
Newsletter
AS-China Panas Lagi? Ekonomi Indonesia Melambat? Aduh...
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
05 November 2018 05:56

Untuk perdagangan hari ini investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama adalah perkembangan Wall Street yang kurang bagus. Meski secara mingguan masih positif, tetapi sejatinya Wall Street terkoreksi pada perdagangan akhir pekan lalu. DJIA turun 0,43%, S&P 500 terpangkas 0,63%, dan Nasdaq amblas 1,47%.
Penyebabnya adalah langkah mundur rencana perundingan dagang AS-China. Meski Trump terlihat masih pede, tetapi Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence 'Larry' Kudlow mengingatkan masih ada risiko dalam dialog tersebut. Bahkan bukan tidak mungkin perundingan itu tidak menghasilkan apa-apa dan AS kembali menerapkan bea masuk baru bagi produk-produk made in China.
"Saya tidak seoptimitis sebelumnya mengenai pembicaraan dagang dengan China. Bahkan Bapak Presiden bisa saja menarik pelatuk dan mengenakan bea masuk baru, tergantung bagaimana hasil pembicaraan," ungkap Kudlow, dikutip dari Reuters.
Investor yang sudah berbunga-bunga kini kembali gundah gulana. Mereka dipaksa untuk kembali menginjakkan kaki ke bumi setelah dibuat melayang. Tentu tidak menyenangkan.
Dikhawatirkan sentimen ini masih terasa hingga sekarang. Jika pesimisme terkait pembicaraan AS-China masih bertahan, maka pasar keuangan Asia akan ikut merasakan dampaknya. Pasti akan menjadi sentimen negatif yang sangat signifikan, karena investor kehilangan minat untuk masuk ke instrumen berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Kudlow membuat mood pelaku pasar kembali suram, bahwa risiko perang dagang lanjutan masih ada. Akibatnya, investor melepas aset-aset berisiko seperti saham dan kembali ke pelukan safe haven.
Kembalinya investor ke pelukan safe haven akan membuat kita masuk ke sentimen kedua yaitu nilai tukar dolar AS. Risk appetite pelaku pasar yang menurun membuat permintaan terhadap dolar AS kembali tinggi.
Akhir pekan lalu, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) menguat sampai 0,25%. Dolar AS sudah bangkit dari kubur dan siap kembali menebar ancaman.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Penyebabnya adalah langkah mundur rencana perundingan dagang AS-China. Meski Trump terlihat masih pede, tetapi Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence 'Larry' Kudlow mengingatkan masih ada risiko dalam dialog tersebut. Bahkan bukan tidak mungkin perundingan itu tidak menghasilkan apa-apa dan AS kembali menerapkan bea masuk baru bagi produk-produk made in China.
"Saya tidak seoptimitis sebelumnya mengenai pembicaraan dagang dengan China. Bahkan Bapak Presiden bisa saja menarik pelatuk dan mengenakan bea masuk baru, tergantung bagaimana hasil pembicaraan," ungkap Kudlow, dikutip dari Reuters.
Investor yang sudah berbunga-bunga kini kembali gundah gulana. Mereka dipaksa untuk kembali menginjakkan kaki ke bumi setelah dibuat melayang. Tentu tidak menyenangkan.
Dikhawatirkan sentimen ini masih terasa hingga sekarang. Jika pesimisme terkait pembicaraan AS-China masih bertahan, maka pasar keuangan Asia akan ikut merasakan dampaknya. Pasti akan menjadi sentimen negatif yang sangat signifikan, karena investor kehilangan minat untuk masuk ke instrumen berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Kudlow membuat mood pelaku pasar kembali suram, bahwa risiko perang dagang lanjutan masih ada. Akibatnya, investor melepas aset-aset berisiko seperti saham dan kembali ke pelukan safe haven.
Kembalinya investor ke pelukan safe haven akan membuat kita masuk ke sentimen kedua yaitu nilai tukar dolar AS. Risk appetite pelaku pasar yang menurun membuat permintaan terhadap dolar AS kembali tinggi.
Akhir pekan lalu, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) menguat sampai 0,25%. Dolar AS sudah bangkit dari kubur dan siap kembali menebar ancaman.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular