
Newsletter
Biang Kerok Itu Bernama Yield Obligasi AS
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
08 October 2018 05:38

Namun bukan hanya IHSG yang melemah, Wall Street pun mengalami gejala serupa. Sepanjang pekan lalu, Dow Jones Industrial Average (DJIA) terkoreksi tipis 0,04%, S&P 500 berkurang 0,98%, dan Nasdaq Composite ambruk 3,2%. Ini merupakan koreksi mingguan terdalam yang dialami Nasdaq sejak Maret lalu.
Seperti halnya di Indonesia, bursa saham New York juga kekurangan 'darah' seiring kenaikan yield obligasi AS. Di AS, pergerakan pasar saham dan yield obligasi berbanding terbalik.
Saat pasar saham bullish, maka yield bergerak turun karena menandakan risiko sedang minim. Sebaliknya ketika pasar saham tertekan berarti yield naik karena ada indikasi risiko ke depan.
Risiko itu bernama inflasi. Meski saat ini belum terlalu kelihatan, tetapi risiko inflasi di Negeri Paman Sam semakin nyata seiring membaiknya data-data ekonomi di sana.
Terakhir, Kementerian Ketenagakerjaan AS melaporkan angka pengangguran pada September sebesar 3,7%, lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun Reuters yaitu 3,8%. Angka pengangguran 3,7% merupakan yang terendah sejak 1969.
Rendahnya angka pengangguran berarti ada potensi peningkatan konsumsi masyarakat. Apabila dunia usaha kewalahan memenuhi kenaikan permintaan ini, maka tekanan inflasi sudah di depan mata.
Risiko inflasi yang kian nyata membuat investor 'bertaruh' dengan yield obligasi. Seberapa tinggi yield obligasi dianggap pantas untuk menutup inflasi? Pertaruhan ini dilakukan dengan melepas obligasi sehingga harganya turun dan mendongrak yield.
Semakin lama yield semakin terdorong ke atas, sehingga memancing minat investor untuk mendapatkan cuan di instrumen ini. Cuan ini akan didapat di lelang obligasi berikutnya, karena pasti ada penawaran kupon yang tinggi.
Lelang obligasi pemerintah AS terdekat adalah pada 9 Oktober waktu setempat yaitu untuk tenor-tenor jangka pendek seperti 4, 13, 26, dan 52 minggu. Lalu pada 10 Oktober akan ada lelang lagi untuk tenor yang lebih panjang yaitu 3 dan 10 tahun.
Didorong oleh pencarian cuan, investor ramai-ramai berburu dolar AS sebagai amunisi menghadapi lelang obligasi pemerintah AS ke depan. Greenback pun semakin melaju dan meninggalkan Wall Street di belakang.
(aji/aji)
Seperti halnya di Indonesia, bursa saham New York juga kekurangan 'darah' seiring kenaikan yield obligasi AS. Di AS, pergerakan pasar saham dan yield obligasi berbanding terbalik.
Saat pasar saham bullish, maka yield bergerak turun karena menandakan risiko sedang minim. Sebaliknya ketika pasar saham tertekan berarti yield naik karena ada indikasi risiko ke depan.
Risiko itu bernama inflasi. Meski saat ini belum terlalu kelihatan, tetapi risiko inflasi di Negeri Paman Sam semakin nyata seiring membaiknya data-data ekonomi di sana.
Terakhir, Kementerian Ketenagakerjaan AS melaporkan angka pengangguran pada September sebesar 3,7%, lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun Reuters yaitu 3,8%. Angka pengangguran 3,7% merupakan yang terendah sejak 1969.
Rendahnya angka pengangguran berarti ada potensi peningkatan konsumsi masyarakat. Apabila dunia usaha kewalahan memenuhi kenaikan permintaan ini, maka tekanan inflasi sudah di depan mata.
Risiko inflasi yang kian nyata membuat investor 'bertaruh' dengan yield obligasi. Seberapa tinggi yield obligasi dianggap pantas untuk menutup inflasi? Pertaruhan ini dilakukan dengan melepas obligasi sehingga harganya turun dan mendongrak yield.
Semakin lama yield semakin terdorong ke atas, sehingga memancing minat investor untuk mendapatkan cuan di instrumen ini. Cuan ini akan didapat di lelang obligasi berikutnya, karena pasti ada penawaran kupon yang tinggi.
Lelang obligasi pemerintah AS terdekat adalah pada 9 Oktober waktu setempat yaitu untuk tenor-tenor jangka pendek seperti 4, 13, 26, dan 52 minggu. Lalu pada 10 Oktober akan ada lelang lagi untuk tenor yang lebih panjang yaitu 3 dan 10 tahun.
Didorong oleh pencarian cuan, investor ramai-ramai berburu dolar AS sebagai amunisi menghadapi lelang obligasi pemerintah AS ke depan. Greenback pun semakin melaju dan meninggalkan Wall Street di belakang.
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular