Update Polling CNBC Indonesia

Konsensus Pasar: Neraca Perdagangan Agustus Minus US$645 Juta

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 September 2018 15:25
Konsensus Pasar: Neraca Perdagangan Agustus Minus US$645 Juta
Aktivitas bongkar muat di Jakarta International Container Terminal (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
  • Menambah proyeksi dari satu instansi (Bank Permata)
Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca perdagangan Indonesia pada Agustus 2018 diperkirakan kembali mencatat defisit. Namun setidaknya defisit perdagangan lebih dangkal ketimbang bulan sebelumnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) diagendakan merilis data perdagangan internasional pada awal pekan depan. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekspor pada Agustus adalah 10,1% year-on-year (YoY), sedangkan impor tumbuh 25% YoY. Ini menyebabkan neraca perdagangan mengalami defisit US$ 645 juta. 

Walau defisit, tetapi setidaknya masih ada sedikit kabar baik. Perkiraan defisit perdagangan Agustus jauh lebih dangkal ketimbang Juli yang mencapai US$ 2,03 miliar. Kala itu, ekspor tumbuh 19,33% YoY sementara impor melonjak 31,56% YoY. 

Josua Pardede, Ekonom Bank Permata, memperkirakan kinerja ekspor Indonesia pada Agustus melambat dibandingkan Juli. Penyebabnya adalah penurunan harga komoditas andalan ekspor Indonesia.

Sepanjang Agustus, harga minyak sawit mentah (CPO) turun 16% YoY dibandingkan bulan sebelumnya. Harga batu bara juga melambat, dari naik 26% YoY pada Juli menjadi tumbuh 24% YoY pada Agustus.

"Di sisi lain, laju impor diperkirakan tetap tinggi. Laju impor Indonesia dipengaruhi oleh pemintaan domestik dan dikonfirmasi oleh indeks aktivitas manufaktur domestik yang meningkat juga sepanjang Agusutus. Impor diperkirakan masih akan didominasi oleh impor bahan baku dan barang modal," jelas Josua.


Moody's Analytics dalam risetnya menyebutkan neraca perdagangan Indonesia masih defisit karena beban dari pelemahan rupiah dan kenaikan harga minyak. Sepanjang Agustus, rupiah terdepresiasi 2,01% terhadap dolar Amerika Serikat (AS).



Sedangkan harga minyak jenis brent dalam periode yang sama melesat 6,95%. Kombinasi depresiasi rupiah dan lonjakan harga minyak berpotensi membuat impor migas membengkak, sehingga neraca migas sulit berbalik surplus. 



 
"Depresiasi rupiah memang berperan di sini. Tahun ini, rupiah jadi salah satu mata uang dengan pelemahan paling dalam," sebut riset Moody's. 

Sejak awal tahun, rupiah sudah melemah 8,5% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Di antara mata uang utama Asia, depresiasi rupiah menjadi yang terdalam kedua setelah rupee India. 

 

Sebenarnya tidak hanya neraca migas yang terbeban saat rupiah melemah. Impor secara keseluruhan akan meningkat karena kenaikan harga produk luar negeri. Indeks harga impor pada Juli 2018 naik 10,64% dibandingkan posisi yang sama tahun sebelumnya. 




Namun, Moody's memperkirakan prospek neraca perdagangan Indonesia lumayan cerah. Bahkan bukan tidak mungkin berbalik surplus. 

"Pemerintah telah menerapkan kebijakan untuk mengurangi impor, seperti penundaan importasi untuk kebutuhan proyek-proyek termasuk kelistrikan. Kebijakan jangka pendek ini sepertinya mampu semakin menipiskan defisit perdagangan, bahkan bisa surplus dalam beberapa bulan ke depan," papar riset Moody's. 

Sementara itu, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo mengatakan, neraca perdagangan pada Agustus memang kemungkinan defisit. Namun, sejalan dengan perkiraan pasar, defisit perdagangan melandai dibandingkan Juli. 

"Kita belum dapat angka, meskipun ada gambaran positif. Defisit (perdagangan) perkiraannya lebih rendah," kata Dody. 

Impor, lanjut Dody, masih tumbuh lebih cepat ketimbang ekspor. Namun pertumbuhan impor Agustus diperkirakan lebih lambat dibandingkan bulan sebelumnya. 

"Saya belum ada datanya, Namun impor yang terkait barang-barang modal sudah agak berkurang," sebutnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular