Newsletter

Cermati Tensi AS-Arab Saudi Sampai Risiko Pelemahan Rupiah

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
16 October 2018 05:37
Sentimen Negatif Hantui Wall Street
Ilustrasi Perdagangan di Wall Street (Reuters)
Badai koreksi kembali melanda Wall Street. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,35%, S&P 500 melemah 0,59%, dan Nasdaq Composite jatuh 1,24%. 

Berbagai sentimen negatif melanda bursa saham New York. Pertama, laporan kinerja keuangan emiten yang kurang kinclong.

Bank of America mencatatkan laba per saham (Earnings Per Share/EPS) sebesar US$ 67 sen, di atas konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu US$ 62 sen. Namun beberapa pos menunjukkan kelemahan bank terbesar kedua di Negeri Paman Sam ini. 

Pertumbuhan kredit Bank of America hanya 0,3% YoY. Jauh di bawah para pesaingnya seperti JPMorgan Chase (6%) atau Citigroup (4%).  

Selain itu, rasio beban terhadap pendapatan Bank of America pada kuartal III-2018 mencapai 59%. Lebih tinggi ketimbang JPMorgan & Chase (57%) dan Citigroup (58%). 

Investor pun kurang mengapresiasi kinerja Bank of America sehingga sahamnya banyak dijual. Hasilnya adalah harga saham emiten ini amblas 1,89%. 

Kedua, indeks teknologi jatuh karena pelemahan saham Apple yang mencapai 2,14%. Penyebabnya adalah laporan Goldman Sachs yang menyebutkan ada pertanda perlambatan permintaan iPhone di China. Padahal China adalah pasar ekspor utama Apple, sehingga penurunan permintaan dari Negeri Tirai Bambu tentu akan mempengaruhi kinerja mereka. 

Ketiga, Kementerian Keuangan AS melaporkan bahwa pemerintah menutup tahun fiskal 2018 dengan defisit mencapai US$ 779 miliar atau 3,9% dari Produk Domestik Bruto (PDB), tertinggi sejak 2012. Ini disebabkan penurunan tarif pajak yang dilakukan oleh Presiden Trump, sehingga penerimaan negara tidak bisa tumbuh signifikan. Pada tahun fiskal 2018, penerimaan negara AS tercatat US$ 3,33 triliun atau hanya naik 0,3% dibandingkan tahun fiskal 2018. 

Selain itu, belanja juga membengkak karena kenaikan beban pembayaran bunga utang akibat suku bunga acuan yang terus naik. Total belanja negara AS pada tahun fiskal 2018 adalah US$ 4,11 triliun atau tumbuh 3,27% dibandingkan tahun fiskal 2017. 

Defisit anggaran AS dikhawatirkan terus membengkak pada tahun-tahun ke depan karena kebijakan fiskal Trump yang agresif bin ekspansif. Oleh karena itu, pasar melihat kebutuhan penerbitan obligasi sebagai sarana pembiayaan anggaran negara akan semakin besar. 

Jadi, ke depan persaingan perebutan dana antara pasar saham vs pasar obligasi akan semakin sengit. Obligasi tentu tidak mau kalah dengan menawarkan kupon dan yield yang menarik, seiring tren kenaikan suku bunga acuan. Sementara saham adalah instrumen yang tidak bekerja maksimal di lingkungan suku bunga tinggi. 

Keempat, arus modal mengalir deras ke pasar obligasi. Pada tengah malam tadi waktu Indonesia, pemerintah AS melelang dua seri obligasi yaitu tenor 13 dan 26 pekan. 

Untuk tenor 13 pekan, jumlah yang dimenangkan adalah US$ 45 miliar dari US$ 133,17 miliar penawaran yang masuk. Kemudian untuk tenor 26 pekan, dari US$ 112,02 miliar penawaran yang masuk, pemerintah memenangkan US$ 39 miliar. 

Berbagai sentimen negatif tersebut membuat aksi sell-off kembali terjadi di Wall Street. Dikhawatirkan virus ini bisa menular ke bursa saham Asia, dan bukan tidak mungkin Indonesia. 

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular