
Newsletter
Turki Sudah, Argentina Sudah, Sekarang Afrika Selatan
Raditya Hanung & Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
05 September 2018 06:03

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mengalami tekanan yang lumayan dahsyat kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah sama-sama melemah tajam dan mencatatkan kinerja terburuk di Asia.
Pada perdagangan kemarin, IHSG ditutup amblas 1,04%. IHSG menjadi terkucil di Asia karena indeks bursa saham lainnya mampu membukukan penguatan. Indeks Hang Seng naik 0,94%, Shanghai Composite melesat 1,1%, Kospi menguat 0,38%, dan Straits Time bertambah 0,1%.
Pelemahan nilai tukar rupiah kembali menjadi momok bagi IHSG. Hingga akhir perdagangan kemarin, rupiah ditutup melemah 0,81% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Kompak dengan IHSG, rupiah pun menjadi yang terlemah di antara mata uang utama Benua Kuning.
Seiring dengan anjloknya rupiah, investor gencar melepas saham-saham emiten perbankan. Ketika rupiah melemah dengan besaran yang signifikan, ada ketakutan bahwa rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) akan terkerek naik seperti pada 2015.
Saham-saham emiten perbankan yang dilepas investor di antaranya BBNI (-4,46%), BBTN (-3,64%), BBRI (-1,89%), BMRI (-1,87%), BBCA (-0,1%). Akibat aksi jual atas saham-saham emiten perbankan, indeks sektor jasa keuangan merosot 1,24% dan menjadikannya sebagai kontributor terbesar bagi pelemahan IHSG.
Penguatan dolar AS sebenarnya terjadi secara luas (broadbased) dan menekan seluruh mata uang Asia. Greenback mendapatkan kekuatan dari kekhawatiran investor terhadap perang dagang AS vs China yang kembali mengemuka.
Pada Kamis waktu AS, tahapan dengar pendapat untuk aturan pengenaan bea masuk baru bagi impor produk China senilai US$ 200 miliar akan berakhir. Beredar kabar bahwa Presiden AS Donald Trump akan segera mengeksekusi kebijakan tersebut segera setelah tahapan dengar pendapat selesai.
Selain itu, investor juga tengah memantau perkembangan di negara-negara berkembang setelah gonjang-ganjing yang disebabkan Turki dan Argentina. Investor pun cenderung melepas mata uang dan aset berbasis mata uang negara yang mengidap defisit di transaksi berjalan (current account).
Sebab, arus modal dari pasar keuangan kemungkinan besar akan seret karena tersedot ke AS. Oleh karena itu, mata uang hanya akan mengandalkan transaksi berjalan agar bisa menguat. Saat transaksi berjalan tekor, maka tidak ada lagi pijakan untuk mata uang tersebut bisa terapresiasi.
Itulah yang dialami Indonesia. Pada kuartal II-2018, Indonesia mencatat defisit transaksi berjalan sebesar 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB), paling dalam sejak kuartal II-2014.
Kemungkinan defisit yang cukup dalam akan terulang pada kuartal III-2018. Pertanda ke sana terlihat dari defisit neraca perdagangan Juli yang lumayan besar yaitu mencapai US$ 2,03 miliar.
Melihat potensi rupiah sulit menguat karena defisit transaksi berjalan yang masih akut, investor (terutama asing) cenderung menghindari Indonesia. Sebab kalau mereka masuk sekarang, ada kemungkinan nantinya malah menderita kerugian karena pelemahan nilai tukar.
Kondisi itu tercermin dari investor asing yang membukukan jual bersih Rp 428,5 miliar di pasar saham domestik kemarin. Saham-saham yang dilepas investor asing adalah TLKM (Rp 103,3 miliar), MLBI (Rp 60,5 miliar), BMRI (Rp 44,9 miliar), UNTR (Rp 39,2 miliar), dan AKRA (Rp 37,5 miliar).
Pada perdagangan kemarin, IHSG ditutup amblas 1,04%. IHSG menjadi terkucil di Asia karena indeks bursa saham lainnya mampu membukukan penguatan. Indeks Hang Seng naik 0,94%, Shanghai Composite melesat 1,1%, Kospi menguat 0,38%, dan Straits Time bertambah 0,1%.
Pelemahan nilai tukar rupiah kembali menjadi momok bagi IHSG. Hingga akhir perdagangan kemarin, rupiah ditutup melemah 0,81% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Kompak dengan IHSG, rupiah pun menjadi yang terlemah di antara mata uang utama Benua Kuning.
Seiring dengan anjloknya rupiah, investor gencar melepas saham-saham emiten perbankan. Ketika rupiah melemah dengan besaran yang signifikan, ada ketakutan bahwa rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) akan terkerek naik seperti pada 2015.
Saham-saham emiten perbankan yang dilepas investor di antaranya BBNI (-4,46%), BBTN (-3,64%), BBRI (-1,89%), BMRI (-1,87%), BBCA (-0,1%). Akibat aksi jual atas saham-saham emiten perbankan, indeks sektor jasa keuangan merosot 1,24% dan menjadikannya sebagai kontributor terbesar bagi pelemahan IHSG.
Penguatan dolar AS sebenarnya terjadi secara luas (broadbased) dan menekan seluruh mata uang Asia. Greenback mendapatkan kekuatan dari kekhawatiran investor terhadap perang dagang AS vs China yang kembali mengemuka.
Pada Kamis waktu AS, tahapan dengar pendapat untuk aturan pengenaan bea masuk baru bagi impor produk China senilai US$ 200 miliar akan berakhir. Beredar kabar bahwa Presiden AS Donald Trump akan segera mengeksekusi kebijakan tersebut segera setelah tahapan dengar pendapat selesai.
Selain itu, investor juga tengah memantau perkembangan di negara-negara berkembang setelah gonjang-ganjing yang disebabkan Turki dan Argentina. Investor pun cenderung melepas mata uang dan aset berbasis mata uang negara yang mengidap defisit di transaksi berjalan (current account).
Sebab, arus modal dari pasar keuangan kemungkinan besar akan seret karena tersedot ke AS. Oleh karena itu, mata uang hanya akan mengandalkan transaksi berjalan agar bisa menguat. Saat transaksi berjalan tekor, maka tidak ada lagi pijakan untuk mata uang tersebut bisa terapresiasi.
Itulah yang dialami Indonesia. Pada kuartal II-2018, Indonesia mencatat defisit transaksi berjalan sebesar 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB), paling dalam sejak kuartal II-2014.
Kemungkinan defisit yang cukup dalam akan terulang pada kuartal III-2018. Pertanda ke sana terlihat dari defisit neraca perdagangan Juli yang lumayan besar yaitu mencapai US$ 2,03 miliar.
Melihat potensi rupiah sulit menguat karena defisit transaksi berjalan yang masih akut, investor (terutama asing) cenderung menghindari Indonesia. Sebab kalau mereka masuk sekarang, ada kemungkinan nantinya malah menderita kerugian karena pelemahan nilai tukar.
Kondisi itu tercermin dari investor asing yang membukukan jual bersih Rp 428,5 miliar di pasar saham domestik kemarin. Saham-saham yang dilepas investor asing adalah TLKM (Rp 103,3 miliar), MLBI (Rp 60,5 miliar), BMRI (Rp 44,9 miliar), UNTR (Rp 39,2 miliar), dan AKRA (Rp 37,5 miliar).
Pages
Most Popular