
Newsletter
Cermati 'Gempa Susulan' Setelah Rapat The Fed dan BI
Raditya Hanung & Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
28 September 2018 06:10

Jakarrta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu menguat lumayan signifikan sementara rupiah justru melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Dibuka melemah tipis 0,03%, IHSG ditutup menguat 0,95%. Pergerakan IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang justru ditransaksikan di zona merah. Indeks Nikkei 225 turun 0,99%, Strait Times melemah 0,09%, Shanghai Composite terkoreksi 0,54%, dan indeks Hang Seng minus 0,36%.
Di sisi lain, nilai tukar rupiah melemah 0,08% terhadap dolar AS. Rupiah jadi mata uang dengan depresiasi paling dalam di Asia.
Tekanan di pasar keuangan Asia datang dari hasil dari pertemuan The Federal Reserve/The Fed. Pada hari Rabu waktu setempat (26/9/2018), bank sentral AS itu menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,25%. The Fed pun sudah melihat kebijakan suku bunga tidak lagi bersifat akomodatif, tetapi cenderung ketat.
Agresifnya the Fed bertujuan untuk mencegah perekonomian AS mengalami overheating. Namun, di sisi lain, kenaikan suku bunga juga memancing arus modal kembali merapat ke Negeri Paman Sam.
Investor berharap akan ada kenaikan imbalan investasi (terutama yang berpendapatan tetap) karena suku bunga acuan naik. Akibatnya, dolar AS mendapatkan kekuatan untuk bergerak menguat, karena permintaannya meningkat. Greenback pun menekan beberapa mata uang Asia, termasuk rupiah.
Meski demikian, sebenarnya pamor dolar AS agak redup di Asia. Sepertinya investor di Benua Kuning sudah tidak terkejut dengan keputusan The Fed. Sudah agak lama pelaku pasar memperkirakan ada kenaikan Federal Funds Rate pada September, bahkan terjadi lagi pada Desember.
Kebijakan The Fed yang sudah terkalkulasi alias priced-in ini membuat penguatan dolar AS di Asia tertahan. Arus modal masih bersedia masuk ke pasar keuangan Benua Kuning, sehingga sejumlah mata uang di Asa masih bisa bergerak menguat.
Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) juga menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps ke 5,75%. Keputusan ini sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia.
Sayangnya, kenaikan suku bunga terbukti belum cukup ampuh untuk menyelamatkan rupiah, meski ada iming-iming potensi kenaikan imbalan investasi. Jelang akhir kuartal III, sepertinya kekhawatiran terhadap transaksi berjalan (current account) menebal. Ada kemungkinan transaksi berjalan kuartal III-2018 kembali mencatat defisit yang dalam seperti kuartal sebelumnya yaitu 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Artinya, ke depan rupiah masih berisiko melemah karena minimnya sokongan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Apalagi devisa dari portofolio keuangan (hot money) juga seret karena banyak tersedot ke AS.
Dengan prospek rupiah yang agak mendung, investor tentu ragu untuk memegang rupiah dan instrumen berbasis mata uang ini. Akibatnya, rupiah yang sudah melemah justru semakin tertekan.
Dibuka melemah tipis 0,03%, IHSG ditutup menguat 0,95%. Pergerakan IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang justru ditransaksikan di zona merah. Indeks Nikkei 225 turun 0,99%, Strait Times melemah 0,09%, Shanghai Composite terkoreksi 0,54%, dan indeks Hang Seng minus 0,36%.
Di sisi lain, nilai tukar rupiah melemah 0,08% terhadap dolar AS. Rupiah jadi mata uang dengan depresiasi paling dalam di Asia.
Tekanan di pasar keuangan Asia datang dari hasil dari pertemuan The Federal Reserve/The Fed. Pada hari Rabu waktu setempat (26/9/2018), bank sentral AS itu menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,25%. The Fed pun sudah melihat kebijakan suku bunga tidak lagi bersifat akomodatif, tetapi cenderung ketat.
Agresifnya the Fed bertujuan untuk mencegah perekonomian AS mengalami overheating. Namun, di sisi lain, kenaikan suku bunga juga memancing arus modal kembali merapat ke Negeri Paman Sam.
Investor berharap akan ada kenaikan imbalan investasi (terutama yang berpendapatan tetap) karena suku bunga acuan naik. Akibatnya, dolar AS mendapatkan kekuatan untuk bergerak menguat, karena permintaannya meningkat. Greenback pun menekan beberapa mata uang Asia, termasuk rupiah.
Meski demikian, sebenarnya pamor dolar AS agak redup di Asia. Sepertinya investor di Benua Kuning sudah tidak terkejut dengan keputusan The Fed. Sudah agak lama pelaku pasar memperkirakan ada kenaikan Federal Funds Rate pada September, bahkan terjadi lagi pada Desember.
Kebijakan The Fed yang sudah terkalkulasi alias priced-in ini membuat penguatan dolar AS di Asia tertahan. Arus modal masih bersedia masuk ke pasar keuangan Benua Kuning, sehingga sejumlah mata uang di Asa masih bisa bergerak menguat.
Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) juga menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps ke 5,75%. Keputusan ini sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia.
Sayangnya, kenaikan suku bunga terbukti belum cukup ampuh untuk menyelamatkan rupiah, meski ada iming-iming potensi kenaikan imbalan investasi. Jelang akhir kuartal III, sepertinya kekhawatiran terhadap transaksi berjalan (current account) menebal. Ada kemungkinan transaksi berjalan kuartal III-2018 kembali mencatat defisit yang dalam seperti kuartal sebelumnya yaitu 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Artinya, ke depan rupiah masih berisiko melemah karena minimnya sokongan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Apalagi devisa dari portofolio keuangan (hot money) juga seret karena banyak tersedot ke AS.
Dengan prospek rupiah yang agak mendung, investor tentu ragu untuk memegang rupiah dan instrumen berbasis mata uang ini. Akibatnya, rupiah yang sudah melemah justru semakin tertekan.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular