Newsletter

Awas, Wall Street 'Kebakaran'!

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Yazid Muamar, CNBC Indonesia
11 October 2018 05:40
Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Sentimen keempat adalah perang dagang AS vs China yang belum juga menunjukkan titik terang. Bahkan perang dagang terus melebar, kini bertransformasi menjadi perang investasi. 

Mengutip Reuters, pemerintah AS akan memperketat aturan investasi asing di 27 sektor sensitif seperti teknologi dan telekomunikasi, pesawat terbang, aluminium, perangkat penyimpanan lunak, sampai peralatan militer. Meski tidak menyebut negara tertentu, kebijakan ini diduga untuk membatasi investasi asal China. 

Perusahaan-perusahaan China, terutama yang terafiliasi dengan pemerintah, beberapa kali mencoba membeli perusahaan semikonduktor AS. Komite Investasi Asing di AS (CFIUS) memang beberapa kali bersikap galak terhadap China. Mereka beberapa kali memblokade upaya China untuk membeli perusahaan AS. 

Misalnya pada Februari 2018, perusahaan semikonduktor Xcerra hampir dibeli perusahaan asal China yang terafiliasi dengan Sino IC Fund. Namun digagalkan oleh CFIUS. Kemudian pada September 2017, perusahaan semikonduktor Lattice juga gagal dibeli oleh perusahaan asal Negeri Tirai Bambu yang menawarkan dana segar US$ 1,3 miliar. 

Langkah Washington ini bisa saja memicu balasan dari Beijing, investasi AS ke China akan diperketat. Bila ini terjadi, maka perekonomian dunia akan semakin terancam karena saling hambat sudah menjalar ke bidang penanaman modal di sektor riil. Ini tentu menjadi sebuah risiko besar yang tidak dikehendaki pelaku pasar. 

Sentimen kelima, kali ini dari dalam negeri, adalah seputar harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Kemarin, pemerintah sempat mengumumkan akan menaikkan harga BBM jenis premium sebesar 6,87%. Namun sekitar 1 jam kemudian, keputusan ini dibatalkan. 

Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sepertinya masih galau soal harga BBM. Namun kegalauan ini bisa berdampak fatal, yaitu 'hukuman' dari pasar. 

Dengan kondisi harga minyak dan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) saat ini, semestinya harga jual premium adalah Rp 8.099,2/liter. Berarti ada selisih 23,65% dari harga jual yang sekarang. 

Akibat harga yang terlampau murah, masyarakat jadi boros. Padahal Indonesia adalah negara net importir migas. Neraca migas adalah penyumbang terbesar dalam defisit transaksi berjalan (current account). Defisit neraca migas terjadi karena impornya kelewat tinggi akibat harga BBM yang murah.

Defisit di transaksi berjalan membuat rupiah kekurangan modal untuk menguat. Sebab devisa dari portofolio di pasar keuangan juga minim karena hot money terkonsentrasi ke AS akibat kenaikan suku bunga acuan. Hasilnya adalah rupiah melemah 10,9% di hadapan dolar AS sejak awal tahun. 

Dengan kenaikan harga premium, maka diharapkan konsumsi premium bisa turun karena masyarakat akan berhemat. Saat konsumsi turun, maka impor bisa ditekan sehingga transaksi berjalan pun tidak terlalu berdarah-darah. Rupiah pun bisa lebih stabil. 

Ketika rupiah lebih stabil, investor akan nyaman berinvestasi di Indonesia. Hal utama yang dibutuhkan pasar adalah kestabilan dan kepastian. Ini tidak bisa disediakan jika rupiah terus fluktuatif cenderung melemah. 

Oleh karena itu, pelaku pasar sebenarnya berharap banyak pemerintah mau menaikkan harga BBM. Dengan begitu rupiah bisa lebih stabil, berinvestasi di Indonesia akan lebih aman dan nyaman. 

Namun pemerintah memutuskan berbalik arah. Sepertinya pemerintah harus bersiap menghadapi kekecewaan pasar.

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular