
Newsletter
Cermati Tensi AS-Arab Saudi Sampai Risiko Pelemahan Rupiah
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
16 October 2018 05:37

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri hari di zona merah sementara rupiah stagnan di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Kemarin, IHSG ditutup turun 0,5% sementara rupiah stagnan di Rp 15.200/US$. Rilis data perdagangan internasional gagal mengangkat IHSG dan rupiah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekspor periode September 2018 sebesar US$ 14,83 miliar atau tumbuh 1,7% year-on-year (YoY). Meski kinerja ekspor kurang meyakinkan, tetapi impor pun tertekan. Pada September, nilai impor adalah US$ 14,6 miliar atau tumbuh 14,18% YoY.
Dengan begitu, neraca perdagangan Indonesia mampu mencatat surplus US$ 230 juta. Ini merupakan surplus perdagangan pertama sejak Juni 2018.
Pencapaian ini sekaligus mengungguli ekspektasi pasar. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekspor pada September sebesar 7,44% YoY, impor tumbuh 25,85% YoY, dan neraca perdagangan defisit US$ 600 juta.
Namun, sepertinya pasar melihat surplus perdagangan sebagai sinyal perlambatan ekonomi. Sinyal ini juga terlihat dari angka Indonesia Nikkei Purchasing Managers Index yang pada September sebesar 50,6. Pada Agustus indeks ini masih 51,9.
Indeks di atas 50 memang masih menandakan industri yang ekspansif, tapi ekspansinya cenderung melambat. Banyak tantangan yang memang sedang menghadang ekonomi RI. Dari eksternal ada isu perang dagang, sedangkan dari dalam negeri ada kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI).
Selain itu, tarikan sentimen negatif dari eksternal sepertinya lebih kuat. Pertama, kemungkinan investor melihat dampak perang dagang AS vs China semakin jelas, serta potensi perlambatan ekonomi dunia kian terpampang.
Setidaknya hal itu sudah diakui oleh Yi Gang, Gubernur Bank Sentral China (PBoC). Berbicara dalam seminar di sela-sela Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional (IMF)-Bank Dunia, Yi menyebutkan bahwa perang dagang sangat merugikan bagi Negeri Tirai Bambu.
"Saya rasa peningkatan tensi perdagangan sangat signifikan mempengaruhi risiko perlambatan (downside risk). Ketidakpastian besar berada di depan kita," kata Yi, mengutip Reuters.
Jika ekonomi Negeri Panda melambat, maka permintaan mereka akan turun. Padahal, China adalah mitra dagang utama berbagai negara, termasuk Indonesia. Akibatnya ekspor sejumlah negara akan ikut tertekan. Oleh karena itu, pasokan devisa dari ekspor pun terancam sehingga mata uang akan sulit menguat, tidak terkecuali rupiah.
Kedua, pelaku pasar melihat tensi geopolitik antara AS dan Arab Saudi meninggi. Penyebabnya adalah hilangnya kolumnis AS, Jamal Khashoggi, di Konsulat Arab Saudi di Istanbul (Turki).
Washington mengancam akan menerapkan sanksi kepada Riyadh jika Khasoggi terbunuh. Namun Arab Saudi tidak gentar. Mereka mengancam akan membalas jika AS sampai menerapkan sanksi.
"Kerajaan menolak segala bentuk ancaman, apakah itu menerapkan sanksi ekonomi, penggunaan tekanan politik, atau memanfaatkan tuduhan palsu. Kerajaan memastikan jika sampai ada aksi (dari AS), maka akan ada reaksi yang lebih besar. Ekonomi Kerajaan memiliki pengaruh dan sangat vital bagi dunia," ancam seorang pejabat Arab Saudi, mengutip Reuters.
Melihat risiko besar ini, investor dipaksa bermain aman. Tujuan mereka adalah aset-aset safe haven seperti emas, yen Jepang, atau dolar AS.
Ketiga,investor juga mengoleksi dolar AS karena jelang lelang obligasi. Pada 15 Oktober waktu AS, pemerintahan Presiden Donald Trump melelang dua seri obligasi yaitu tenor 13 dan 26 pekan.
Jelang lelang, investor melakukan aksi jual yang masif untuk menekan harga dan menaikkan imbal hasil (yield). Kenaikan yield akan membuat kupon yang ditawarkan dalam lelang akan naik dan harganya turun, sehingga menarik minat pelaku pasar.
Untuk ikut serta dalam lelang, investor tentu butuh dolar AS untuk membeli obligasi. Fokus investor yang tertuju ke dolar AS membuat pasar keuangan negara-negara berkembang ditinggalkan, termasuk di Indonesia.
Kemarin, IHSG ditutup turun 0,5% sementara rupiah stagnan di Rp 15.200/US$. Rilis data perdagangan internasional gagal mengangkat IHSG dan rupiah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekspor periode September 2018 sebesar US$ 14,83 miliar atau tumbuh 1,7% year-on-year (YoY). Meski kinerja ekspor kurang meyakinkan, tetapi impor pun tertekan. Pada September, nilai impor adalah US$ 14,6 miliar atau tumbuh 14,18% YoY.
Dengan begitu, neraca perdagangan Indonesia mampu mencatat surplus US$ 230 juta. Ini merupakan surplus perdagangan pertama sejak Juni 2018.
Pencapaian ini sekaligus mengungguli ekspektasi pasar. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekspor pada September sebesar 7,44% YoY, impor tumbuh 25,85% YoY, dan neraca perdagangan defisit US$ 600 juta.
Namun, sepertinya pasar melihat surplus perdagangan sebagai sinyal perlambatan ekonomi. Sinyal ini juga terlihat dari angka Indonesia Nikkei Purchasing Managers Index yang pada September sebesar 50,6. Pada Agustus indeks ini masih 51,9.
Indeks di atas 50 memang masih menandakan industri yang ekspansif, tapi ekspansinya cenderung melambat. Banyak tantangan yang memang sedang menghadang ekonomi RI. Dari eksternal ada isu perang dagang, sedangkan dari dalam negeri ada kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI).
Selain itu, tarikan sentimen negatif dari eksternal sepertinya lebih kuat. Pertama, kemungkinan investor melihat dampak perang dagang AS vs China semakin jelas, serta potensi perlambatan ekonomi dunia kian terpampang.
Setidaknya hal itu sudah diakui oleh Yi Gang, Gubernur Bank Sentral China (PBoC). Berbicara dalam seminar di sela-sela Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional (IMF)-Bank Dunia, Yi menyebutkan bahwa perang dagang sangat merugikan bagi Negeri Tirai Bambu.
"Saya rasa peningkatan tensi perdagangan sangat signifikan mempengaruhi risiko perlambatan (downside risk). Ketidakpastian besar berada di depan kita," kata Yi, mengutip Reuters.
Jika ekonomi Negeri Panda melambat, maka permintaan mereka akan turun. Padahal, China adalah mitra dagang utama berbagai negara, termasuk Indonesia. Akibatnya ekspor sejumlah negara akan ikut tertekan. Oleh karena itu, pasokan devisa dari ekspor pun terancam sehingga mata uang akan sulit menguat, tidak terkecuali rupiah.
Kedua, pelaku pasar melihat tensi geopolitik antara AS dan Arab Saudi meninggi. Penyebabnya adalah hilangnya kolumnis AS, Jamal Khashoggi, di Konsulat Arab Saudi di Istanbul (Turki).
Washington mengancam akan menerapkan sanksi kepada Riyadh jika Khasoggi terbunuh. Namun Arab Saudi tidak gentar. Mereka mengancam akan membalas jika AS sampai menerapkan sanksi.
"Kerajaan menolak segala bentuk ancaman, apakah itu menerapkan sanksi ekonomi, penggunaan tekanan politik, atau memanfaatkan tuduhan palsu. Kerajaan memastikan jika sampai ada aksi (dari AS), maka akan ada reaksi yang lebih besar. Ekonomi Kerajaan memiliki pengaruh dan sangat vital bagi dunia," ancam seorang pejabat Arab Saudi, mengutip Reuters.
Melihat risiko besar ini, investor dipaksa bermain aman. Tujuan mereka adalah aset-aset safe haven seperti emas, yen Jepang, atau dolar AS.
Ketiga,investor juga mengoleksi dolar AS karena jelang lelang obligasi. Pada 15 Oktober waktu AS, pemerintahan Presiden Donald Trump melelang dua seri obligasi yaitu tenor 13 dan 26 pekan.
Jelang lelang, investor melakukan aksi jual yang masif untuk menekan harga dan menaikkan imbal hasil (yield). Kenaikan yield akan membuat kupon yang ditawarkan dalam lelang akan naik dan harganya turun, sehingga menarik minat pelaku pasar.
Untuk ikut serta dalam lelang, investor tentu butuh dolar AS untuk membeli obligasi. Fokus investor yang tertuju ke dolar AS membuat pasar keuangan negara-negara berkembang ditinggalkan, termasuk di Indonesia.
Next Page
Sentimen Negatif Hantui Wall Street
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular