Newsletter

AS-Arab Saudi Tegang, Prancis Cari Perkara, Dolar AS Cuan

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
25 October 2018 05:51
Data Ekonomi AS Kurang Yahud, Wall Street Ambrol
Perdagangan Saham di Wall Street (Reuters)

Kabar buruk datang dari Wall Street, di mana tiga indeks utama mengalami koreksi dalam. Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 2,41%, S&P 500 amblas 3,09%, dan Nasdaq Composite ambrol 4,63%. 

Secara year-to-date (YtD) kini DJIA melemah 0,55% dan S&P 500 turun 0,79%. Tinggal Nasdaq yang masih menyimpan 'tabungan' penguatan 6,14%. 

Investor mulai mengendus risiko perlambatan ekonomi Negeri Paman Sam. Hal ini terlihat dari rilis data terbaru di AS.  

Pertama adalah penjualan rumah baru yang sebesar 553.000 unit pada September. Jumlah ini turun 5,5% secara year-on-year (YoY) sekaligus menjadi yang terendah sejak Desember 2016. 

Kebijakan The Federal Reserve/The Fed yang terus menaikkan suku bunga acuan sepertinya mulai memakan korban. Sejak awal tahun, Jerome Powell dan kolega sudah tiga kali menaikkan suku bunga acuan. Bahkan kemungkinan besar akan dilakukan lagi pada Desember. 

Seiring kenaikan suku bunga acuan, suku bunga kredit pun ikut terdongkrak termasuk kredit perumahan. Data perusahaan pembiayaan perumahan Freddie Mac menyebutkan, suku bunga kredit perumahan untuk tenor 30 tahun kini rata-rata adalah 4,85%. Naik 80 basis poin (bps) dibandingkan tahun lalu. 

Kedua adalah laporan The Fed dalam Beige Book yang menyebutkan dunia usaha mulai menaikkan harga akibat perang dagang dengan China. Tingginya bea masuk untuk importasi bahan baku dan barang modal asal China membuat dunia usaha semakin tidak bisa menahan untuk tidak menaikkan harga. 

Beige Book adalah laporan The Fed yang merangkum hasil diskusi dengan para pelaku usaha di 12 negara bagian. Proses ini berlangsung sejak September hingga pertengahan Oktober. 

"Pabrik-pabrik melaporkan kenaikan harga barang jadi sudah tidak terhindarkan. Kenaikan ini disebabkan biaya yang lebih tinggi untuk impor bahan baku seperti baja yang terkait dengan kebijakan bea masuk," sebut laporan The Fed. 

Meski demikian, The Fed menegaskan bahwa sejauh ini belum ada tekanan inflasi yang berarti. The Fed masih melihat inflasi tidak jauh dari target di kisaran 2%. "Harga memang naik, tetapi naik dalam level rendah sampai moderat," sebut laporan itu. 

Tidak hanya itu, dunia usaha juga dinilai belum mengalami tekanan signifikan. Ini dibuktikan dari pasar tenaga kerja yang masih ketat, belum ada gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Bahkan yang ada perusahaan kesulitan mencari karyawan, terutama untuk beberapa posisi seperti ahli mesin, ahli keuangan dan penjualan, pekerja konstruksi, sampai sopir truk. 

Namun yang dicerna oleh pelaku pasar adalah dunia usaha mulai terbeban akibat perang dagang. Ke depan, beban ini akan semakin berat apabila tidak ada penyelesaian terhadap friksi Washington-Beijing. 

"Sepertinya investor panik sehingga aksi jual masif kembali terjadi," ujar Chris Zaccarelli, Chief Investment Officer di Independent Advisor Alliance yang berbasis di North Carolina, dikutip dari Reuters. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular