
Newsletter
Awas, Wall Street 'Kebakaran'!
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Yazid Muamar, CNBC Indonesia
11 October 2018 05:40

Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu kejatuhan Wall Street, yang dikhawatirkan bisa membuat investor di Asia ketar-ketir. Apalagi Wall Street anjlok sangat dalam, ada risiko 'kebakaran' tersebut menjalar ke Benua Kuning termasuk Indonesia.
Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS. Sama seperti kemarin, momentum pasca-lelang obligasi menjadi bencana bagi greenback.
Arus modal yang masuk saat lelang membuat harga obligasi naik dan yield-nya turun. Pada pukul 04:41 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun adalah 3,1742%. Turun 3,38 basis poin (bps) dibandingkan hari sebelumnya.
Penurunan yield obligasi adalah sinyal bearish bagi dolar AS. Pasalnya, yield di pasar sekunder akan menentukan tingkat kupon pada lelang berikutnya yaitu pada 15 Oktober.
Yield yang turun berarti kupon juga terancam tidak menarik. Kupon kurang menarik berarti membuat obligasi kurang seksi. Obligasi yang kurang seksi berarti permintaannya terbatas. Permintaan obligasi yang terbatas berarti kebutuhan dolar AS pun tidak banyak. Kebutuhan dolar AS yang tidak banyak berarti akan membuat nilai tukarnya murah atau melemah.
Akibat penurunan yield, Dollar Index pada pukul 04:48% melemah 0,21%. Bila ini berlanjut, maka rupiah dkk di Asia bisa kembali menguat seperti kemarin. Ini tentu sebuah kabar yang menyenangkan.
Sentimen ketiga adalah harga minyak yang juga anjlok seperti Wall Street. Pada pukul 04:50 WIB, harga minyak jenis brent amblas 2,74% sementara light sweet ambrol 3,11%.
Kenaikan produksi di AS jadi biang keladi koreksi ini. American Petroleum Institute (API) melaporkan cadangan minyak AS pekan lalu naik 9,7 juta barel menjadi 410,7 juta barel. Kenaikan ini jauh dibandingkan ekspektasi pasar yaitu 'hanya' 2,6 juta barel.
Selain itu, senasib dengan Wall Street, minyak juga ditinggalkan investor yang kini sedang memuja obligasi. Tanpa dukungan arus modal masuk, harga si emas hitam pun merosot.
Kemudian, faktor lain yang menekan harga minyak adalah risiko perlambatan ekonomi dunia. IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2018 dan 2019 sebesar 3,7%. Melambat dari proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%. Ekonomi yang melambat bisa menyebabkan permintaan energi menurun karena kelesuan aktivitas. Permintaan energi yang turun sama dengan penurunan harga.
(aji/aji)
Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS. Sama seperti kemarin, momentum pasca-lelang obligasi menjadi bencana bagi greenback.
Arus modal yang masuk saat lelang membuat harga obligasi naik dan yield-nya turun. Pada pukul 04:41 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun adalah 3,1742%. Turun 3,38 basis poin (bps) dibandingkan hari sebelumnya.
Penurunan yield obligasi adalah sinyal bearish bagi dolar AS. Pasalnya, yield di pasar sekunder akan menentukan tingkat kupon pada lelang berikutnya yaitu pada 15 Oktober.
Yield yang turun berarti kupon juga terancam tidak menarik. Kupon kurang menarik berarti membuat obligasi kurang seksi. Obligasi yang kurang seksi berarti permintaannya terbatas. Permintaan obligasi yang terbatas berarti kebutuhan dolar AS pun tidak banyak. Kebutuhan dolar AS yang tidak banyak berarti akan membuat nilai tukarnya murah atau melemah.
Akibat penurunan yield, Dollar Index pada pukul 04:48% melemah 0,21%. Bila ini berlanjut, maka rupiah dkk di Asia bisa kembali menguat seperti kemarin. Ini tentu sebuah kabar yang menyenangkan.
Sentimen ketiga adalah harga minyak yang juga anjlok seperti Wall Street. Pada pukul 04:50 WIB, harga minyak jenis brent amblas 2,74% sementara light sweet ambrol 3,11%.
Kenaikan produksi di AS jadi biang keladi koreksi ini. American Petroleum Institute (API) melaporkan cadangan minyak AS pekan lalu naik 9,7 juta barel menjadi 410,7 juta barel. Kenaikan ini jauh dibandingkan ekspektasi pasar yaitu 'hanya' 2,6 juta barel.
Selain itu, senasib dengan Wall Street, minyak juga ditinggalkan investor yang kini sedang memuja obligasi. Tanpa dukungan arus modal masuk, harga si emas hitam pun merosot.
Kemudian, faktor lain yang menekan harga minyak adalah risiko perlambatan ekonomi dunia. IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2018 dan 2019 sebesar 3,7%. Melambat dari proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%. Ekonomi yang melambat bisa menyebabkan permintaan energi menurun karena kelesuan aktivitas. Permintaan energi yang turun sama dengan penurunan harga.
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular