
Newsletter
Perang Dagang Masih Dominan, Ke Mana Arah Angin Hari Ini?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 September 2018 05:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah, tetapi rupiah mampu membalikkan kedudukan dan menguat di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Kemarin, IHSG mengakhiri hari dengan pelemahan 0,21%. Padahal bursa saham utama Asia cenderung menguat, di mana Nikkei 225 melesat 1,41%, Hang Seng naik 0,56%, Shanghai Composite lompat 1,82%, dan Kospi bertambah 0,33%.
Bertolak belakang dengan IHSG, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berhasil berbalik menguat di perdagangan pasar spot. Rupiah hampir seharian berada di zona depresiasi, sebelum menguat jelang akhir perdagangan sebesar 0,13% ke Rp 14.850/US$.
Eskalasi perang dagang AS-China mendominasi sentimen pada perdagangan kemarin. Kegalauan investor terlihat dalam menyikapi isu besar ini.
Kemarin pagi waktu Indonesia, Presiden AS Donald Trump mengumumkan Negeri Adidaya akan menerapkan bea masuk baru bagi importasi produk made in China senilai US$ 200 miliar. Tarif yang dikenakan adalah 10%, tetapi akan naik menjadi 25% pada akhir tahun.
China tidak gentar. Dalam pernyataan resminya seperti dikutip dari Reuters, Kementerian Perdagangan China menegaskan Beijing tidak punya pilihan selain membalas kelakuan Washington. Bahkan China bersikap sangat keras dengan meminta AS mengubah perilakunya.
Sejak pagi, investor dibuat panik. Maklum, pelaku pasar mencemaskan China akan membalas dengan lebih kejam. Sebelumnya, dikabarkan bahwa China tidak hanya akan membalas melalui instrumen bea masuk tetapi juga pembatasan ekspor untuk bahan baku dan barang modal yang dibutuhkan industri Negeri Paman Sam. Artinya, rantai pasok di AS akan terganggu yang tentunya melukai industri dalam negeri mereka.
Saat China membalas, maka perang dagang babak baru resmi berlangsung. Saling hambat perdagangan antara dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia tentu akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi global. Risiko itu sangat dikhawatirkan oleh pelaku pasar.
Akibatnya, pemilik modal cenderung enggan mengambil risiko. Mode risk-on terpasang dan investor memilih bermain aman. Aset-aset safe haven seperti dolar AS dan yen Jepang menjadi buruan.
Namun kemudian pelaku pasar mencerna isu perang dagang secara lebih dalam dan ternyata justru menjadi bumerang bagi AS. Jika perang dagang berlanjut, maka dampaknya justru merugikan Negeri Paman Sam.
Saat produk China dikenakan bea masuk, maka biaya impornya menjadi lebih mahal. Padahal AS masih butuh barang-barang dari China, terutama bahan baku dan barang modal.
Pada 2017, impor AS dari China mencapai US$ 505,5 miliar. Dari jumlah tersebut, US$ 147 miliar (29,08%) adalah mesin dan alat listrik yang termasuk barang modal. Industri dalam negeri AS membutuhkannya untuk memproduksi berbagai barang.
Bila impor mesin dan alat listrik menjadi mahal karena kenaikan bea masuk, maka beban dunia usaha akan bertambah. Saat kenaikan biaya ini dibebankan ke konsumen, yang terjadi adalah kenaikan harga alias inflasi.
Namun jika sulit dibebankan ke konsumen, maka dunia usaha akan menanggung kerugian. Apabila kerugian ini menumpuk, maka hasilnya adalah perlambatan industri, investasi, dan pertumbuhan ekonomi.
Menghadapi situasi ini, investor perlahan mulai melepaskan mode risk-on dan memasang mode risk-off. Pelaku pasar berani masuk ke negara berkembang dengan menanggalkan dolar AS.
Rupiah terbantu karena hal ini dan berakhir sebagai mata uangan dengan penguatan terbaik keempat di Asia. IHSG juga berhasil menipiskan pelemahannya, meski agak terlambat dan gagal finis di zona hijau.
Kemarin, IHSG mengakhiri hari dengan pelemahan 0,21%. Padahal bursa saham utama Asia cenderung menguat, di mana Nikkei 225 melesat 1,41%, Hang Seng naik 0,56%, Shanghai Composite lompat 1,82%, dan Kospi bertambah 0,33%.
Bertolak belakang dengan IHSG, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berhasil berbalik menguat di perdagangan pasar spot. Rupiah hampir seharian berada di zona depresiasi, sebelum menguat jelang akhir perdagangan sebesar 0,13% ke Rp 14.850/US$.
Eskalasi perang dagang AS-China mendominasi sentimen pada perdagangan kemarin. Kegalauan investor terlihat dalam menyikapi isu besar ini.
Kemarin pagi waktu Indonesia, Presiden AS Donald Trump mengumumkan Negeri Adidaya akan menerapkan bea masuk baru bagi importasi produk made in China senilai US$ 200 miliar. Tarif yang dikenakan adalah 10%, tetapi akan naik menjadi 25% pada akhir tahun.
China tidak gentar. Dalam pernyataan resminya seperti dikutip dari Reuters, Kementerian Perdagangan China menegaskan Beijing tidak punya pilihan selain membalas kelakuan Washington. Bahkan China bersikap sangat keras dengan meminta AS mengubah perilakunya.
Sejak pagi, investor dibuat panik. Maklum, pelaku pasar mencemaskan China akan membalas dengan lebih kejam. Sebelumnya, dikabarkan bahwa China tidak hanya akan membalas melalui instrumen bea masuk tetapi juga pembatasan ekspor untuk bahan baku dan barang modal yang dibutuhkan industri Negeri Paman Sam. Artinya, rantai pasok di AS akan terganggu yang tentunya melukai industri dalam negeri mereka.
Saat China membalas, maka perang dagang babak baru resmi berlangsung. Saling hambat perdagangan antara dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia tentu akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi global. Risiko itu sangat dikhawatirkan oleh pelaku pasar.
Akibatnya, pemilik modal cenderung enggan mengambil risiko. Mode risk-on terpasang dan investor memilih bermain aman. Aset-aset safe haven seperti dolar AS dan yen Jepang menjadi buruan.
Namun kemudian pelaku pasar mencerna isu perang dagang secara lebih dalam dan ternyata justru menjadi bumerang bagi AS. Jika perang dagang berlanjut, maka dampaknya justru merugikan Negeri Paman Sam.
Saat produk China dikenakan bea masuk, maka biaya impornya menjadi lebih mahal. Padahal AS masih butuh barang-barang dari China, terutama bahan baku dan barang modal.
Pada 2017, impor AS dari China mencapai US$ 505,5 miliar. Dari jumlah tersebut, US$ 147 miliar (29,08%) adalah mesin dan alat listrik yang termasuk barang modal. Industri dalam negeri AS membutuhkannya untuk memproduksi berbagai barang.
Bila impor mesin dan alat listrik menjadi mahal karena kenaikan bea masuk, maka beban dunia usaha akan bertambah. Saat kenaikan biaya ini dibebankan ke konsumen, yang terjadi adalah kenaikan harga alias inflasi.
Namun jika sulit dibebankan ke konsumen, maka dunia usaha akan menanggung kerugian. Apabila kerugian ini menumpuk, maka hasilnya adalah perlambatan industri, investasi, dan pertumbuhan ekonomi.
Menghadapi situasi ini, investor perlahan mulai melepaskan mode risk-on dan memasang mode risk-off. Pelaku pasar berani masuk ke negara berkembang dengan menanggalkan dolar AS.
Rupiah terbantu karena hal ini dan berakhir sebagai mata uangan dengan penguatan terbaik keempat di Asia. IHSG juga berhasil menipiskan pelemahannya, meski agak terlambat dan gagal finis di zona hijau.
Pages
Most Popular