
Newsletter
Cermati Perundingan AS-China dan 'Telenovela' Venezuela
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 August 2018 05:38

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia terkoreksi habis-habisan pada perdagangan pekan lalu. Tekanan eksternal yang dahsyat ditambah rilis data domestik yang mengecewakan menjadi penyebabnya.
Sepanjang minggu lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terperosok 4,83%. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah 0,93%.
Hal serupa juga terjadi terhadap pasar keuangan regional. Indeks Hang Seng melemah 4,07%, Straits Time turun 2,29%, Shanghai Composite anjlok 4,52%, Kospi terkoreksi 1,57%, dan Nikkei 225 melemah 1,3% dalam seminggu terakhir. Sedangkan yuan China melemah 0,49%, dolar Singapura terdepresiasi 0,17%, rupee India jatuh 1,75%, dolar Taiwan terkoreksi 0,05%, dan ringgit Malaysia turun 0,49%.
Tekanan di pasar keuangan regional selama sepekan terakhir datang dari gejolak ekonomi di Turki. Mata uang lira Turki melemah tajam di hadapan greenback, merespons Presiden AS Donald Trump yang menyetujui pengenaan bea masuk bagi impor baja asal Negeri Kebab sebesar 50% dan aluminium sebesar 20%.
Kebijakan Trump ini merupakan balasan terhadap langkah Turki yang menahan seorang pastur asal AS, Andrew Brunson. Pemerintah Turki menuding Brunson sebagai salah satu pendukung upaya kudeta pada 2016. Brunson menolak tuduhan tersebut, tetapi hingga kini masih menjalani tahanan rumah.
Ketika lira terus melemah, dikhawatirkan utang luar negeri perusahaan-perusahaan di Turki membengkak. Dalam satu titik, potensi gagal bayar (default) massal pun tidak bisa diabaikan.
Jika default itu terjadi, maka dampaknya bisa meluas. Sebab, perusahaan-perusahaan asal Turki banyak meminjam uang di bank luar negeri. Oleh karena itu, pasar mencemaskan akan terjadi efek penularan (contagion effect) terhadap sistem keuangan global. Risiko ini yang kemudian membuat investor memasang mode risk-off, ogah mengambil risiko.
Tekanan terhadap lira sempat membaik di pertengahan pekan lalu, karena upaya Bank Sentral Turki yang berusaha menenangkan investor global dengan menyatakan bahwa mereka akan menyediakan sebanyak mungkin likuiditas. Selain itu, bank sentral juga siap sedia dalam memantau perkembangan krisis ekonomi. Pernyataan tersebut sedikit melegakan pelaku pasar sehingga lira mampu membalikkan kedudukan.
Selain langkah antisipasi bank sentral, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan juga akan memberikan insentif bagi perusahaan-perusahaan yang menanamkan modal di negaranya. Menteri Keuangan Turki Berat Albayrak juga berencana melakukan telewicara dengan investor global untuk memastikan keamanan investasi di sana.
Namun, pada akhir pekan nilai Lira kembali jeblok hampir 5% akibat peringatan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin. Dia menegaskan bahwa bahwa Negeri Paman Sam akan mengenakan lebih banyak sanksi kepada Turki, kecuali Brunson dibebaskan.
Selain itu, Bank Sentral Turki membuat keputusan mengejutkan dengan tidak menaikkan suku bunga acuan sehingga membuat investor mempertanyakan independensi bank sentral. Presiden Erdogan memang selalu menyebut dirinya sebagai musuh dari suku bunga tinggi.
Dari dalam negeri, berbagai rilis data malah menjadi pemberat buat IHSG maupun rupiah. Pertama, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mengalami defisit US$ 4,31 miliar pada kuartal II-2018. Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu minus US$3,85 miliar, apalagi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang masih surplus US$739 juta.
NPI yang defisit menggambarkan devisa yang keluar lebih banyak ketimbang yang masuk, baik itu dari ekspor-impor barang dan jasa maupun investasi (sektor riil dan portofolio). Artinya, perekonomian Indonesia dinilai rentan menghadapi gejolak eksternal karena minimnya sokongan devisa.
Kedua, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengumumkan data realisasi investasi kuartal II-2018 yang kurang menggembirakan. Pada kuartal II-2018, investasi hanya tumbuh 3,1% secara tahunan (year-on-year/YoY), bahkan Penanaman Modal Asing (PMA) terkontraksi alias minus 12,9% YoY.
Data ini menggambarkan situasi dunia usaha sebenarnya sedang lesu. Terutama investor asing, yang justru terlihat menghindari Indonesia. Sinyal ini tentu menjadi sentimen negatif di pasar keuangan. Ekspansi usaha yang minim berarti prospek pertumbuhan laba emiten juga terbatas.
Ketiga, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor pada Juli 2018 tumbuh 19,33% YoY, sementara impor meroket hingga 31,56% YoY. Akibat impor yang begitu kencang, neraca perdagangan mencatatkan defisit sebesar US$ 2,03 miliar.
Defisit perdagangan pada bulan lalu juga jauh lebih dalam dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yakni sebesar US$ 640 juta. Berdasarkan survei CNBC Indonesia terhadap sejumlah ekonom, ekspor diramal tumbuh sebesar 11,3% YoY, sedangkan impor diekspektasikan hanya tumbuh sebesar 13,4% YoY.
Langkah Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga kebijakan 7 Day Reverse Repo Rate akhirnya tidak banyak membantu. Kenaikan 25 basis poin menjadi 5,5% seolah menjadi hambar karena dahsyatnya tekanan eksternal dan rilis data domestik yang mengecewakan.
Sepanjang minggu lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terperosok 4,83%. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah 0,93%.
Hal serupa juga terjadi terhadap pasar keuangan regional. Indeks Hang Seng melemah 4,07%, Straits Time turun 2,29%, Shanghai Composite anjlok 4,52%, Kospi terkoreksi 1,57%, dan Nikkei 225 melemah 1,3% dalam seminggu terakhir. Sedangkan yuan China melemah 0,49%, dolar Singapura terdepresiasi 0,17%, rupee India jatuh 1,75%, dolar Taiwan terkoreksi 0,05%, dan ringgit Malaysia turun 0,49%.
Tekanan di pasar keuangan regional selama sepekan terakhir datang dari gejolak ekonomi di Turki. Mata uang lira Turki melemah tajam di hadapan greenback, merespons Presiden AS Donald Trump yang menyetujui pengenaan bea masuk bagi impor baja asal Negeri Kebab sebesar 50% dan aluminium sebesar 20%.
Kebijakan Trump ini merupakan balasan terhadap langkah Turki yang menahan seorang pastur asal AS, Andrew Brunson. Pemerintah Turki menuding Brunson sebagai salah satu pendukung upaya kudeta pada 2016. Brunson menolak tuduhan tersebut, tetapi hingga kini masih menjalani tahanan rumah.
Ketika lira terus melemah, dikhawatirkan utang luar negeri perusahaan-perusahaan di Turki membengkak. Dalam satu titik, potensi gagal bayar (default) massal pun tidak bisa diabaikan.
Jika default itu terjadi, maka dampaknya bisa meluas. Sebab, perusahaan-perusahaan asal Turki banyak meminjam uang di bank luar negeri. Oleh karena itu, pasar mencemaskan akan terjadi efek penularan (contagion effect) terhadap sistem keuangan global. Risiko ini yang kemudian membuat investor memasang mode risk-off, ogah mengambil risiko.
Tekanan terhadap lira sempat membaik di pertengahan pekan lalu, karena upaya Bank Sentral Turki yang berusaha menenangkan investor global dengan menyatakan bahwa mereka akan menyediakan sebanyak mungkin likuiditas. Selain itu, bank sentral juga siap sedia dalam memantau perkembangan krisis ekonomi. Pernyataan tersebut sedikit melegakan pelaku pasar sehingga lira mampu membalikkan kedudukan.
Selain langkah antisipasi bank sentral, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan juga akan memberikan insentif bagi perusahaan-perusahaan yang menanamkan modal di negaranya. Menteri Keuangan Turki Berat Albayrak juga berencana melakukan telewicara dengan investor global untuk memastikan keamanan investasi di sana.
Namun, pada akhir pekan nilai Lira kembali jeblok hampir 5% akibat peringatan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin. Dia menegaskan bahwa bahwa Negeri Paman Sam akan mengenakan lebih banyak sanksi kepada Turki, kecuali Brunson dibebaskan.
Selain itu, Bank Sentral Turki membuat keputusan mengejutkan dengan tidak menaikkan suku bunga acuan sehingga membuat investor mempertanyakan independensi bank sentral. Presiden Erdogan memang selalu menyebut dirinya sebagai musuh dari suku bunga tinggi.
Dari dalam negeri, berbagai rilis data malah menjadi pemberat buat IHSG maupun rupiah. Pertama, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mengalami defisit US$ 4,31 miliar pada kuartal II-2018. Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu minus US$3,85 miliar, apalagi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang masih surplus US$739 juta.
NPI yang defisit menggambarkan devisa yang keluar lebih banyak ketimbang yang masuk, baik itu dari ekspor-impor barang dan jasa maupun investasi (sektor riil dan portofolio). Artinya, perekonomian Indonesia dinilai rentan menghadapi gejolak eksternal karena minimnya sokongan devisa.
Kedua, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengumumkan data realisasi investasi kuartal II-2018 yang kurang menggembirakan. Pada kuartal II-2018, investasi hanya tumbuh 3,1% secara tahunan (year-on-year/YoY), bahkan Penanaman Modal Asing (PMA) terkontraksi alias minus 12,9% YoY.
Data ini menggambarkan situasi dunia usaha sebenarnya sedang lesu. Terutama investor asing, yang justru terlihat menghindari Indonesia. Sinyal ini tentu menjadi sentimen negatif di pasar keuangan. Ekspansi usaha yang minim berarti prospek pertumbuhan laba emiten juga terbatas.
Ketiga, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor pada Juli 2018 tumbuh 19,33% YoY, sementara impor meroket hingga 31,56% YoY. Akibat impor yang begitu kencang, neraca perdagangan mencatatkan defisit sebesar US$ 2,03 miliar.
Defisit perdagangan pada bulan lalu juga jauh lebih dalam dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yakni sebesar US$ 640 juta. Berdasarkan survei CNBC Indonesia terhadap sejumlah ekonom, ekspor diramal tumbuh sebesar 11,3% YoY, sedangkan impor diekspektasikan hanya tumbuh sebesar 13,4% YoY.
Langkah Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga kebijakan 7 Day Reverse Repo Rate akhirnya tidak banyak membantu. Kenaikan 25 basis poin menjadi 5,5% seolah menjadi hambar karena dahsyatnya tekanan eksternal dan rilis data domestik yang mengecewakan.
Pages
Most Popular