Newsletter

Perang Dagang, Argentina, Penguatan Dolar AS, Aduh...

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Alfado Agustio, CNBC Indonesia
31 August 2018 06:38
Perang Dagang, Argentina, Penguatan Dolar AS, Aduh...
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mengalami periode yang agak kelam pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah sama-sama melemah. Bahkan rupiah menyentuh titik terlemahnya dalam nyaris 3 tahun terakhir.

Kemarin, IHSG ditutup melemah 0,76%. IHSG bergerak searah dengan bursa saham Asia yang juga terkoreksi. Indeks Hang Seng melemah 0,89%, Shanghai Composite anjlok 1,14% Kospi turun 0,07%, dan Straits Time berkurang 0,56%. 

Salah satu penyebab koreksi IHSG adalah pelemahan rupiah. Di penutupan pasar spot, rupiah kemarin melemah 0,24% di Rp 14.685/US$. Ini merupakan titik terlemah rupiah sejak akhir September 2015. 

Dolar Amerika Serikat (AS) memang perkasa terhadap mata uang Asia pada perdaganga kemarin. Energi bagi penguatan greenback datang dari pembacaan kedua atas pertumbuhan ekonomi AS periode kuartal-II 2018 yang berada di level 4,2% quarter-to-quarter/QtQ (annualized). Posisi ini lebih tinggi dibandingkan pembacaan pertama yang sebesar 4,1%, serta merupakan laju tercepat sejak 2014. 

"Pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2018 mencerminkan kenaikan konsumsi barang dan jasa, investasi pelaku usaha, ekspor, dan belanja pemerintah. Sementara inventori dan investasi properti menurun. Impor, yang menjadi faktor pengurang dalam pertumbuhan ekonomi, juga menurun," sebut laporan Kementerian Perdagangan AS. 

Selain itu, investor dibuat menghindari pasar keuangan negara-negara berkembang lantaran krisis nilai tukar yang sedang berlangsung di Argentina. Nilai tukar peso Argentina sempat melemah hingga 7,84% terhadap dolar AS, pelemahan harian terdalam sejak Desember 2015. Sejak awal tahun ini, peso Argentina bahkan sudah melemah di kisaran 40% terhadap mata uang Negeri Paman Sam, dan menjadi mata uang dunia yang mengalami depresiasi paling dalam.

Saat peso terjun bebas, ada kekhawatiran utang luar negeri Argentina akan membengkak. 
Per akhir Maret 2018 utang luar negeri Argentina tercatat US$ 253,74 miliar. Naik 27,59% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Bila peso terus terpuruk, maka utang ini bakal membengkak meski tidak ada penarikan utang baru. 

Argentina pun mau tak mau berpaling kepada IMF dengan meminta pencairan bantuan senilai US$ 50 miliar. "Kami sudah sepakat dengan IMF untuk menyediakan dana yang dibutuhkan dan memastikan kepatuhan terhadap program pemulihan. Keputusan ini untuk mengurangi ketidakpastian," kata Mauricio Macri, Presiden Argentina, dikutip dari Reuters. 

Di sisi lain, sentimen positif bagi bursa saham Benua Kuning datang dari optimisme bahwa AS dan Kanada bisa segera mencapai kesepakatan terkait dengan perubahan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA). Kesepakatan diperkirakan terjadi paling lambat akhir pekan ini. 

"Mereka (Kanada) ingin mencapai kesepakatan, saya memberi waktu sampai Jumat dan sepertinya berjalan sesuai harapan. Kita lihat saja apa yang akan terjadi, tetapi dalam segala hal semuanya berjalan dengan sangat baik," kata Presiden Trump, mengutip Reuters. 

Brbagai sentimen tersebut menggerakkan arus modal mengarah ke AS. Negara berkembang seperti Indonesia akan kekurangan pasokan modal sehingga bursa saham dan nilai tukar mata uangnya melemah. 

Dari Wall Street, tiga indeks utama berakhir di zona merah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 0,53%, S&P 500 terkoreksi 0,44%, dan Nasdaq Composite  berkurang 0,23%. 

Penyebab utama koreksi ini adalah adalah ketakutan atas perang dagang. Mengutip Reuters, beberapa orang sumber mengatakan Presiden AS Donald Trump akan mengenakan bea masuk kepada impor produk China senilai US$ 200 miliar pekan depan, segera setelah tahapan dengar pendapat berakhir. 

Trump tengah menggodok rencana pengenaan bea masuk itu, dan kini sedang dalam fase dengar pendapat yang dimulai 20 Agustus sampai 6 September. Setelah dengar pendapat ini selesai, Trump dikabarkan langsung mengeksekusi bea masuk tersebut. 

Gedung Putih menolak memberikan konfirmasi mengenai kebenaran kabar tersebut. Namun, pemberitaannya saja sudah cukup untuk membuat pelaku pasar khawatir. 

Pembicaraan dagang AS-Kanada dalam kerangka pembaruan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) tidak mampu membendung kekhawatiran itu. Padahal Washington dan Ottawa bekerja keras demi tercapainya kesepakatan. 

"Kami bekerja secara intensif dengan rapat-rapat hingga larut malam. Ada banyak niatan baik, banyak yang harus dilakukan dalam waktu singkat. Kami bekerja dengan sangat instens," kata Chrystia Freeland, Menteri Luar Negeri Kanada, dikutip dari Reuters. 

Salah satu isu yang masih dibahas adalah kebijakan Kanada yang mengenakan bea masuk sampai 300% untuk produk susu (dairy). Trump sering menyatakan keberatan atas kebijakan ini, yang dinilainya melukai petani AS. Namun bea masuk ini penting untuk melindungi kepentingan petani Kanada. 

"Kami punya hal besar untuk diselesaikan. Pada akhirnya, kami akan menjadi mitra dagang atau justru berkelahi," ujar Jerry Dias, perwakilan dari serikat pekerja Unifor. 

Selain perdagangan, rilis data terbaru di AS juga membebani Wall Street. Core Personal Consumption Expenditure (Core PCE) AS pada Juli 2018 tercatat sebesar 2% secara year-on-year. Core PCE menunjukkan konsumsi masyarakat minus barang-barang musiman sehingga bisa menjadi indikator laju inflasidan daya beli. Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) memilih menggunakan indikator PCE untuk memonitor inflasi, sehingga data ini menjadi penting. 

The Fed menargetkan Core PCE di kisaran 2% dalam jangka menengah. Kini target tersebut sudah tercapai, mencerminkan inflasi AS sudah berada di ujung batas aman. 

Artinya, ke depan ekspektasi inflasi harus dikendalikan. Caranya adalah dengan menaikkan suku bunga acuan. Mengutip CME Fedwatch, kemungkinan kenaikan suku bunga acuan AS sebesar 25 basis poin menjadi 2-2,25% pada rapat edisi September mencapai 98,4%. Kemarin, probabilitasnya masih 96%. 

Didorong sentimen semakin besarnya kenaikan suku bunga acuan, pelaku pasar pindah dari pasar saham ke obligasi. Saham adalah instrumen yang kurang optimal dalam lingkungan suku bunga tinggi, sementara hal sebaliknya berlaku untuk obligasi. 


Untuk perdagangan hari ini, pelaku pasar perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang kurang memuaskan. Dikhawatirkan koreksi Wall Street bisa menular ke bursa saham Asia, termasuk IHSG. 

Kedua adalah potensi berlanjutnya pelemahan rupiah, karena keperkasaan dolar AS. Penguatan greenback ditopang oleh semakin kuatnya aura kenaikan suku bunga acuan. 

Saat suku bunga naik, maka berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS akan semakin menguntungkan karena imbalannya naik. Memegang dolar AS saja sebenarnya sudah untung, karena kenaikan suku bunga membuat ekspektasi inflasi terjangkar sehingga nilai mata uang tidak turun. 

Rupiah sudah melemah 3 hari beruntun di hadapan dolar AS. Dengan rilis data Core PCE yang menyuntikkan energi baru buat dolar AS, kemungkinan rupiah kembali melemah menjadi terbuka. 

Sentimen ketiga adalah dari Argentina. Dalam rapat insidental, Bank Sentral Argentina (BCRA) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan dari 45% menjadi 60%. Tujuannya adalah untuk memancing masuknya arus modal sehingga mampu menahan pelemahan mata uang peso.  

Namun upaya ini belum membuahkan hasil signifikan. Pada pukul 05:58 WIB, peso masih anjlok 11,99% di hadapan dolar AS. Sejak awal tahun ini, peso sudah melemah 45,3%, terdalam di antara mata uang dunia. 

Pelaku pasar membaca ada kepanikan dalam pemerintahan Presiden Mauricio Macri. Kemarin, Macri memutuskan untuk mengundang Dana Moneter Internasional (IMF). Sepertinya fasilitas utang US$ 50 miliar akan segera ditarik, dan IMF masuk untuk mendikte kebijakan ekonomi Negeri Tango. 

Namun masuknya IMF bukan tanpa hambatan. Sebagian besar rakyat Argentina masih trauma dengan kehadiran IMF, yang juga hadir kala Argentina mengalami krisis pada awal dekade 2000-an.

Resep IMF, yaitu pengetatan fiskal dengan pemangkasan berbagai subsidi, ditengarai menjadi penyebab orang miskin menjadi tambah miskin. Kehadiran IMF kali ini kemungkinan masih membawa resep yang sama. 

Oleh karena itu, posisi politik Macri menjadi kurang menguntungkan. Orang-orang yang dulu mendukungnya kini berbalik mencaci. 

"Saya tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga, bayangkan ada banyak orang di luar sana yang penghasilannya lebih kecil dari saya. Kami susah, dan saya dulu memilih Macri," tegas Julio Varela, seorang pegawai bank di Buenos Aires, dikutip dari Reuters. 

Dikhawatirkan situasi Argentina akan meledak seperti Turki beberapa hari lalu. Investor menjadi memilih bermain aman dan meninggalkan negara-negara berkembang. Jika ini terjadi, maka IHSG dan rupiah akan kekurangan pasokan modal sehingga pelemahan sangat mungkin terjadi. 

Perkembangan di AS dan Argentina berpotensi membuat dolar AS semakin kuat karena menjadi buruan investor yang memilih bermain aman. Beban rupiah akan semakin berat dan depresiasi kemungkinan akan berlanjut.


Sentimen keempat adalah perang dagang AS vs China. Investor perlu memperhatikan reaksi Beijing setelah Trump dikabarkan akan mengeksekusi bea masuk baru senilai US$ 200 miliar. 

Bila situasi memanas, maka lagi-lagi investor akan terpaksa bermain aman. Sebab perang dagang adalah isu besar yang dampaknya tidak main-main, pertumbuhan ekonomi global menjadi taruhannya.  

Saat dua kekuatan ekonomi terbesar di bumi 'bertarung', maka dampaknya adalah arus perdagangan dunia akan seret. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi pun tertahan. Oleh karena itu, wajar bila investor memilih enggan mengambil risiko ketika isu perang dagang mengemuka. 

Sentimen kelima, kali ini dari dari dalam negeri, adalah reaksi pasar merespons keputusan AS yang tidak mengenakan bea masuk 25% kepada impor baja asal Indonesia. AS juga membebaskan impor aluminium dari bea masuk 10%. 

Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan, Pradnyawati, mengatakan kebijakan itu berdasarkan evaluasi AS terhadap setiap produsen baja dan aluminium asal Indonesia. "Eksklusi yang diberikan oleh AS itu on company basis. Saat ini yang dikasih baru 1 company Indonesia dan mendapatkan eksklusi untuk 2 specific products (HS). Dibatasi dengan kuota yaitu 235 ton, dan akan dievaluasi setiap tahun. Untuk produk-produk tersebut, tahun 2017 ekspor kita hanya mencapai 82 ton," ungkapnya. 

"Saat ini kita masih menunggu 4-5 usulan eksklusi untuk produk steel (baja) dan aluminium yang lain dengan volume lebih dari 300.000 ton," tambah Pradnyawati. 

Perkembangan ini bisa menjadi sentimen positif bagi emiten produsen baja dan logam industrial. Tidak hanya itu, 'hadiah' dari AS ini bisa menggairahkan IHSG secara keseluruhan.  


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data indeks manufaktur PMI China periode Agustus 2018 (08.00 WIB).
  • Rilis data indeks non-manufaktur PMI China periode Agustus 2018 (08.00 WIB).
  • Rilis data penjualan ritel Jerman periode Juli 2018 (13.00 WIB).
  • Rilis data pembacaan pertama inflasi zona Eropa periode Agustus 2018 (16.00 WIB).
  • Rilis data tingkat pengangguran zona Eropa periode Juli 2018 (16.00 WIB).
  • Rilis data indeks PMI Chicago periode Agustus 2018 (20.45 WIB).
  • Rilis data revisi sentimen konsumen AS versi University of Michigan periode Agustus 2018 (21.00 WIB).
Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Elnusa Tbk (ELSA)RUPSLB09:00
PT Bank Maspion Indonesia Tbk (BMAS)RUPSLB11:00
PT Nusantara Infrastructure Tbk (META)RUPSLB14:00
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:  

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY)5.27%
Inflasi (Juli 2018 YoY)3.18%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2018)-3.04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2018)-US$ 4.31 miliar
Cadangan devisa (Juli 2018)US$ 118.3 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.  

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular