
Newsletter
AS-China Panas Lagi? Ekonomi Indonesia Melambat? Aduh...
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
05 November 2018 05:56

Selain karena faktor pembicaraan dagang AS-China, dolar AS juga mendapat momentum dari rilis data ketenagakerjaan Negeri Paman Sam periode Oktober 2018. Angka pengangguran memang masih bertahan di 3,7% tetapi penciptaan lapangan kerja mencapai 250.000. Jauh di atas konsensus pasar yang dihimpun Refinitiv yaitu 190.000, juga jauh melampaui angka bulan sebelumnya yaitu 118.000.
Kemudian upah per jam rata-rata meningkat sebesar 0,2% secara bulanan atau 3,1% secara tahunan. Peningkatan tahunan sebesar itu merupakan yang tercepat sejak tahun 2009.
Artinya, perekonomian Negeri Adidaya masih kuat sehingga membuat The Federal Reserve/The Fed punya alasan untuk terus menerapkan kebijakan moneter ketat. Bulan ini, Federal Funds Rate diperkirakan tetap, tetapi akan naik pada Desember.
Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada rapat The Fed 19 Desember adalah 72,1%. Lebih tinggi ketimbang posisi sepekan sebelumnya yaitu 66,9%.
Akibatnya, berinvestasi di AS akan semakin menguntungkan karena kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek imbalan penanaman modal, terutama di instrumen berpendapatan tetap. Permintaan dolar AS akan tetap tinggi sehingga mata uang ini memang punya alasan untuk menguat. Apabila laju dolar AS masih kencang, maka rupiah akan sulit mengulangi performa pekan lalu.
Sentimen ketiga adalah dari dalam negeri yaitu rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal III-2018. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2018 sebesar 5,14% secara YoY.
Sementara secara kuartalan (quarter-to-quarter/QtQ) adalah 3,06%. Kemudian untuk pertumbuhan ekonomi sepanjang 2018 diperkirakan 5,16% YoY.
Ekspektasi pasar menunjukkan adanya perlambatan. Pada kuartal II-2018, BPS mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,27% YoY. Namun untuk keseluruhan tahun, ada perbaikan karena ekonomi Indonesia pada 2017 tumbuh 5,07% YoY.
Apabila pertumbuhan ekonomi berada di bawah ekspektasi, maka siap-siap pasar keuangan dalam negeri akan tertekan. Ekonomi yang melambat, apalagi lebih lambat dari perkiraan, tentu bukan sebuah kabar baik bagi pelaku pasar. Investor tentu lebih memilih menyelamatkan diri masing-masing.
Sentimen keempat, masih dari dalam negeri, adalah tingginya risiko ambil untung alias profit taking. Seperti yang sudah disebutkan, pasar keuangan Indonesia menguat signifikan baik itu IHSG, rupiah, maupun pasar obligasi.
Penguatan yang tinggi ini tentu menggiurkan bagi pelaku pasar, dan mungkin saja hari ini akan ada yang mulai mencairkan cuan. Apabila aksi profit taking berlangsung masif, maka pasar keuangan domestik sangat rentan terhadap koreksi. Ini tentu patut menjadi perhatian.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
(aji/aji)
Kemudian upah per jam rata-rata meningkat sebesar 0,2% secara bulanan atau 3,1% secara tahunan. Peningkatan tahunan sebesar itu merupakan yang tercepat sejak tahun 2009.
Artinya, perekonomian Negeri Adidaya masih kuat sehingga membuat The Federal Reserve/The Fed punya alasan untuk terus menerapkan kebijakan moneter ketat. Bulan ini, Federal Funds Rate diperkirakan tetap, tetapi akan naik pada Desember.
Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada rapat The Fed 19 Desember adalah 72,1%. Lebih tinggi ketimbang posisi sepekan sebelumnya yaitu 66,9%.
Akibatnya, berinvestasi di AS akan semakin menguntungkan karena kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek imbalan penanaman modal, terutama di instrumen berpendapatan tetap. Permintaan dolar AS akan tetap tinggi sehingga mata uang ini memang punya alasan untuk menguat. Apabila laju dolar AS masih kencang, maka rupiah akan sulit mengulangi performa pekan lalu.
Sentimen ketiga adalah dari dalam negeri yaitu rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal III-2018. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2018 sebesar 5,14% secara YoY.
Sementara secara kuartalan (quarter-to-quarter/QtQ) adalah 3,06%. Kemudian untuk pertumbuhan ekonomi sepanjang 2018 diperkirakan 5,16% YoY.
Ekspektasi pasar menunjukkan adanya perlambatan. Pada kuartal II-2018, BPS mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,27% YoY. Namun untuk keseluruhan tahun, ada perbaikan karena ekonomi Indonesia pada 2017 tumbuh 5,07% YoY.
Apabila pertumbuhan ekonomi berada di bawah ekspektasi, maka siap-siap pasar keuangan dalam negeri akan tertekan. Ekonomi yang melambat, apalagi lebih lambat dari perkiraan, tentu bukan sebuah kabar baik bagi pelaku pasar. Investor tentu lebih memilih menyelamatkan diri masing-masing.
Sentimen keempat, masih dari dalam negeri, adalah tingginya risiko ambil untung alias profit taking. Seperti yang sudah disebutkan, pasar keuangan Indonesia menguat signifikan baik itu IHSG, rupiah, maupun pasar obligasi.
Penguatan yang tinggi ini tentu menggiurkan bagi pelaku pasar, dan mungkin saja hari ini akan ada yang mulai mencairkan cuan. Apabila aksi profit taking berlangsung masif, maka pasar keuangan domestik sangat rentan terhadap koreksi. Ini tentu patut menjadi perhatian.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular