
Newsletter
Biang Kerok Itu Bernama Yield Obligasi AS
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
08 October 2018 05:38

Sentimen keempat adalah perkembangan perang dagang AS vs China yang bisa kumat sewaktu-waktu. Teranyar, AS sedang mencari kawan dengan menggandeng Uni Eropa dan Jepang untuk bersama-sama menekan China.
Saat ini, Washington sedang dalam pembicaraan awal dengan Brussel dan Tokyo untuk menurunkan tarif bea masuk dan hambatan regulasi. Jika hasilnya sukses seperti perundingan dengan Meksiko dan Kanada, maka AS secara de facto akan membentuk blok perdagangan untuk menghadapi China.
Dalam kesepakatan trilateral AS-Meksiko-Kanada (USMCA), ada klausul yang menyebutkan bahwa jika salah satu pihak yang membuka kerjasama dengan negara yang tidak menerapkan mekanisme pasar dalam perdagangan, maka dua negara lainnya boleh keluar dan pembentuk perjanjian bilateral. Negara yang tidak menerapkan mekanisme pasar dalam perdagangan tentu saja merujuk ke China.
"Itu logis, semacam pil racun," ujar Wilbur Ross, Menteri Perdagangan AS, dikutip dari Reuters. Pil racun di sini maksudnya adalah barang siapa yang melanggar, sama saja bunuh diri.
Apabila Uni Eropa dan Jepang sepakat dengan klausul seperti USMCA tersebut, maka posisi China bisa semakin terpojok. "Klausul itu bisa dipakai di perundingan Meksiko dan Kanada. Apakah bisa dipakai untuk negara lain, kita lihat saja nanti," tambah Ross.
Beijing belum menanggapi dinamika ini. Namun ada kemungkinan China akan membalas, entah dengan pengenaan bea masuk baru atau ikut mencari sekutu. Rusia adalah sekutu potensial, karena baru-baru ini Beijing telah membeli pesawat tempur dari Negeri Beruang Merah, langkah yang memancing murka AS.
Bila perang dagang AS vs China semakin panas dan meluas dengan melibatkan negara-negara lain, maka perekonomian dunia akan di ujung tanduk. Saling hambat perdagangan akan terus terjadi dan mengancam pertumbuhan ekonomi global.
Sentimen kelima, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis cadangan devisa. Akhir pekan lalu, Bank Indonesia (BI) mengumumkan cadangan devisa per akhir September sebesar US$ 114,85 miliar. Turun US$ 3,08 miliar dibandingkan bulan sebelumnya. Sejak awal tahun, cadangan devisa Indonesia sudah melorot US$ 17,13 miliar.
Cadangan devisa memang masih memadai dan di atas kecukupan internasional. Namun apabila terus berkurang, maka akan menimbulkan persepsi bahwa Indonesia semakin rentan menghadapi gejolak eksternal.
Menipisnya cadangan devisa membuat amunisi bank sentral untuk mengintervensi rupiah kian terbatas. Alhasil, rupiah bisa kekurangan energi untuk bisa menguat pada awal pekan ini.
(aji/aji)
Saat ini, Washington sedang dalam pembicaraan awal dengan Brussel dan Tokyo untuk menurunkan tarif bea masuk dan hambatan regulasi. Jika hasilnya sukses seperti perundingan dengan Meksiko dan Kanada, maka AS secara de facto akan membentuk blok perdagangan untuk menghadapi China.
Dalam kesepakatan trilateral AS-Meksiko-Kanada (USMCA), ada klausul yang menyebutkan bahwa jika salah satu pihak yang membuka kerjasama dengan negara yang tidak menerapkan mekanisme pasar dalam perdagangan, maka dua negara lainnya boleh keluar dan pembentuk perjanjian bilateral. Negara yang tidak menerapkan mekanisme pasar dalam perdagangan tentu saja merujuk ke China.
"Itu logis, semacam pil racun," ujar Wilbur Ross, Menteri Perdagangan AS, dikutip dari Reuters. Pil racun di sini maksudnya adalah barang siapa yang melanggar, sama saja bunuh diri.
Apabila Uni Eropa dan Jepang sepakat dengan klausul seperti USMCA tersebut, maka posisi China bisa semakin terpojok. "Klausul itu bisa dipakai di perundingan Meksiko dan Kanada. Apakah bisa dipakai untuk negara lain, kita lihat saja nanti," tambah Ross.
Beijing belum menanggapi dinamika ini. Namun ada kemungkinan China akan membalas, entah dengan pengenaan bea masuk baru atau ikut mencari sekutu. Rusia adalah sekutu potensial, karena baru-baru ini Beijing telah membeli pesawat tempur dari Negeri Beruang Merah, langkah yang memancing murka AS.
Bila perang dagang AS vs China semakin panas dan meluas dengan melibatkan negara-negara lain, maka perekonomian dunia akan di ujung tanduk. Saling hambat perdagangan akan terus terjadi dan mengancam pertumbuhan ekonomi global.
Sentimen kelima, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis cadangan devisa. Akhir pekan lalu, Bank Indonesia (BI) mengumumkan cadangan devisa per akhir September sebesar US$ 114,85 miliar. Turun US$ 3,08 miliar dibandingkan bulan sebelumnya. Sejak awal tahun, cadangan devisa Indonesia sudah melorot US$ 17,13 miliar.
Cadangan devisa memang masih memadai dan di atas kecukupan internasional. Namun apabila terus berkurang, maka akan menimbulkan persepsi bahwa Indonesia semakin rentan menghadapi gejolak eksternal.
Menipisnya cadangan devisa membuat amunisi bank sentral untuk mengintervensi rupiah kian terbatas. Alhasil, rupiah bisa kekurangan energi untuk bisa menguat pada awal pekan ini.
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular