
Newsletter
The Time is Now, Rupiah?
Raditya Hanung & Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
04 September 2018 05:39

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mengalami tekanan pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sempat positif tidak mampu bertahan karena terseret derasnya arus pelemahan nilai tukar rupiah.
Kemarin, IHSG ditutup melemah 0,85%. Bursa saham Asia memang cenderung terkoreksi, tetapi IHSG turun paling dalam. Indeks Nikkei melemah 0,69%, Shanghai Composite turun 0,17%, Hang Seng minus 0,63%, Kospi defisit 0,68%, dan Strait Times berkurang 0,2%.
IHSG sebenarnya sempat bolak-balik merasakan zona hijau (meski dalam rentang terbatas). Namun akhirnya tidak kuasa bertahan karena sentimen pelemahan nilai tukar rupiah begitu kuat.
Rupiah yang sejak pembukaan terus di teritori negatif ditutup melemah 0,58% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) di perdagangan pasar spot. Padahal mata uang Asia lainnya cenderung menguat, seperti yen Jepang (+0,01%), yuan China (+0,17%), won Korea Selatan (+0,44%), dolar Singapura (+0,12%), sampai baht Thailand (+0,09%).
Penyebab pelemahan rupiah kemarin sepertinya murni faktor domestik. Ada kabar bahwa para eksportir sengaja menahan dolar AS sehingga likuiditasnya menjadi ketat.
"Eksportir tidak mau melepas dolar AS. Mereka mematok di level kurs di atas Rp 14.850/US$, kalau sudah lebih baru mau melepas. Jadi stok dolar AS di pasar kurang," bisik pejabat negara yang tak ingin disebutkan namanya.
Bagi eksportir, rupiah yang melemah memang berpotensi membawa untung. Kala rupiah melemah, maka harga produk Indonesia di pasar global semakin murah. Akibatnya, permintaan naik dan pendapatan meningkat.
Apalagi ke depan memang ada potensi rupiah untuk melemah lebih lanjut. Dari sisi eksternal, kemungkinan The Federal Reserve/The Fed menaikkan suku bunga acuan dua kali lagi sampai akhir tahun masih terbuka lebar.
Setiap kali Bank Sentral AS itu menaikkan suku bunga, arus modal selalu tersedot ke Negeri Adidaya karena investor mengincar kenaikan imbalan. Kalau aliran dana terpusat ke AS, maka Indonesia akan mengalami kekeringan sehingga rupiah minim pijakan untuk menguat.
Dari dalam negeri, sepertinya transaksi berjalan (current account) Indonesia pada kuartal III-2018 masih akan mengalami defisit yang lumayan dalam. Tanda-tanda ke arah sana terlihat dari defisit neraca perdagangan yang mencapai US$ 2,03 miliar pada Juli, terdalam sejak 2014.
Tanpa dukungan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, rupiah makin tidak punya daya untuk merengkuh penguatan. Ditambah arus modal portofolio yang juga seret karena tersedot ke AS, nasib rupiah memang masih penuh tanda tanya.
Seiring dengan dalamnya pelemahan rupiah, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 306 miliar di bursa saham domestik kemarin. Saham-saham yang banyak dilepas investor asing adalah BMRI (Rp 66,3 miliar), BBCA (Rp 56,1 miliar), ASII (Rp 45,5 miliar), INKP (Rp 29,3 miliar), dan NTP (Rp 23,5 miliar).
Bursa saham AS hari ini tutup karena peringatan Hari Buruh. Hal ini membuat investor melakukan ambil untung dengan melepas dolar AS untuk sementara. Hasilnya, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama) terkoreksi tipis 0,02% pada pukul 04:29 WIB.
Bila pelemahan dolar AS terus berlanjut, maka ada harapan bagi rupiah untuk bangkit pada perdagangan hari ini. Apalagi sedang tidak ada rilis data di Negeri Paman Sam yang bisa mendukung penguatan dolar AS. Rupiah seharusnya mampu memanfaatkan kesempatan ini.
Data ekonomi AS berikutnya yang diantisipasi pelaku pasar adalah angka pengangguran yang diumumkan akhir pekan ini. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan angka pengangguran pada Agustus 2018 adalah 3,8%, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 3,9%.
Bila realisasi angka pengangguran betul-betul turun, maka The Fed semakin hampir pasti menaikkan suku bunga acuan pada rapat bulan ini. Saat kemungkinan kenaikan suku bunga acuan di AS kian membesar, maka greenback akan memperoleh kekuatannya lagi. Saat itu terjadi, maka rupiah dipastikan tertekan.
Sebelum data pengangguran AS diumumkan, rupiah punya waktu untuk mengumpulkan energi. Sekarang adalah saatnya bagi rupiah untuk bangkit. Mengutip kalimat pegulat profesional John Cena, the time is now.
Apakah rupiah mampu memanfaatkan peluang ini? Hanya waktu yang akan memberi jawabnya.
Namun, rupah juga perlu waspada karena sepertinya investor juga masih belum mau jauh-jauh dari greenback. Koreksi Dollar Index yang sangat terbatas cenderung stagnan (setidaknya sampai saat ini) menunjukkan bahwa sebenarnya dolar AS tidak terlalu ditinggalkan. Pasalnya, masih ada beberapa risiko yang menghantui pasar keuangan global.
Pertama adalah tensi perang dagang yang masih tinggi seiring perundingan dagang AS-Kanada pekan lalu yang nir hasil. Kabarnya dialog akan dilanjutkan pada Rabu waktu setempat. Namun sebelum ada hasil atau setidaknya arah pembicaraan yang positif, pasar cenderung akan bereaksi negatif.
Kedua adalah masih derasnya tekanan jual terhadap mata uang negara-negara berkembang, terutama di negara yang tengah bermasalah. Pada pukul 04:37 WIB, peso Argentina melemah 2,58% di hadapan dolar AS sementara lira Turki terdepresiasi 1,75% pada perdagangan kemarin.
Padahal Argentina tengah berusaha keras untuk mengembalikan kepercayaan pasar. Presiden Mauricio Macri memutuskan utuk menaikkan tarif pajak ekspor untuk mendongkrak penerimaan negara. Selain itu, Macri juga memotong anggaran belanja kementerian. Semua ini dilakukan agar fiskal Negeri Tango bisa lebih sehat.
"Ini bukan hanya krisis seperti sebelumnya, ini harus menjadi yang terakhir. Eksportir akan diminta untuk memberikan lebih banyak kontribusi. Sementara kita tidak bisa lagi mengeluarkan belanja yang melebihi apa yang kita punya, hidup dengan mengandalkan di luar penerimaan pajak," tegas Macri dalam pernyataan di televisi nasional, dikutip dari Reuters.
Bila program pengetatan ikat pinggang ini dilaksanakan secara konsisten, Macri memperkirakan anggaran negara Argentina akan mencatat surplus sekitar 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2020. Tahun ini, target defisit anggaran adalah 2,7% dari PDB.
Namun reformasi fiskal a la Macri belum mampu mendongkrak posisi peso. Sepertinya sentimen negatif memang tengah menghantui Argentina dan negara berkembang lainnya.
Apa yang terjadi di Argentina dan Turki membuat pelaku pasar mengalihkan pandangan kepada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Jika situasi di Argentina dan Turki memburuk, bisa jadi investor masih akan enggan masuk ke negara berkembang karena tidak mau mengambil risiko.
Apabila investor masih cenderung bermain aman, maka IHSG dan rupiah dalam bahaya. Koreksi lebih lanjut sudah menanti karena seretnya aliran modal masuk.
Sentimen berikutnya yang perlu dicermati oleh pelaku pasar adalah harga komoditas. Harga minyak dunia bergerak naik karena kekhawatiran minimnya pasokan. Pada pukul 04:57 WIB, harga minyak jenis brent naik 0,48% sementara light sweet naik 0,43%.
Iran masih menjadi sumber kekhawatiran ini. Akibat sanksi dari AS, produksi dan ekspor minyak Negeri Persia mulai terpukul.
Rata-rata produksi minyak Iran pada Agustus 2018 adalah 3,55 juta barel/hari. Turun 4,05% dibandingkan bulan sebelumnya dan 6,33 ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya.
Penyebabnya adalah perusahaan-perusahaan minyak dunia yang mulai takut berbisnis di Iran, karena tidak mau kena semprot oleh Presiden AS Donald Trump. Belum lama ini, AS telah mengenakan sanksi kepada Iran berupa blokade akses untuk mendapatkan mata uang dolar AS, penjualan emas dan barang tambang lainnya, sampai ke sektor otomotif. Trump juga mengancam untuk memberikan sanksi kepada siapa saja yang berbisnis dengan Iran.
Apalagi November mendatang AS berencana mengenakan sanksi yang lebih besar yaitu pelarangan ekspor minyak. Negeri Adidaya sudah mengajak negara-negara lain untuk tidak lagi membeli minyak dari Iran. Ini tentu semakin mengurangi pasokan.
Namun, kenaikan harga minyak relatif terbatas karena kenaikan produksi di anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC). Menurut survei Reuters, produksi minyak di negara-negara OPEC pada Agustus 2018 naik 220.000 barel/hari dibandingkan bulan sebelumnya menjadi 32,79 juta barel/hari.
Apabila kenaikan harga minyak terus bertahan, maka bisa menjadi sentimen positif bagi pasar keuangan. Saat harga minyak tinggi, investor cenderung akan lebih mengapresiasi emiten-emiten migas dan pertambangan, yang dampaknya bisa saja dirasakan oleh IHSG secara keseluruhan.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Kemarin, IHSG ditutup melemah 0,85%. Bursa saham Asia memang cenderung terkoreksi, tetapi IHSG turun paling dalam. Indeks Nikkei melemah 0,69%, Shanghai Composite turun 0,17%, Hang Seng minus 0,63%, Kospi defisit 0,68%, dan Strait Times berkurang 0,2%.
IHSG sebenarnya sempat bolak-balik merasakan zona hijau (meski dalam rentang terbatas). Namun akhirnya tidak kuasa bertahan karena sentimen pelemahan nilai tukar rupiah begitu kuat.
Rupiah yang sejak pembukaan terus di teritori negatif ditutup melemah 0,58% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) di perdagangan pasar spot. Padahal mata uang Asia lainnya cenderung menguat, seperti yen Jepang (+0,01%), yuan China (+0,17%), won Korea Selatan (+0,44%), dolar Singapura (+0,12%), sampai baht Thailand (+0,09%).
Penyebab pelemahan rupiah kemarin sepertinya murni faktor domestik. Ada kabar bahwa para eksportir sengaja menahan dolar AS sehingga likuiditasnya menjadi ketat.
"Eksportir tidak mau melepas dolar AS. Mereka mematok di level kurs di atas Rp 14.850/US$, kalau sudah lebih baru mau melepas. Jadi stok dolar AS di pasar kurang," bisik pejabat negara yang tak ingin disebutkan namanya.
Bagi eksportir, rupiah yang melemah memang berpotensi membawa untung. Kala rupiah melemah, maka harga produk Indonesia di pasar global semakin murah. Akibatnya, permintaan naik dan pendapatan meningkat.
Apalagi ke depan memang ada potensi rupiah untuk melemah lebih lanjut. Dari sisi eksternal, kemungkinan The Federal Reserve/The Fed menaikkan suku bunga acuan dua kali lagi sampai akhir tahun masih terbuka lebar.
Setiap kali Bank Sentral AS itu menaikkan suku bunga, arus modal selalu tersedot ke Negeri Adidaya karena investor mengincar kenaikan imbalan. Kalau aliran dana terpusat ke AS, maka Indonesia akan mengalami kekeringan sehingga rupiah minim pijakan untuk menguat.
Dari dalam negeri, sepertinya transaksi berjalan (current account) Indonesia pada kuartal III-2018 masih akan mengalami defisit yang lumayan dalam. Tanda-tanda ke arah sana terlihat dari defisit neraca perdagangan yang mencapai US$ 2,03 miliar pada Juli, terdalam sejak 2014.
Tanpa dukungan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, rupiah makin tidak punya daya untuk merengkuh penguatan. Ditambah arus modal portofolio yang juga seret karena tersedot ke AS, nasib rupiah memang masih penuh tanda tanya.
Seiring dengan dalamnya pelemahan rupiah, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 306 miliar di bursa saham domestik kemarin. Saham-saham yang banyak dilepas investor asing adalah BMRI (Rp 66,3 miliar), BBCA (Rp 56,1 miliar), ASII (Rp 45,5 miliar), INKP (Rp 29,3 miliar), dan NTP (Rp 23,5 miliar).
Bursa saham AS hari ini tutup karena peringatan Hari Buruh. Hal ini membuat investor melakukan ambil untung dengan melepas dolar AS untuk sementara. Hasilnya, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama) terkoreksi tipis 0,02% pada pukul 04:29 WIB.
Bila pelemahan dolar AS terus berlanjut, maka ada harapan bagi rupiah untuk bangkit pada perdagangan hari ini. Apalagi sedang tidak ada rilis data di Negeri Paman Sam yang bisa mendukung penguatan dolar AS. Rupiah seharusnya mampu memanfaatkan kesempatan ini.
Data ekonomi AS berikutnya yang diantisipasi pelaku pasar adalah angka pengangguran yang diumumkan akhir pekan ini. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan angka pengangguran pada Agustus 2018 adalah 3,8%, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 3,9%.
Bila realisasi angka pengangguran betul-betul turun, maka The Fed semakin hampir pasti menaikkan suku bunga acuan pada rapat bulan ini. Saat kemungkinan kenaikan suku bunga acuan di AS kian membesar, maka greenback akan memperoleh kekuatannya lagi. Saat itu terjadi, maka rupiah dipastikan tertekan.
Sebelum data pengangguran AS diumumkan, rupiah punya waktu untuk mengumpulkan energi. Sekarang adalah saatnya bagi rupiah untuk bangkit. Mengutip kalimat pegulat profesional John Cena, the time is now.
Apakah rupiah mampu memanfaatkan peluang ini? Hanya waktu yang akan memberi jawabnya.
Namun, rupah juga perlu waspada karena sepertinya investor juga masih belum mau jauh-jauh dari greenback. Koreksi Dollar Index yang sangat terbatas cenderung stagnan (setidaknya sampai saat ini) menunjukkan bahwa sebenarnya dolar AS tidak terlalu ditinggalkan. Pasalnya, masih ada beberapa risiko yang menghantui pasar keuangan global.
Pertama adalah tensi perang dagang yang masih tinggi seiring perundingan dagang AS-Kanada pekan lalu yang nir hasil. Kabarnya dialog akan dilanjutkan pada Rabu waktu setempat. Namun sebelum ada hasil atau setidaknya arah pembicaraan yang positif, pasar cenderung akan bereaksi negatif.
Kedua adalah masih derasnya tekanan jual terhadap mata uang negara-negara berkembang, terutama di negara yang tengah bermasalah. Pada pukul 04:37 WIB, peso Argentina melemah 2,58% di hadapan dolar AS sementara lira Turki terdepresiasi 1,75% pada perdagangan kemarin.
Padahal Argentina tengah berusaha keras untuk mengembalikan kepercayaan pasar. Presiden Mauricio Macri memutuskan utuk menaikkan tarif pajak ekspor untuk mendongkrak penerimaan negara. Selain itu, Macri juga memotong anggaran belanja kementerian. Semua ini dilakukan agar fiskal Negeri Tango bisa lebih sehat.
"Ini bukan hanya krisis seperti sebelumnya, ini harus menjadi yang terakhir. Eksportir akan diminta untuk memberikan lebih banyak kontribusi. Sementara kita tidak bisa lagi mengeluarkan belanja yang melebihi apa yang kita punya, hidup dengan mengandalkan di luar penerimaan pajak," tegas Macri dalam pernyataan di televisi nasional, dikutip dari Reuters.
Bila program pengetatan ikat pinggang ini dilaksanakan secara konsisten, Macri memperkirakan anggaran negara Argentina akan mencatat surplus sekitar 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2020. Tahun ini, target defisit anggaran adalah 2,7% dari PDB.
Namun reformasi fiskal a la Macri belum mampu mendongkrak posisi peso. Sepertinya sentimen negatif memang tengah menghantui Argentina dan negara berkembang lainnya.
Apa yang terjadi di Argentina dan Turki membuat pelaku pasar mengalihkan pandangan kepada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Jika situasi di Argentina dan Turki memburuk, bisa jadi investor masih akan enggan masuk ke negara berkembang karena tidak mau mengambil risiko.
Apabila investor masih cenderung bermain aman, maka IHSG dan rupiah dalam bahaya. Koreksi lebih lanjut sudah menanti karena seretnya aliran modal masuk.
Sentimen berikutnya yang perlu dicermati oleh pelaku pasar adalah harga komoditas. Harga minyak dunia bergerak naik karena kekhawatiran minimnya pasokan. Pada pukul 04:57 WIB, harga minyak jenis brent naik 0,48% sementara light sweet naik 0,43%.
Iran masih menjadi sumber kekhawatiran ini. Akibat sanksi dari AS, produksi dan ekspor minyak Negeri Persia mulai terpukul.
Rata-rata produksi minyak Iran pada Agustus 2018 adalah 3,55 juta barel/hari. Turun 4,05% dibandingkan bulan sebelumnya dan 6,33 ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya.
Penyebabnya adalah perusahaan-perusahaan minyak dunia yang mulai takut berbisnis di Iran, karena tidak mau kena semprot oleh Presiden AS Donald Trump. Belum lama ini, AS telah mengenakan sanksi kepada Iran berupa blokade akses untuk mendapatkan mata uang dolar AS, penjualan emas dan barang tambang lainnya, sampai ke sektor otomotif. Trump juga mengancam untuk memberikan sanksi kepada siapa saja yang berbisnis dengan Iran.
Apalagi November mendatang AS berencana mengenakan sanksi yang lebih besar yaitu pelarangan ekspor minyak. Negeri Adidaya sudah mengajak negara-negara lain untuk tidak lagi membeli minyak dari Iran. Ini tentu semakin mengurangi pasokan.
Namun, kenaikan harga minyak relatif terbatas karena kenaikan produksi di anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC). Menurut survei Reuters, produksi minyak di negara-negara OPEC pada Agustus 2018 naik 220.000 barel/hari dibandingkan bulan sebelumnya menjadi 32,79 juta barel/hari.
Apabila kenaikan harga minyak terus bertahan, maka bisa menjadi sentimen positif bagi pasar keuangan. Saat harga minyak tinggi, investor cenderung akan lebih mengapresiasi emiten-emiten migas dan pertambangan, yang dampaknya bisa saja dirasakan oleh IHSG secara keseluruhan.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis suku bunga acuan Australia edisi September 2018 (11:30 WIB).
- Rapat Dengar Pendapat Laporan Inflasi Inggris (19:15 WIB).
- Rilis data indeks PMI manufaktur AS versi ISM periode Agustus 2018 (21:00 WIB).
- Rilis data pengeluaran konstruksi AS periode Juli 2018 (21:00 WIB).
- Rils data penjualan kendaraan bermotor AS periode Agustus 2018.
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
PT Mitra Investindo Tbk (MITI) | RUPSLB | 14:00 |
PT Ancora Indonesia Resources Tbk (OKAS) | RUPSLB | 14:00 |
PT Bhuwanatala Indah Permai Tbk (BIPP) | RUPSLB | 16:00 |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY) | 5.27% |
Inflasi (Agustus 2018 YoY) | 3.20% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2.19% PDB |
Transaksi berjalan (Q II-2018) | -3.04% PDB |
Neraca pembayaran (Q II-2018) | -US$ 4.31 miliar |
Cadangan devisa (Juli 2018) | US$ 118.3 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Most Popular