Newsletter

AS-China Panas Lagi? Ekonomi Indonesia Melambat? Aduh...

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
05 November 2018 05:56
AS-China Panas Lagi? Ekonomi Indonesia Melambat? Aduh...
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu menjadi momentum yang manis bagi pasar keuangan Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat tajam, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terapresiasi signifikan, sementara imbal hasil (yield) obligasi pemerintah turun meyakinkan. 

Sepanjang pekan lalu, IHSG menguat 2,1% secara point-to-point. IHSG bergerak searah dengan bursa saham utama Asia yang juga melompat. Dalam sepekan terakhir, indeks Shanghai Composite melonjak 2,99%, SET (Thailand) menanjak 3,25%, Kospi melesat 3,4%, Straits Times melejit 4,86%, Nikkei 225 melompat 5%, dan Hang Seng meroket 7,16%.  

Kemudian rupiah terapresiasi 1,74% terhadap dolar AS secara point-to-point. Seperti halnya bursa saham, mata uang Benua Kuning pun perkasa pada pekan lalu, di mana won Korea Selatan menguat 1,95%, dolar Singapura menguat 0,35%, ringgit Malaysia terapresiasi 0,31, baht Thailand menguat 0,64%, yuan China terapresiasi 0,76%, dan rupee India menguat 1,39%. Hanya yen Jepang yang  melemah 1,15%. 

Lalu yield obligasi negara juga turun signifikan, bahkan tidak pernah naik sepanjang pekan lalu. Secara point-to-point, yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun berkurang sampai 27 basis poin (bps).  

Penurunan yield menandakan harga instrumen ini sedang naik. Benar saja, sepanjang minggu lalu harga obligasi pemerintah tenor 10 tahun terdongkrak 158,3 bps. 

Dari dalam negeri, sebetulnya tidak banyak sentimen yang menggerakkan pasar keuangan. Rilis data inflasi Oktober 2018 malah direspons negatif oleh pelaku pasar. 

Inflasi Oktober secara bulanan (month-to-month/MtM) tercatat 0,28%. Sementara inflasi tahunan (year-on-year/YoY) adalah 3,16% dan inflasi inti YoY adalah 2,94%. 

Hal yang menjadi sentimen negatif adalah inflasi inti, yang mencapai titik tertinggi sepanjang 2018. Bahkan lajunya cukup drastis dibandingkan bulan sebelumnya. 

Kemungkinan besar depresiasi rupiah yang signifikan sepanjang tahun ini sudah merasuk dan dirasakan oleh sektor riil. Inflasi inti adalah komponen yang persisten, dipengaruhi oleh fundamental ekonomi termasuk pergerakan kurs. 

Sejak awal tahun, rupiah melemah sekitar 12% terhadap dolar AS. Akibatnya, dunia usaha butuh dana yang lebih besar untuk melakukan impor. Kenaikan biaya itu kemudian ditransmisikan ke harga jual sehingga terjadi inflasi juga di tingkat konsumen. 

Data inflasi hari ini mengonfirmasi rilis data sebelumnya yaitu Nikkei/IHS Markit Purchasing Managers Index (PMI) Indonesia periode Oktober 2018 yang tercatat 50,5. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,7. Pencapaian Oktober merupakan yang paling rendah dalam 3 bulan. 

Masalah yang menghantui pelaku usaha, menurut survei ini, adalah pelemahan nilai tukar rupiah. Akibat depresiasi kurs, biaya importasi menjadi semakin mahal. Sementara ekonomi yang tumbuh membutuhkan pasokan barang impor, utamanya bahan baku dan barang modal. 

Data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengenai realisasi investasi kuartal III-2018 juga mengecewakan. Total investasi pada kuartal III-2018 turun 1,6% secara YoY. 

Catatan negatif ini tidak lain disumbang oleh anjloknya penanaman modal asing (FDI), yang memang masih mendominasi investasi di Tanah Air.  FDI tercatat turun 20,2% dibandingkan pada periode yang sama pada tahun sebelumnya.  

Namun angin segar dari eksternal berhembus lebih kencang dan membuat investor tetap mau mengambil risiko. Perkembangan hubungan dagang AS-China kini sedang positif karena Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping akan bertemu di sela-sela KTT G20 di Buenos Aires (Argentina) akhir bulan ini. Bahkan Trump sudah menelepon Xi dan menyatakan diskusi Washington-Beijing berjalan mulus. 

"Diskusi dengan China sangat baik. Kami berdua semakin dekat untuk mencapai sesuatu. Saya rasa kami akan mencapai kesepakatan dengan China, dan itu akan adil untuk semua," kata Trump kepada jurnalis di Gedung Putih, dikutip dari Reuters. 

Dari Inggris, proses Brexit satu demi satu menemui solusi. London dikabarkan telah mencapai kesepakatan sementara dengan Brussel terkait diizinkannya lembaga keuangan Inggris beroperasi secara normal di Uni Eropa pasca-Brexit. 

Tidak hanya itu, Inggris dan Uni Eropa juga disebut-sebut telah mencapai kesepakatan seputar wilayah kepabeanan di Kepulauan Irlandia. Selama ini, isu tersebut kerap kali menjadi sandungan perundingan Brexit. 

Kedua sentimen ini menjadi latar berlakang keberanian investor global dalam mengambil risiko. Didorong oleh risk appetite yang tinggi, investor pun masuk ke pasar keuangan negara-negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia. Hasilnya adalah IHSG, rupiah, dan obligasi pemerintah sama-sama perkasa. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, optimisme juga merebak seperti halnya di Asia. Sepanjang pekan lalu, Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 2,36%, S&P 500 melonjak 2,42%, dan Nasdaq Composite melambung 2,65%. 

Sentimen besarnya kemungkinan damai dagang AS-China juga menjadi motor utama penguatan Wall Street. Satu risiko besar yaitu perang dagang AS-China diharapkan bisa hilang, sehingga investor berani masuk ke instrumen berisiko seperti saham. 

Selain itu, kinerja keuangan emiten di bursa saham New York juga lumayan moncer. Pada kuartal III-2018, Facebook membukukan laba per saham (Earnings per Share/EPS) sebesar US$ 1,76. Tumbuh 9% dibandingkan tahun sebelumnya, dan berada di atas konsensus pasar yang memperkirakan di angka US$ 1,48.  

Kenaikan harga saham Facebook ikut mengerek saham-saham teknologi lainnya. Amazon menanjak 8,23% selama sepekan lalu. Kemudian Netflix melonjak 2,94%, Alphabet (induk usaha Google) terdongkrak 3,55%, Microsoft bertambah 2,22%, Intel melesat 3,77%, dan Twitter meroket 5,89%. 

Sejauh ini laporan keuangan emiten masih memuaskan. Data Refinitiv menyebutkan, 78% dari laporan keuangan yang masuk melebihi ekspektasi pasar. 

Selain perkembangan positif di saham-saham teknologi, lonjakan Wall Street juga menjadi semacam perayaan untuk melepas bulan Oktober. Sepertinya Oktober meninggalkan kenangan buruk di benak pelaku pasar, dan ada kelegaan saat dia pergi. 

Maklum saja, aksi jual massal atau sell off beberapa kali terjadi pada Oktober yang membuat DJIA rontok 5,1% dalam sebulan. Sedangkan S&P 500 anjlok 6,9% dan Nasdaq ambrol 9,2%. 

"Investor bahagia bahwa Oktober sudah berlalu. Segala kekhawatiran yang terjadi kini sudah pergi," ujar Peter Tuz, Presiden di Chase Investment Counsel yang berbasis di Virginia, dikutip dari Reuters. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama adalah perkembangan Wall Street yang kurang bagus. Meski secara mingguan masih positif, tetapi sejatinya Wall Street terkoreksi pada perdagangan akhir pekan lalu. DJIA turun 0,43%, S&P 500 terpangkas 0,63%, dan Nasdaq amblas 1,47%. 

Penyebabnya adalah langkah mundur rencana perundingan dagang AS-China. Meski Trump terlihat masih pede, tetapi Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence 'Larry' Kudlow mengingatkan masih ada risiko dalam dialog tersebut. Bahkan bukan tidak mungkin perundingan itu tidak menghasilkan apa-apa dan AS kembali menerapkan bea masuk baru bagi produk-produk made in China

"Saya tidak seoptimitis sebelumnya mengenai pembicaraan dagang dengan China. Bahkan Bapak Presiden bisa saja menarik pelatuk dan mengenakan bea masuk baru, tergantung bagaimana hasil pembicaraan," ungkap Kudlow, dikutip dari Reuters. 

Investor yang sudah berbunga-bunga kini kembali gundah gulana. Mereka dipaksa untuk kembali menginjakkan kaki ke bumi setelah dibuat melayang. Tentu tidak menyenangkan. 

Dikhawatirkan sentimen ini masih terasa hingga sekarang. Jika pesimisme terkait pembicaraan AS-China masih bertahan, maka pasar keuangan Asia akan ikut merasakan dampaknya. Pasti akan menjadi sentimen negatif yang sangat signifikan, karena investor kehilangan minat untuk masuk ke instrumen berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.

Kudlow membuat mood pelaku pasar kembali suram, bahwa risiko perang dagang lanjutan masih ada. Akibatnya, investor melepas aset-aset berisiko seperti saham dan kembali ke pelukan safe haven

Kembalinya investor ke pelukan safe haven akan membuat kita masuk ke sentimen kedua yaitu nilai tukar dolar AS. Risk appetite pelaku pasar yang menurun membuat permintaan terhadap dolar AS kembali tinggi. 

Akhir pekan lalu, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) menguat sampai 0,25%. Dolar AS sudah bangkit dari kubur dan siap kembali menebar ancaman. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Selain karena faktor pembicaraan dagang AS-China, dolar AS juga mendapat momentum dari rilis data ketenagakerjaan Negeri Paman Sam periode Oktober 2018. Angka pengangguran memang masih bertahan di 3,7% tetapi penciptaan lapangan kerja mencapai 250.000. Jauh di atas konsensus pasar yang dihimpun Refinitiv yaitu 190.000, juga jauh melampaui angka bulan sebelumnya yaitu 118.000. 

Kemudian upah per jam rata-rata meningkat sebesar 0,2% secara bulanan atau 3,1% secara tahunan. Peningkatan tahunan sebesar itu merupakan yang tercepat sejak tahun 2009. 

Artinya, perekonomian Negeri Adidaya masih kuat sehingga membuat The Federal Reserve/The Fed punya alasan untuk terus menerapkan kebijakan moneter ketat. Bulan ini, Federal Funds Rate diperkirakan tetap, tetapi akan naik pada Desember.   

Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada rapat The Fed 19 Desember adalah 72,1%. Lebih tinggi ketimbang posisi sepekan sebelumnya yaitu 66,9%. 

Akibatnya, berinvestasi di AS akan semakin menguntungkan karena kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek imbalan penanaman modal, terutama di instrumen berpendapatan tetap. Permintaan dolar AS akan tetap tinggi sehingga mata uang ini memang punya alasan untuk menguat. Apabila laju dolar AS masih kencang, maka rupiah akan sulit mengulangi performa pekan lalu.  

Sentimen ketiga adalah dari dalam negeri yaitu rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal III-2018. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2018 sebesar 5,14% secara YoY.  

Sementara secara kuartalan (quarter-to-quarter/QtQ) adalah 3,06%. Kemudian untuk pertumbuhan ekonomi sepanjang 2018 diperkirakan 5,16% YoY. 

Ekspektasi pasar menunjukkan adanya perlambatan. Pada kuartal II-2018, BPS mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,27% YoY. Namun untuk keseluruhan tahun, ada perbaikan karena ekonomi Indonesia pada 2017 tumbuh 5,07% YoY. 

Apabila pertumbuhan ekonomi berada di bawah ekspektasi, maka siap-siap pasar keuangan dalam negeri akan tertekan. Ekonomi yang melambat, apalagi lebih lambat dari perkiraan, tentu bukan sebuah kabar baik bagi pelaku pasar. Investor tentu lebih memilih menyelamatkan diri masing-masing. 

Sentimen keempat, masih dari dalam negeri, adalah tingginya risiko ambil untung alias profit taking. Seperti yang sudah disebutkan, pasar keuangan Indonesia menguat signifikan baik itu IHSG, rupiah, maupun pasar obligasi.

Penguatan yang tinggi ini tentu menggiurkan bagi pelaku pasar, dan mungkin saja hari ini akan ada yang mulai mencairkan cuan. Apabila aksi profit taking berlangsung masif, maka pasar keuangan domestik sangat rentan terhadap koreksi. Ini tentu patut menjadi perhatian.


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)



Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:

  • Pidato Gubernur Bank of Japan Haruhiko Kuroda (08:00 WIB).
  • Rilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III-2018 (11:00 WIB).
  • Rilis data Indeks Keyakinan Konsumen Indonesia periode Oktober 2018 (setelah penutupan perdagangan).
  • Rilis data indeks PMI non-manufaktur AS versi ISM periode Oktober 2018 (22:00 WIB).


Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

Perusahaan

Jenis Kegiatan

Waktu

PT Bintang Mitra Semestaraya Tbk (BMSR)

RUPSLB

10:00

PT Bumi Resources Tbk (BUMI)

Earnings Call

17:01


Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY)

5.27%

Inflasi (Oktober 2018 YoY)

3.16%

Defisit anggaran (APBN 2018)

-2.19% PDB

Transaksi berjalan (Q II-2018)

-3.04% PDB

Neraca pembayaran (Q II-2018)

-US$ 4.31 miliar

Cadangan devisa (September 2018)

US$ 114.8 miliar

 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di 
sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular