaruhi mood pasar. 

Sejauh ini, fokus pasar adalah di rencana pertemuan Trump dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G20 di Argentina akhir bulan ini. Kedua pemimpin tersebut sudah sepakat untuk bertemu dan siap membahas isu perdagangan. 

"Apabila kami bisa mencapai kesepakatan, yang adil tentunya, maka saya akan lakukan. Namun kalau tidak, saya tidak akan lakukan," tegas Trump, dikutip dari Reuters. 

Sedangkan Xi dalam pidatonya di acara pameran perdagangan menegaskan komitmen Beijing untuk membuka ekonomi seluas-luasnya. Bahkan untuk investasi di bidang pendidikan, telekomunikasi, dan kebudayaan. China juga berjanji untuk melindungi investor asing dan menindak tegas pelanggaran atas hak kekayaan intelektual. 

Tidak hanya itu, Xi pun berkomitmen bahwa China akan lebih banyak mengimpor. Dalam 15 tahun ke depan, China akan mengimpor barang senilai US$ 30 triliun dan jasa senilai US$ 10 triliun. Tahun lalu, Xi mengatakan impor barang dalam 15 tahun ke depan akan bernilai US$ 24 triliun. 

Apabila sampai ada kabar buruk menghinggapi rencana pertemuan Trump-Xi (seperti komentar Kudlow), maka akan menjadi aura negatif bagi pasar keuangan Asia. Investor pun akan memilih bermain aman dan meninggalkan aset-aset berisiko di negara berkembang Asia, termasuk Indonesia. Tentu bukan kabar gembira bagi rupiah dan IHSG. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Sentimen keempat adalah harga komoditas, khususnya minyak. Meski sanksi AS kepada Iran sudah berlaku, nyatanya harga si emas hitam malah turun. Pada pukul 05:01 WIB, harga minyak jenis brent merosot 0,25% sementara light sweet minus 0,73%. 

Ternyata kekhawatiran kekurangan pasokan minyak di pasar dunia belum terbukti. Sebab, AS memberi keringanan kepada delapan negara untuk tetap boleh membeli minyak dari Negeri Persia. Delapan negara tersebut adalah China, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, India, Turki, Italia, dan Yunani. 

Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS, mengatakan bahwa pengecualian itu diberikan karena negara-negara tersebut sudah mengurangi impor minyak dari Iran selama 6 bulan terakhir. Selain itu, AS juga tidak mau harga minyak langsung naik tidak karuan gara-gara sanksi ini. 

"Saya bisa saja memotong pasokan minyak Iran menjadi nol dengan segera. Namun itu akan menimbulkan shock di pasar. Saya tidak mau membuat harga minyak naik," tegas Pompeo, dikutip dari Reuters. 

Koreksi harga minyak bisa menjadi sentimen negatif bagi IHSG, karena membuat emiten-emiten migas dan pertambangan kurang mendapat apresiasi. Namun ini malah berdampak baik bagi rupiah karena penurunan harga minyak akan menurunkan biaya impor migas. Neraca migas yang defisit sangat dalam menjadi penyebab defisit yang terjadi di transaksi berjalan (current account) sehingga pasokan valas menjadi terbatas dan rupiah sulit menguat. 

Sentimen kelima, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Oktober 2018 yang sebesar 119,2. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 122,4.  

Secara bulanan, IKK Oktober 2018 terkoreksi 2,61%. Sedangkan secara tahunan, IKK turun 1,24%. IKK Oktober 2018 merupakan yang terendah dalam 20 bulan terakhir, atau sejak Februari 2017.  

Pada September, IKK masih mampu bergerak naik disokong oleh pembukaan lowongan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di di berbagai Kementerian dan Lembaga yang mencapai 238.000 formasi. Termasuk dibukanya sejumlah lowongan di BUMN dan perusahaan swasta. Setelah momen itu berlalu, praktis sudah tidak ada lagi yang mampu mengangkat keyakinan konsumen.  

Rilis data ini bisa menjadi sinyal bahwa konsumsi masyarakat mulai mengendur pada kuartal IV-2018. Seiring konsumsi menyumbang 50% dari pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), maka pertumbuhan ekonomi Indonesia berisiko semakin melambat.  


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data penjualan ritel Indonesia periode September 2018 (setelah penutupan perdagangan).
  • Rilis suku bunga acuan Reserve Bank of Australia (10:30 WIB).
  • Rilis data pembukaan lapangan kerja AS versi JOLTS periode September 2018 (22:00 WIB).

Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Shield On Service Tbk (SOSS) IPO 09:00 WIB
PT Sejahteraraya Anugrahjaya Tbk (SRAJ)RUPSLB10.00 WIB
PT Garuda Maintenance Facility Aeroasia Tbk (GMFI)RUPSLB15.00 WIB
PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF)Pembagian Dividen16.05 WIB

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
 
IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY)5.17%
Inflasi (Oktober 2018 YoY)3.16%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2018)-3.04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2018)-US$ 4.31 miliar
Cadangan devisa (September 2018)US$ 114.8 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular