
Newsletter
Saat Turki dan Argentina Disorot, Indonesia Pun Demikian
Raditya Hanung & Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
07 September 2018 06:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia menginjak pedal gas pada pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat signifikan, sementara nilai tukar rupiah terapresiasi di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Kemarin, IHSG ditutup melesat 1,63%. IHSG boleh dibilang mencatatkan kinerja terbaik di Asia, karena bursa saham Benua Kuning justru kompak melemah. Indeks Nikkei 225 turun 0,41%, Shanghai Composite melemah 0,47%, Hang Seng berkurang 0,99%, Kospi minus 0,18%, dan Straits Time defisit 0,27%.
Penguatan rupiah memotori aksi beli yang dilakukan investor. Kemarin, mata uang Tanah Air ditutup menguat 0,3% terhadap dolar AS.
Rupiah yang mampu menguat layak mendapat apresiasi. Pasalnya, dolar AS sedang mengamuk di Asia dengan menguat di hadapan mayoritas mata uang Benua Kuning.
Sejatinya, dolar AS masih menjadi favorit investor yang tengah cemas menanti perkembangan di Negeri Paman Sam. Tahapan dengar pendapat atas rencana pengenaan bea masuk baru atas impor produk China senilai US$ 200 miliar akan berakhir pada Kamis ini waktu AS. Kabarnya, Presiden AS Donald Trump akan segera mengeksekusi bea masuk ini segera setelah tahapan dengar pendapat selesai.
Sampai saat ini belum ada berita dari Gedung Putih maupun cuitan Donald Trump mengenai hal ini. Namun kemungkinan pengenaan bea masuk baru ini menjadi terbuka lebar setelah Kementerian Perdagangan AS melaporkan defisit perdagangan AS dengan China menyentuh rekor tertinggi, yaitu US$ 36,8 miliar pada bulan Juli, naik 10% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Sedangkan defisit neraca dagang AS secara total adalah sebesar US$ 50,1 miliar, naik 9,5% YoY. Ini merupakan defisit terdalam selama 5 bulan terakhir.
Aset-aset berisiko di negara berkembang dilepas dan investor beralih ke instrumen yang dianggap aman (safe haven). Saat ini, safe haven yang paling digemari pelaku pasar adalah dolar AS dan instrumen berbasis mata uang ini.
Dari dalam negeri, pasar keuangan Indonesia diselamatkan oleh kebijakan pemerintah yang memperketat impor barang-barang konsumsi. Sebanyak 1.147 barang impor akan mengalami kenaikan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22. Rinciannya, 719 produk naik dari 2,5% menjadi 7,5%, 218 produk naik dari 2,5% menjadi 10%, dan 210 produk naik dari 7,5% menjadi 10%.
Pada 2017, nilai impor 1.147 produk tersebut adalah US$ 6,6 miliar. Bila impor produk-produk ini berhasil dikurangi karena disinsentif fiskal, maka diharapkan rupiah tidak akan terlalu tertekan karena devisa yang 'terbang' ke luar negeri berkurang. Kalau devisa yang dihemat bisa mencapai miliaran dolar AS, itu sesuatu yang lumayan.
Tidak hanya menghemat devisa, kebijakan ini juga bisa merangsang pertumbuhan industri dalam negeri. Dunia usaha di dalam negeri harus mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, sementara impor sudah tidak bisa semudah dulu. Industri domestik akan terlecut untuk meningkatkan produksi mereka.
Kemarin, IHSG ditutup melesat 1,63%. IHSG boleh dibilang mencatatkan kinerja terbaik di Asia, karena bursa saham Benua Kuning justru kompak melemah. Indeks Nikkei 225 turun 0,41%, Shanghai Composite melemah 0,47%, Hang Seng berkurang 0,99%, Kospi minus 0,18%, dan Straits Time defisit 0,27%.
Penguatan rupiah memotori aksi beli yang dilakukan investor. Kemarin, mata uang Tanah Air ditutup menguat 0,3% terhadap dolar AS.
Rupiah yang mampu menguat layak mendapat apresiasi. Pasalnya, dolar AS sedang mengamuk di Asia dengan menguat di hadapan mayoritas mata uang Benua Kuning.
Sejatinya, dolar AS masih menjadi favorit investor yang tengah cemas menanti perkembangan di Negeri Paman Sam. Tahapan dengar pendapat atas rencana pengenaan bea masuk baru atas impor produk China senilai US$ 200 miliar akan berakhir pada Kamis ini waktu AS. Kabarnya, Presiden AS Donald Trump akan segera mengeksekusi bea masuk ini segera setelah tahapan dengar pendapat selesai.
Sampai saat ini belum ada berita dari Gedung Putih maupun cuitan Donald Trump mengenai hal ini. Namun kemungkinan pengenaan bea masuk baru ini menjadi terbuka lebar setelah Kementerian Perdagangan AS melaporkan defisit perdagangan AS dengan China menyentuh rekor tertinggi, yaitu US$ 36,8 miliar pada bulan Juli, naik 10% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Sedangkan defisit neraca dagang AS secara total adalah sebesar US$ 50,1 miliar, naik 9,5% YoY. Ini merupakan defisit terdalam selama 5 bulan terakhir.
Aset-aset berisiko di negara berkembang dilepas dan investor beralih ke instrumen yang dianggap aman (safe haven). Saat ini, safe haven yang paling digemari pelaku pasar adalah dolar AS dan instrumen berbasis mata uang ini.
Dari dalam negeri, pasar keuangan Indonesia diselamatkan oleh kebijakan pemerintah yang memperketat impor barang-barang konsumsi. Sebanyak 1.147 barang impor akan mengalami kenaikan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22. Rinciannya, 719 produk naik dari 2,5% menjadi 7,5%, 218 produk naik dari 2,5% menjadi 10%, dan 210 produk naik dari 7,5% menjadi 10%.
Pada 2017, nilai impor 1.147 produk tersebut adalah US$ 6,6 miliar. Bila impor produk-produk ini berhasil dikurangi karena disinsentif fiskal, maka diharapkan rupiah tidak akan terlalu tertekan karena devisa yang 'terbang' ke luar negeri berkurang. Kalau devisa yang dihemat bisa mencapai miliaran dolar AS, itu sesuatu yang lumayan.
Tidak hanya menghemat devisa, kebijakan ini juga bisa merangsang pertumbuhan industri dalam negeri. Dunia usaha di dalam negeri harus mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, sementara impor sudah tidak bisa semudah dulu. Industri domestik akan terlecut untuk meningkatkan produksi mereka.
Next Page
Isu Perdagangan Jadi Beban Wall Street
Pages
Most Popular