
Newsletter
Kombinasi Sikap Hawkish Trump & Fed Ciutkan Nyali Pasar
Arif Gunawan & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
26 September 2018 06:59

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Selasa (25/9/2018) surut 0,14% ke 5.874,3. Pergerakan IHSG ini berbanding terbalik dengan indeks utama Kawasan Asia yakni Nikkei dan Strait Times yang menguat, masing-masing sebesar 0,29% dan 0,53%, tatkala bursa Korea Selatan dan Hong Kong libur.
PT Bursa Efek Indonesia (BEI) kemarin mencatat nilai transaksi sebesar Rp 5,41 triliun dengan volume sebanyak 8,75 miliar unit saham dengan frekuensi perdagangan 312.873 kali.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam menekan IHSG adalah PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-2,28%), PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk/INKP (-4,22%), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (-1,85%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (-2,82%), dan PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk/TKIM (-3,57%).
Dari sisi eksternal, sentimen positif bagi bursa saham Benua Kuning datang dari kesepakatan dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Korea Selatan. Pasca pertemuan bilateral pada Senin, Presiden AS Donald Trump dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in melakukan penandatanganan perjanjian dagang yang disebut Trump sebagai "kesepakatan yang sangat besar".
Lebih lanjut, Trump menyebut perjanjian tersebut sebagai sesuatu yang "adil dan saling menguntungkan". Perjanjian ini diyakini akan mengurangi defisit perdagangan AS dengan Korsel dan memperbesar peluang ekspor produk AS ke Negeri Ginseng seperti mobil, obat-obatan, dan produk agrikultur.
"Saya rasa petani kami akan sangat senang, dulu sangatlah terbatas dalam hal apa yang bisa mereka lakukan dan apa yang mereka bisa kirimkan, dan sekarang ini adalah pasar terbuka dan mereka akan mengirimkan lebih banyak produk pertanian," kata Trump yang menambahkan bahwa perjanjian dagang itu memungkinkan pabrikan mobil AS mengekspor hingga 2 kali lipat ke Korsel, seperti dikutip dari CNN.
Tak hanya kesepakatan dagang dengan Korea Selatan, rencana pertemuan dengan Pimpinan Korea Utara Kim Jong Un juga menjadi salah satu materi pembicaraan. Trump menyebut bahwa waktu dan tempat untuk pertemuan kedua dengan Kim Jong Un akan diumumkan "dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama".
Sayangnya, sentimen ini tak mampu dimanfaatkan IHSG di tengah rupiah yang terkapar. Hingga sore hari, rupiah melemah 0,37% di pasar spot ke Rp 14.915/dolar AS. Pelaku pasar uang memilih bermain aman dengan memeluk dolar AS menjelang keputusan bank sentral AS alias The Federal Reserve terkait suku bunga acuannya.
NEXT
Indeks bursa utama AS yakni Dow Jones Industrial Index (DJIA) ditutup melemah 0,26% (69,8 poin) ke 26.492,21, diikuti S&P 500 yang turun tipis 0,13% (3,81 poin) ke 2.915,56. Namun Nasdaq tidak kompak dengan menguat 0,18% (14,22 poin) ke 8.007,47.
Saham yang menjadi pemberat utama Wall Street kemarin adalah Boeing Company BA dan General Electric Company (GE) yang terpelanting masing-masing sebesar -1,1% dan -3,5%. Di sisi lain, saham utama sektor teknologi di AS menguat dipimpin Apple yang naik 0,63% setelah produknya kalis dari daftar tarif perang dagang.
Bursa AS melemah setelah Trump memberikan pidato di Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengukuhkan sikap hawkish-nya terkait perang dagang, mengklaim dia tidak akan membiarkan negaranya “dimanfaatkan” dan AS tak akan “menolerir penyalahgunaan” seperti itu terulang.
Sebelumnya pada Senin, Beijing menyatakan bahwa AS tengah melancarkan “perundungan dagang” (trade bully-ism) merespons keputusan resmi Negara Adidaya tersebut memberlakukan tarif terhadap produk asal China senilai total US$200 miliar.
"Ini jelas pidato America First yang akan bergaung dalam jangka menengah," ujar chief market strategist Prudential Financial Quincy Krosby. "Bukan berarti tak akan ada negosiasi, tapi dia menegaskan bahwa AS ingin level playing field (perlakuan setara)."
Di pasar surat utang, obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun—yang menjadi acuan pasar—mencatatkan kenaikan imbal hasil (yield) ke 3,11% atau mendekati level tertingginya setahun ini menjelang pengumuman tingkat suku bunga acuan terbaru AS (Fed Funds Rate).
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 25 September 2018, peluang Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) pada pertemuan kali ini mencapai 93,8%.
Pengumuman tersebut akan berlangsung pada 27 September dini hari waktu Indonesia. Kenaikan suku bunga acuan akan membuat pasar keuangan AS semakin seksi, terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti surat utang.
Imbal hasil investasi akan naik sehingga menanamkan modal di Negeri Adidaya kian menggiurkan. Akibatnya, arus modal pun berkerumun di sekitar dolar AS dan nilainya semakin mahal atau menguat.
NEXT
Perhatian pemodal masih akan mengacu pada arah perang dagang dua negara dengan kekuatan ekonomi terbesar dunia tersebut, yakni AS dan China. Terutama, dengan melihat respons China terhadap sikap keukeuh Trump tersebut.
Sebagai catatan, dot plot merupakan sebuah survei dari anggota-anggota FOMC (Federal Open Market Committee) selaku pengambil keputusan terkait proyeksi mereka atas tingkat suku bunga acuan pada akhir tahun.
Melalui dot plot versi terbaru, akan diketahui apakah semakin banyak anggota FOMC yang melihat kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini, lebih banyak dari perkiraan semula sebanyak 3 kali. Kenaikan ini bakal membuat dolar AS kian menguat dan rupiah kepayahan.
Sikap berjaga-jaga atas keputusan Fed ini diambil Bank Indonesia (BI) yang memutuskan menggelar rapat dewan gubernur (RDG) menunggu keputusan Fed Rate. Biasanya, BI menggelar rapat di pertengahan bulan, tapi kali ini RDG digelar pada akhir bulan, yakni 26 dan 27 September.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memang memperkirakan BI akan menaikkan 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 5,75%.Namun suara pasar belum bulat, karena ada yang memperkirakan suku bunga ditahan di 5,5%.
Dari sisi fiskal, sentimen yang ada malah cenderung negatif. Implementasi kebijakan bauran 20% minyak sawit di dalam bahan bakar solar alias B20 ternyata menemui kendala di tengah jalan. Kebijakan ini merupakan salah satu amunisi pemerintah untuk meredam pelemahan rupiah.
Kini, implementasi kebijakan B20 ternyata terbukti belum menyeluruh, seiring dengan kendala pada pasokan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) yang merupakan salah satu bahan pembuat biodiesel.
Dari 112 terminal BBM milik perusahaan pelat merah ini, baru 69 yang sudah menerima penyaluran FAME. Sebagian besar daerah yang belum tersalurkan FAME berada di kawasan timur seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua, dan Sulawesi.
Jika implementasi B20 belum menyeluruh, impor minyak akan sulit direm sehingga pelebaran defisit neraca berjalan (current account deficit/ CAD) akan juga sulit diredam. Sebagai informasi, CAD kuartal II-2018 sudah menembus level 3% PDB, dan merupakan catatan terburuk sejak 2014.
Oleh karena itu, investor sepertinya masih wait and see jelang pengumuman suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI). Namun sisi positifnya, terlepas dari pelemahan rupiah, investor asing membukukan beli bersih (net buy) senilai Rp 19,5 miliar di bursa kemarin.
Padahal pada akhir sesi 1, mereka membukukan jual bersih (net sell) Rp 39,15 miliar. Lima besar saham yang paling banyak diburu investor asing adalah: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 68,5 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 35,4 miliar), PT Astra International Tbk/ASII (Rp 13,6 miliar), PT BFI Finance Indonesia Tbk/BFIN (Rp 12,8 miliar), dan PT Matahari Department Store Tbk/LPPF (Rp 12,5 miliar).
NEXT
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Investor juga perlu mencermati aksi perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Terpujilah Mereka yang Tak Panik oleh Gertakan Koboi Trump
PT Bursa Efek Indonesia (BEI) kemarin mencatat nilai transaksi sebesar Rp 5,41 triliun dengan volume sebanyak 8,75 miliar unit saham dengan frekuensi perdagangan 312.873 kali.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam menekan IHSG adalah PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-2,28%), PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk/INKP (-4,22%), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (-1,85%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (-2,82%), dan PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk/TKIM (-3,57%).
Dari sisi eksternal, sentimen positif bagi bursa saham Benua Kuning datang dari kesepakatan dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Korea Selatan. Pasca pertemuan bilateral pada Senin, Presiden AS Donald Trump dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in melakukan penandatanganan perjanjian dagang yang disebut Trump sebagai "kesepakatan yang sangat besar".
Lebih lanjut, Trump menyebut perjanjian tersebut sebagai sesuatu yang "adil dan saling menguntungkan". Perjanjian ini diyakini akan mengurangi defisit perdagangan AS dengan Korsel dan memperbesar peluang ekspor produk AS ke Negeri Ginseng seperti mobil, obat-obatan, dan produk agrikultur.
"Saya rasa petani kami akan sangat senang, dulu sangatlah terbatas dalam hal apa yang bisa mereka lakukan dan apa yang mereka bisa kirimkan, dan sekarang ini adalah pasar terbuka dan mereka akan mengirimkan lebih banyak produk pertanian," kata Trump yang menambahkan bahwa perjanjian dagang itu memungkinkan pabrikan mobil AS mengekspor hingga 2 kali lipat ke Korsel, seperti dikutip dari CNN.
Tak hanya kesepakatan dagang dengan Korea Selatan, rencana pertemuan dengan Pimpinan Korea Utara Kim Jong Un juga menjadi salah satu materi pembicaraan. Trump menyebut bahwa waktu dan tempat untuk pertemuan kedua dengan Kim Jong Un akan diumumkan "dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama".
Sayangnya, sentimen ini tak mampu dimanfaatkan IHSG di tengah rupiah yang terkapar. Hingga sore hari, rupiah melemah 0,37% di pasar spot ke Rp 14.915/dolar AS. Pelaku pasar uang memilih bermain aman dengan memeluk dolar AS menjelang keputusan bank sentral AS alias The Federal Reserve terkait suku bunga acuannya.
NEXT
Indeks bursa utama AS yakni Dow Jones Industrial Index (DJIA) ditutup melemah 0,26% (69,8 poin) ke 26.492,21, diikuti S&P 500 yang turun tipis 0,13% (3,81 poin) ke 2.915,56. Namun Nasdaq tidak kompak dengan menguat 0,18% (14,22 poin) ke 8.007,47.
Saham yang menjadi pemberat utama Wall Street kemarin adalah Boeing Company BA dan General Electric Company (GE) yang terpelanting masing-masing sebesar -1,1% dan -3,5%. Di sisi lain, saham utama sektor teknologi di AS menguat dipimpin Apple yang naik 0,63% setelah produknya kalis dari daftar tarif perang dagang.
Bursa AS melemah setelah Trump memberikan pidato di Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengukuhkan sikap hawkish-nya terkait perang dagang, mengklaim dia tidak akan membiarkan negaranya “dimanfaatkan” dan AS tak akan “menolerir penyalahgunaan” seperti itu terulang.
Sebelumnya pada Senin, Beijing menyatakan bahwa AS tengah melancarkan “perundungan dagang” (trade bully-ism) merespons keputusan resmi Negara Adidaya tersebut memberlakukan tarif terhadap produk asal China senilai total US$200 miliar.
"Ini jelas pidato America First yang akan bergaung dalam jangka menengah," ujar chief market strategist Prudential Financial Quincy Krosby. "Bukan berarti tak akan ada negosiasi, tapi dia menegaskan bahwa AS ingin level playing field (perlakuan setara)."
Di pasar surat utang, obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun—yang menjadi acuan pasar—mencatatkan kenaikan imbal hasil (yield) ke 3,11% atau mendekati level tertingginya setahun ini menjelang pengumuman tingkat suku bunga acuan terbaru AS (Fed Funds Rate).
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 25 September 2018, peluang Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) pada pertemuan kali ini mencapai 93,8%.
Pengumuman tersebut akan berlangsung pada 27 September dini hari waktu Indonesia. Kenaikan suku bunga acuan akan membuat pasar keuangan AS semakin seksi, terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti surat utang.
Imbal hasil investasi akan naik sehingga menanamkan modal di Negeri Adidaya kian menggiurkan. Akibatnya, arus modal pun berkerumun di sekitar dolar AS dan nilainya semakin mahal atau menguat.
NEXT
Perhatian pemodal masih akan mengacu pada arah perang dagang dua negara dengan kekuatan ekonomi terbesar dunia tersebut, yakni AS dan China. Terutama, dengan melihat respons China terhadap sikap keukeuh Trump tersebut.
Selama friksi antar dua raksasa ekonomi dunia ini masih ada, maka selama itu pula perekonomian dunia akan terancam. Perang dagang akan menghambat arus perdagangan global yang akhirnya menjadi pemberat pertumbuhan ekonomi dunia.
Lembaga pemeringkat Fitch Ratings memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2019 sebesar 3,1% atau melambat dibandingkan tahun ini yang diperkirakan 3,3% salah satunya karena perang dagang yang mempengaruhi rantai pasokan (supply chain) global.
Sejauh ini, China menyatakan akan mengimbangi permainan Trump. Dalam buku putihnya setebal 71 halaman, Beijing menyatakan pihaknya tidak menginginkan perang dagang, tetapi tidak gentar dan akan melawan Trump jika diperlukan.
Sikap ini memposisikan Negeri Tirai Bambu itu sebagai “pembela perdagangan dunia” yang sedang terancam oleh sikap semena-mena AS. Isu ekonomi ini pun berpeluang berakhir menjadi perkubuan politik yang membuat situasi dunia makin runyam. China telah menjalin komunikasi dengan Rusia untuk tetap memungkinkan perdagangan dengan Iran, yang sedang dihajar Trump dengan berbagai embargo.
Trump memerintahkan semua negara terutama China, India, dan Turki untuk menghentikan impor minyak dari Iran, mengikuti Jepang yang sudah patuh. AS memberikan tenggat waktu hingga 4 November ketika Negeri Sam ini memberlakukan kembali sanksi embargo ke Teheran. JP Morgan mengekspektasikan sanksi bagi Teheran dapat mengakibatkan hilangnya pasokan minyak global sebesar 1,5 juta barel/hari.
Ketegangan ini membuat harga energi utama dunia ini menguat hingga menyentuh level tertingginya dalam 4 tahun terakhir yakni US$82 per barel. Apalagi, setelah Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) menolak seruan Trump menaikkan produksi minyak mereka demi menurunkan harga.
"Saya tidak melihat ada kilang yang membutuhkan tambahan minyak dan tidak bisa mendapatkannya. Oleh karena itu, potensi (kenaikan produksi pada 2019) sangat kecil kecuali ada perubahan besar di suplai dan permintaan," ujar Khalid al-Falih, Menteri Energi Arab Saudi, dikutip dari Reuters. Sebagai informasi, Arab Saudi adalah pemimpin OPEC secara de facto.
Hal senada juga diutarakan oleh Menteri Energi Rusia Alaxander Novak. Novak berpendapat bahwa kenaikan produksi secara tiba-tiba belum diperlukan, meskipun dia percaya bahwa perang dagang AS-China sekaligus sanksi AS pada Iran merupakan tantangan baru bagi pasar minyak global.
"Permintaan minyak akan menurun pada kuartal IV tahun ini, dan kuartal I tahun depan. Sejauh ini, kita memutuskan untuk tetap berpegang pada kesepakatan Juni," ujar Novak, seperti dikutip dari Reuters.
Sebagai catatan, OPEC dan Rusia sepakat pada akhir 2016 untuk memangkas pasokan sekitar 1,8 juta barel/hari, dengan tujuan mengerek harga minyak dunia yang sedang loyo. Dua tahun setelahnya, pemangkasan produksi pun terjadi bahkan dengan skala lebih besar karena penurunan dari Venezuela dan Libya. Hal ini lantas berhasil melambungkan kembali harga sang emas hitam.
Merespons itu, saham-saham sektor energi di Indonesia pun melaju. Harga saham PT Medco Energi International Tbk (MEDC) naik 9,2%, PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) tumbuh 2,33%, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) menguat 1,97%, dan PT Elnusa Tbk (ELSA) melambung 6,98%.
Jika harga minyak masih melanjutkan relinya pada hari ini, bukan tidak mungkin saham-saham tersebut kembali menguat lebih lanjut, diikuti saham energi lainnya yakni emiten batu bara yang bisa kecipratan berkah.
NEXT
Perhatian dunia juga masih akan tertuju pada sikap Fed yang juga semakin keukeuh terkait normalisasi moneter di AS, meski Trump pernah meminta Fed tidak terlalu agresif menaikkan suku bunga acuan. Bersamaan dengan pengumuman tingkat suku bunga acuan terbarunya besok, the Fed akan merilis dot plot versi terbaru. Lembaga pemeringkat Fitch Ratings memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2019 sebesar 3,1% atau melambat dibandingkan tahun ini yang diperkirakan 3,3% salah satunya karena perang dagang yang mempengaruhi rantai pasokan (supply chain) global.
Sejauh ini, China menyatakan akan mengimbangi permainan Trump. Dalam buku putihnya setebal 71 halaman, Beijing menyatakan pihaknya tidak menginginkan perang dagang, tetapi tidak gentar dan akan melawan Trump jika diperlukan.
Sikap ini memposisikan Negeri Tirai Bambu itu sebagai “pembela perdagangan dunia” yang sedang terancam oleh sikap semena-mena AS. Isu ekonomi ini pun berpeluang berakhir menjadi perkubuan politik yang membuat situasi dunia makin runyam. China telah menjalin komunikasi dengan Rusia untuk tetap memungkinkan perdagangan dengan Iran, yang sedang dihajar Trump dengan berbagai embargo.
Trump memerintahkan semua negara terutama China, India, dan Turki untuk menghentikan impor minyak dari Iran, mengikuti Jepang yang sudah patuh. AS memberikan tenggat waktu hingga 4 November ketika Negeri Sam ini memberlakukan kembali sanksi embargo ke Teheran. JP Morgan mengekspektasikan sanksi bagi Teheran dapat mengakibatkan hilangnya pasokan minyak global sebesar 1,5 juta barel/hari.
Ketegangan ini membuat harga energi utama dunia ini menguat hingga menyentuh level tertingginya dalam 4 tahun terakhir yakni US$82 per barel. Apalagi, setelah Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) menolak seruan Trump menaikkan produksi minyak mereka demi menurunkan harga.
"Saya tidak melihat ada kilang yang membutuhkan tambahan minyak dan tidak bisa mendapatkannya. Oleh karena itu, potensi (kenaikan produksi pada 2019) sangat kecil kecuali ada perubahan besar di suplai dan permintaan," ujar Khalid al-Falih, Menteri Energi Arab Saudi, dikutip dari Reuters. Sebagai informasi, Arab Saudi adalah pemimpin OPEC secara de facto.
Hal senada juga diutarakan oleh Menteri Energi Rusia Alaxander Novak. Novak berpendapat bahwa kenaikan produksi secara tiba-tiba belum diperlukan, meskipun dia percaya bahwa perang dagang AS-China sekaligus sanksi AS pada Iran merupakan tantangan baru bagi pasar minyak global.
"Permintaan minyak akan menurun pada kuartal IV tahun ini, dan kuartal I tahun depan. Sejauh ini, kita memutuskan untuk tetap berpegang pada kesepakatan Juni," ujar Novak, seperti dikutip dari Reuters.
Sebagai catatan, OPEC dan Rusia sepakat pada akhir 2016 untuk memangkas pasokan sekitar 1,8 juta barel/hari, dengan tujuan mengerek harga minyak dunia yang sedang loyo. Dua tahun setelahnya, pemangkasan produksi pun terjadi bahkan dengan skala lebih besar karena penurunan dari Venezuela dan Libya. Hal ini lantas berhasil melambungkan kembali harga sang emas hitam.
Merespons itu, saham-saham sektor energi di Indonesia pun melaju. Harga saham PT Medco Energi International Tbk (MEDC) naik 9,2%, PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) tumbuh 2,33%, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) menguat 1,97%, dan PT Elnusa Tbk (ELSA) melambung 6,98%.
Jika harga minyak masih melanjutkan relinya pada hari ini, bukan tidak mungkin saham-saham tersebut kembali menguat lebih lanjut, diikuti saham energi lainnya yakni emiten batu bara yang bisa kecipratan berkah.
NEXT
Sebagai catatan, dot plot merupakan sebuah survei dari anggota-anggota FOMC (Federal Open Market Committee) selaku pengambil keputusan terkait proyeksi mereka atas tingkat suku bunga acuan pada akhir tahun.
Melalui dot plot versi terbaru, akan diketahui apakah semakin banyak anggota FOMC yang melihat kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini, lebih banyak dari perkiraan semula sebanyak 3 kali. Kenaikan ini bakal membuat dolar AS kian menguat dan rupiah kepayahan.
Sikap berjaga-jaga atas keputusan Fed ini diambil Bank Indonesia (BI) yang memutuskan menggelar rapat dewan gubernur (RDG) menunggu keputusan Fed Rate. Biasanya, BI menggelar rapat di pertengahan bulan, tapi kali ini RDG digelar pada akhir bulan, yakni 26 dan 27 September.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memang memperkirakan BI akan menaikkan 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 5,75%.Namun suara pasar belum bulat, karena ada yang memperkirakan suku bunga ditahan di 5,5%.
Dari sisi fiskal, sentimen yang ada malah cenderung negatif. Implementasi kebijakan bauran 20% minyak sawit di dalam bahan bakar solar alias B20 ternyata menemui kendala di tengah jalan. Kebijakan ini merupakan salah satu amunisi pemerintah untuk meredam pelemahan rupiah.
Kini, implementasi kebijakan B20 ternyata terbukti belum menyeluruh, seiring dengan kendala pada pasokan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) yang merupakan salah satu bahan pembuat biodiesel.
Dari 112 terminal BBM milik perusahaan pelat merah ini, baru 69 yang sudah menerima penyaluran FAME. Sebagian besar daerah yang belum tersalurkan FAME berada di kawasan timur seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua, dan Sulawesi.
Jika implementasi B20 belum menyeluruh, impor minyak akan sulit direm sehingga pelebaran defisit neraca berjalan (current account deficit/ CAD) akan juga sulit diredam. Sebagai informasi, CAD kuartal II-2018 sudah menembus level 3% PDB, dan merupakan catatan terburuk sejak 2014.
Oleh karena itu, investor sepertinya masih wait and see jelang pengumuman suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI). Namun sisi positifnya, terlepas dari pelemahan rupiah, investor asing membukukan beli bersih (net buy) senilai Rp 19,5 miliar di bursa kemarin.
Padahal pada akhir sesi 1, mereka membukukan jual bersih (net sell) Rp 39,15 miliar. Lima besar saham yang paling banyak diburu investor asing adalah: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 68,5 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 35,4 miliar), PT Astra International Tbk/ASII (Rp 13,6 miliar), PT BFI Finance Indonesia Tbk/BFIN (Rp 12,8 miliar), dan PT Matahari Department Store Tbk/LPPF (Rp 12,5 miliar).
NEXT
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data penjualan rumah baru AS periode Agustus 2018 (21.00
- RIlis data cadangan minyak mentah AS dalam sepekan hingga tanggal 21 September (21.30 WIB)
Investor juga perlu mencermati aksi perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
PT Kapuas Prima Coal Tbk (ZINC) | RUPSLB | 09:30 |
PT Jaya Pari Steel Tbk (JPRS) | RUPSLB | 10:00 |
PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk (GDST) | RUPSLB | 11:00 |
PT Rig Tenders Indonesia Tbk (RIGS) | RUPS Tahunan | 13:00 |
PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) | RUPS Tahunan | 14:00 |
PT Bhuwanatala Indah Permai Tbk (BIPP) | RUPSLB | 15:00 |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Terpujilah Mereka yang Tak Panik oleh Gertakan Koboi Trump
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular