Newsletter

IMF Belum Berhasil Mengetuk Pintu Hati Trump

Hidayat Setiaji & Yazid Muamar & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
10 October 2018 06:16
IMF Belum Berhasil Mengetuk Pintu Hati Trump
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia lagi-lagi berakhir variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat sementara rupiah terdepresiasi di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). 

Kemarin, IHSG ditutup naik 0,62%. IHSG boleh menepuk dada karena menjadi yang terbaik di antara bursa utama Asia. Indeks Nikkei 225 anjlok 1,32%, Hang Seng terkoreksi 0,11%, Shanghai Composite menguat 0,17%, dan Straits Times berkurang 0,47%.

Penguatan IHSG ditopang oleh sentimen domestik yaitu rilis data penjualan ritel. Bank Indonesia (BI) mencatat penjualan ritel tumbuh 6,1% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada Agustus 2018. Lebih cepat ketimbang bulan sebelumnya sebesar 2,9% YoY. Catatan Agustus 2018 juga mampu jauh mengungguli pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 2,2% YoY. 

Selain itu, efek dari IHSG yang ambrol 4,09% sepanjang pekan lalu masih terasa. Aset-aset di Bursa Efek Indonesia (BEI) menjadi lebih murah sehingga merangsang aksi borong. Sedangkan sentimen negatif dari bursa regional adalah prospek perekonomian global yang kurang menggembirakan.

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2018 dan 2019 sebesar 3,7%. Lebih lambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%.
 

Faktor utama penyebab perlambatan ekonomi global adalah perang dagang AS vs China. Perang dagang diperkirakan akan mengganggu rantai pasok global. 

"Bea masuk AS yang dikenakan terhadap produk China akan mengganggu rantai pasok, terutama jika ada pembalasan. Kebijakan perdagangan dan ketidakpastian sudah berdampak kepada berbagai perusahaan," tegas Maurice Obstfeld, Kepala Ekonom IMF, dalam pidatonya di Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali, kemarin. 

Sedangkan nasib rupiah tidak seberuntung IHSG, karena melemah 0,07% di hadapan greenback. Rupiah bergerak searah dengan mata uang utama Asia lainnya yang juga mengalami depresiasi. 

Memang sulit menandingi keperkasaan dolar AS karena permintaan terhadap mata uang ini sedang tinggi. Penguatan dolar AS terjadi seiring semakin dekatnya lelang obligasi pemerintah Negeri Paman Sam.

Pada 9 Oktober waktu setempat, Kementerian Keuangan AS akan melelang obligasi jangka pendek bertenor 4, 13, 26, dan 52 minggu. Sementara pada 10 Oktober, akan dilelang obligasi jangka panjang dengan tenor 3 dan 10 tahun. Dalam dua lelang ini, pemerintah memasang target indikatif total US$ 215 miliar.

Obligasi pemerintah AS sekarang sedang menjadi instrumen favorit investor. Maklum, imbal hasil (yield) instrumen ini sedang tinggi-tingginya.

Hingga sore kemarin, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun berada di 3,2556%. Ini merupakan level tertinggi sejak Mei 2011 atau sekira 7 tahun lalu.
 

Yield di pasar sekunder akan menjadi acuan dalam penentuan kupon di lelang selanjutnya. Dengan yield yang tinggi saat ini, wajar bila investor berharap kupon di lelang 9 dan 10 Oktober nanti bakal tinggi.  

Tertarik iming-iming kenaikan kupon, investor pun ramai-ramai berburu dolar AS yang nantinya dipakai untuk membeli surat utang pemerintah Presiden Donald Trump. Hasilnya adalah dolar AS menguat karena kebanjiran peminat. 

Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup variatif cenderung lesu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 0,21%, S&P 500 turun 0,14%, tetapi Nasdaq Composite mampu menguat 0,26%.

Sama seperti bursa Asia, proyeksi IMF juga jadi pemberat Wall Street. Pesimisme IMF menular ke pelaku pasar. 

"Pertumbuhan ekonomi AS akan melambat begitu dampak stimulus fiskal mereda. Kami menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS karena pengenaan bea masuk terhadap banyak sekali produk China, dan China juga melakukan pembalasan dengan kebijakan serupa," papar Obstfeld. 

Untuk 2019, IMF memperkirakan ekonomi AS tumbuh 2,5%. Lebih lambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 2,7%. IMF kini menyatakan bahwa perekonomian global memang lebih condong ke arah melambat (downside). 

"Kita banyak sekali mendengar kabar buruk. Kami menilai kabar buruk yang datang akan semakin banyak," ujar Obstfeld. 

Saham-saham emiten yang mengandalkan China sebagai pasar ekspor utama mengalami koreksi tajam misalnya Caterpillar (-2,54%) atau 3M (-1,84%). Indeks saham industri pun anjlok 1,4%. 

Sementara Nasdaq yang mampu finis di zona hijau terbantu oleh kenaikan harga saham-saham teknologi. Harga saham Apple hari ini ditutup melonjak 1,39%, Microsoft lompat 1,27%, dan Verizon melejit 1,05%. 

Meski China juga memberlakukan bea masuk terhadap ribuan barang made in USA, tetapi produk Apple adalah pengecualian. Investor mensyukuri hal ini dengan memborong saham produsen iPhone tersebut sehingga harganya naik signifikan. 


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu hasil dari Wall Street yang kurang oke. Dikhawatirkan Wall Street yang cenderung merah akan menular ke bursa saham Asia, tidak terkecuali IHSG. 

Kedua adalah nilai tukar dolar AS yang pagi ini melemah. Pada pukul 05:16 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama) melemah 0,09%. 

Pelemahan ini terjadi seiring koreksi yield obligasi. Pada pukul 05:17 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun berada di 3,2063% atau turun 2,07 basis poin dibandingkan akhir pekan lalu. Awal pekan ini, pasar obligasi AS tutup memperingati hari penemuan Benua Amerika oleh Christopher Colombus (Colombus Day). 

Arus modal yang masuk ke pasar obligasi hari ini sukses menaikkan harga dan menekan yield ke bawah. Dari lelang obligasi pemerintah AS, untuk tenor 4 pekan jumlah yang dimenangkan adalah US$ 40 miliar atau sesuai target. Tenor 13 tahun juga sesuai target indikatif yang sebesar US$ 48 miliar. 

Sementara untuk tenor 26 pekan, jumlah yang dimenangkan juga sama dengan target yaitu US$ 42 miliar. Sedangkan untuk tenor 52 pekan pun sejalan dengan target sebesar US$ 26 miliar.  

Penurunan yield adalah pertanda bearish bagi greenback. Sebab yield yang turun di pasar sekunder akan membuat kupon di penerbitan berikutnya berpotensi turun sehingga menyurutkan minat untuk masuk ke pasar obligasi. Jika minat terhadap obligasi AS turun, maka kebutuhan greenback pun terbatas sehingga nilainya menjadi lebih murah. 

Namun jelang lelang obligasi tenor jangka panjang pada 10 Oktober waktu AS, investor biasanya kembali melakukan aksi lepas untuk menekan harga dan menaikkan yield. Oleh karena itu, ada kemungkinan yield kembali bergerak naik jelang lelang obligasi tenor 3 dan 10 tahun. 

Jadi, meski saat ini dolar AS lesu tetapi investor tetap harus waspada. Ada potensi yield obligasi kembali terangkat sehingga menjadi sinyal bullish buat dolar AS. Apabila ini terjadi, maka rupiah sepertinya harus siap melemah 8 hari perdagangan berturut-turut. 


Sentimen ketiga adalah perang dagang. Meski sudah diperingatkan oleh IMF bahwa perang dagang dapat melukai perekonomian dunia, tetapi Presiden AS Donald Trump tetap bergeming. Eks taipan properti itu masih saja melakukan serangan verbal kepada Negeri Tirai Bambu. 

"China ingin membuat kesepakatan, dan saya katakan mereka belum siap. Kami telah membatalkan beberapa pertemuan karena saya mengatakan mereka belum siap untuk membuat kesepakatan," tegas Trump kepada reporter di Gedung Putih, mengutip Reuters. 

Apakah Trump juga siap untuk mengenakan bea masuk baru kepada produk made in China? "Tentu saja," tuturnya. 

Setelah terakhir mengenakan bea masuk terhadap impor produk China senilai US$ 200 miliar, Trump memang disebut-sebut siap mengeksekusi bea masuk tahap selanjutnya yaitu yang bernilai US 267 miliar. Jika Trump sampai mengenakan bea masuk baru, maka hampir pasti China akan membalas. Perang dagang pun bakal makin sengit. 

Ternyata risiko perlambatan ekonomi global yang disebutkan IMF belum mampu mengetuk pintu hati Trump. Oleh karena itu, risiko perang dagang dan perlambatan ekonomi sepertinya belum akan berakhir dalam waktu dekat. Betul kata IMF, kabar buruk sepertinya akan terus berdatangan. 

Sentimen keempat adalah harga minyak. Pada pukul 05:43 WIB, harga minyak jenis brent melonjak 1,13%.  

Penyebabnya adalah ledakan kuat di kilang Brod (Bosnia). Kilang ini dimiliki oleh Zarubezhneft, perusahaan minyak Rusia. Belum ada laporan korban jiwa, tetapi setidaknya 8 orang pekerja terluka dalam insiden ini. 

"Ledakannya sangat kuat. Bahkan terdengar sampai Slavonski," kata Dragana Kerkez, Juru Bicara Kepolisian Bosnia, seperti dikutip Reuters. Slavonski adalah kota yang sudah masuk bagian negara tetangga yaitu Kroasia. 

Investor pun mencemaskan berkurangnya pasokan minyak ke pasar global. Situasi serupa pernah terjadi di AS, harga minyak terdongrak karena seretnya pasokan minyak dari fasilitas pengeboran di Kanada akibat ledakan. 


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Pidato Direktur IMF Christine Lagarde, Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim, dan Direktur WTO Roberto Azevedo di Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali (tentatif).
  • Pidato Presiden The Fed New York John Williams (08:10 WIB).
  • Rilis data produksi manufaktur Inggris periode Agustus 2018 (15:30 WIB).
  • Pidato Kepala Ekonom Bank of England Andy Haldane (16:00 WIB).
  • Rilis data Indeks Harga Produsen AS periode September 2018 (19:30 WIB).

Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Verena Multi Finance Tbk (VRNA)RUPSLB10:00
PT China Construction Bank Tbk (MCOR)RUPSLB14:00
PT Intikeramik Alamasri Industri Tbk (IKAI)RUPSLB10:00
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:  

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY)5.27%
Inflasi (Agustus 2018 YoY)3.20%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2018)-3.04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2018)-US$ 4.31 miliar
Cadangan devisa (Agustus 2018)US$ 114.85 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular