
Newsletter
Simak Perang Dagang AS-China Sampai Penyelamatan Rupiah
Raditya Hanung & Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 September 2018 06:50

Sentimen ketiga adalah dari dalam negeri. hari ini akan dirilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Agustus 2018. Pada bulan sebelumnya, IKK tercatat 124,8. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 128,1.
Hal itu nampaknya banyak dipengaruhi oleh faktor musiman. Doping Ramadan-Idul Fitri yang mendongkrak konsumsi masyarakat sudah terlewati.
Jika IKK Agustus bisa meningkat, maka hal ini akan menjadi kabar baik di tengah 'badai' yang melanda pasar keuangan Indonesia. Sebaliknya, jika penurunan IKK semakin dalam, siap-siap pasar keuangan Indonesia mendapatkan tekanan yang lebih besar karena akan muncul persepsi pelemahan konsumsi dan daya beli masyarakat.
Sentimen keempat, masih dari dalam negeri, adalah respons dari upaya terbaru pemerintah dalam menyelamatkan rupiah. Upaya tersebut adalah menaikkan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 yang dikenakan atas impor sejumlah barang.
Akan ada 1.147 barang impor yang terkena kenaikan PPh. Rinciannya, 719 produk naik dari 2,5% menjadi 7,5%, 218 produk naik dari 2,5% menjadi 10%, dan 210 produk naik dari 7,5% menjadi 10%.
Produk mengalami kenaikan PPh 22 dari 2,5% menjadi 7,5% di antaranya adalah keramik, perangkat audio-visual seperti kabel dan box speaker, atau produk tekstil seperti overcoat, polo shirt, dan pakaian renang. Kemudian yang naik dari 2,5% menjadi 10% contohnya barang-barang elektronik (dispenser air, pendingin ruangan, lampu), keperluan sehari-hari (sabun mandi, shampo, kosmetik), serta perlatan dapur. Sedangkan yang naik dari 7,5% menjadi 10% adalah kategori barang mewah seperti mobil atau sepeda motor besar.
Pada 2017, nilai impor 1.147 produk ini adalah US$ 6,6 miliar. Bila impor produk-produk ini berhasil dikurangi atau bahkan dihilangkan karena disinsentif fiskal, maka diharapkan rupiah tidak akan terlalu tertekan karena devisa yang 'terbang' ke luar negeri berkurang.
Kebijakan ini bisa hit and miss. Positifnya bila berhasil mengurangi impor produk-produk yang sebenarnya masuk kategori barang konsumsi ini. Kalau devisa yang dihemat bisa mencapai miliaran dolar AS, itu sesuatu yang lumayan.
Tidak hanya menghemat devisa, kebijakan ini juga bisa merangsang pertumbuhan industri dalam negeri. Dunia usaha di dalam negeri harus mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, sementara impor sudah tidak bisa semudah dulu. Industri domestik akan terlecut untuk meningkatkan produksi mereka.
Namun ada pula potensi negatifnya. Bagaimanapun, impor barang konsumsi hanya minoritas dari total impor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sepanjang Januari-Juli 2018 impor barang konsumsi hanya 9,23% dari total impor.
Barang-barang yang dikenai kenaikan PPh ini belum mencakup seluruh barang konsumsi. Total impor barang konsumsi saja tidak sampai 10%, jadi yang terkena kenaikan PPh lebih kecil lagi.
Oleh karena itu, efektivitas kebijakan ini untuk menekan impor bisa jadi sangat minimal. Sebab, impor barang modal dan bahan baku masih tinggi dan ini adalah yang memakan porsi besar dalam total impor. Sepanjang Januari-Juli 2018, impor bahan baku berkontribusi 75,02% sedangkan barang modal adalah 15,75%.
Ditambah lagi kalau industri dalam negeri harus meningkatkan kapasitas produksi karena impor barang konsumsi berkurang, maka mereka perlu impor bahan baku dan barang modal lebih banyak. Artinya, beban impor bukannya berkurang tapi malah bertambah karena kebutuhan ekspansi dunia usaha.
Kemudian, jika produksi dalam negeri belum cukup untuk memenuhi permintaan maka impor tidak bisa terhindarkan meski biayanya lebih mahal karena kenaikan PPh. Dampaknya tentu inflasi, karena pengusaha pasti akan mentransmisikan kenaikan biaya impor ke harga jual.
Belum lagi dampak ke emiten-emiten ritel yang menjual produk-produk impor mulai dari parfum, kosmetik, dan sebagainya. Biaya importasi mereka akan naik, yang otomatis mendongrak harga jual ke konsumen.
Jika barangnya masih dibeli, maka dampaknya adalah menimbulkan tekanan inflasi. Namun bila kenaikan harga membuat penjualan berkurang, maka laba emiten akan tergerus dan sahamnya menjadi kurang diapresiasi pasar.
Jadi, bagaimana respons pasar terhadap operasi terbaru untuk menyelamatkan rupiah ini? Kita nantikan saja.
(aji/aji)
Hal itu nampaknya banyak dipengaruhi oleh faktor musiman. Doping Ramadan-Idul Fitri yang mendongkrak konsumsi masyarakat sudah terlewati.
Jika IKK Agustus bisa meningkat, maka hal ini akan menjadi kabar baik di tengah 'badai' yang melanda pasar keuangan Indonesia. Sebaliknya, jika penurunan IKK semakin dalam, siap-siap pasar keuangan Indonesia mendapatkan tekanan yang lebih besar karena akan muncul persepsi pelemahan konsumsi dan daya beli masyarakat.
Sentimen keempat, masih dari dalam negeri, adalah respons dari upaya terbaru pemerintah dalam menyelamatkan rupiah. Upaya tersebut adalah menaikkan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 yang dikenakan atas impor sejumlah barang.
Akan ada 1.147 barang impor yang terkena kenaikan PPh. Rinciannya, 719 produk naik dari 2,5% menjadi 7,5%, 218 produk naik dari 2,5% menjadi 10%, dan 210 produk naik dari 7,5% menjadi 10%.
Produk mengalami kenaikan PPh 22 dari 2,5% menjadi 7,5% di antaranya adalah keramik, perangkat audio-visual seperti kabel dan box speaker, atau produk tekstil seperti overcoat, polo shirt, dan pakaian renang. Kemudian yang naik dari 2,5% menjadi 10% contohnya barang-barang elektronik (dispenser air, pendingin ruangan, lampu), keperluan sehari-hari (sabun mandi, shampo, kosmetik), serta perlatan dapur. Sedangkan yang naik dari 7,5% menjadi 10% adalah kategori barang mewah seperti mobil atau sepeda motor besar.
Pada 2017, nilai impor 1.147 produk ini adalah US$ 6,6 miliar. Bila impor produk-produk ini berhasil dikurangi atau bahkan dihilangkan karena disinsentif fiskal, maka diharapkan rupiah tidak akan terlalu tertekan karena devisa yang 'terbang' ke luar negeri berkurang.
Kebijakan ini bisa hit and miss. Positifnya bila berhasil mengurangi impor produk-produk yang sebenarnya masuk kategori barang konsumsi ini. Kalau devisa yang dihemat bisa mencapai miliaran dolar AS, itu sesuatu yang lumayan.
Tidak hanya menghemat devisa, kebijakan ini juga bisa merangsang pertumbuhan industri dalam negeri. Dunia usaha di dalam negeri harus mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, sementara impor sudah tidak bisa semudah dulu. Industri domestik akan terlecut untuk meningkatkan produksi mereka.
Namun ada pula potensi negatifnya. Bagaimanapun, impor barang konsumsi hanya minoritas dari total impor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sepanjang Januari-Juli 2018 impor barang konsumsi hanya 9,23% dari total impor.
Barang-barang yang dikenai kenaikan PPh ini belum mencakup seluruh barang konsumsi. Total impor barang konsumsi saja tidak sampai 10%, jadi yang terkena kenaikan PPh lebih kecil lagi.
Oleh karena itu, efektivitas kebijakan ini untuk menekan impor bisa jadi sangat minimal. Sebab, impor barang modal dan bahan baku masih tinggi dan ini adalah yang memakan porsi besar dalam total impor. Sepanjang Januari-Juli 2018, impor bahan baku berkontribusi 75,02% sedangkan barang modal adalah 15,75%.
Ditambah lagi kalau industri dalam negeri harus meningkatkan kapasitas produksi karena impor barang konsumsi berkurang, maka mereka perlu impor bahan baku dan barang modal lebih banyak. Artinya, beban impor bukannya berkurang tapi malah bertambah karena kebutuhan ekspansi dunia usaha.
Kemudian, jika produksi dalam negeri belum cukup untuk memenuhi permintaan maka impor tidak bisa terhindarkan meski biayanya lebih mahal karena kenaikan PPh. Dampaknya tentu inflasi, karena pengusaha pasti akan mentransmisikan kenaikan biaya impor ke harga jual.
Belum lagi dampak ke emiten-emiten ritel yang menjual produk-produk impor mulai dari parfum, kosmetik, dan sebagainya. Biaya importasi mereka akan naik, yang otomatis mendongrak harga jual ke konsumen.
Jika barangnya masih dibeli, maka dampaknya adalah menimbulkan tekanan inflasi. Namun bila kenaikan harga membuat penjualan berkurang, maka laba emiten akan tergerus dan sahamnya menjadi kurang diapresiasi pasar.
Jadi, bagaimana respons pasar terhadap operasi terbaru untuk menyelamatkan rupiah ini? Kita nantikan saja.
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Most Popular