Newsletter

Jokowi-Ma'ruf Amin vs Prabowo-Sandi, Siapa Pilihan Pasar?

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
10 August 2018 06:04
Jokowi-Ma'ruf Amin vs Prabowo-Sandi, Siapa Pilihan Pasar?
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah pada perdagangan kemarin. IHSG mencatatkan kinerja terbawah di Asia, karena bursa saham lainnya berhasil ditutup menguat. 

Kemarin, IHSG melemah 0,49% dan menjadi bursa saham dengan performa terburuk di kawasan Asia. Sebab, indeks Shanghai Composite melesat 1,85%, Hang Seng menguat 0,88%, Kospi bertambah 0,1%, SET (Thailand) surplus 0,05%, dan KLCI (Malaysia) naik 0,01%. 

Nilai transaksi di Bursa Efek Indonesia tercatat Rp 9,66 triliun dengan volume 8,43 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 424,185 kali. 

Sentimen perang dagang mewarnai perdagangan bursa saham Asia. China mengumumkan bea masuk sebesar 25% bagi impor produk-produk Amerika Serikat (AS) senilai US$ 16 miliar. Beberapa produk yang akan terkena bea masuk tersebut adalah bahan bakar minyak (BBM), produk baja, kendaraan bermotor, dan peralatan kesehatan. Total ada 333 produk asal AS yang menjadi korban.  

Kementerian Perdagangan China menyebutkan bahwa bea masuk ini akan mulai berlaku pada 23 Agustus mendatang, hari yang sama dengan pengenaan bea masuk 25% terhadap US$ 16 miliar produk impor asal China oleh AS. Jadi, kebijakan China tersebut merupakan balasan atas serangan dari Negeri Paman Sam. 

Kemarin, data inflasi China periode Juli diumumkan di level 2,1% secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih tinggi dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh Reuters sebesar 1,9% YoY. Perang dagang dengan AS akan membuat tekanan inflasi semakin besar dan mengancam tingkat konsumsi masyarakat China. Jika ini yang terjadi, laju perekonomian global menjadi taruhannya.  

Namun, performa bursa saham Asia terangkat oleh penguatan mata uang yuan China. Hingga sore hari, yuan menguat 0,22% di pasar spot melawan dolar AS. Penguatan yuan lantas meredakan kekhawatiran mengenai tergoncangnya stabilitas perekonomian Negeri Panda. Sebelumnya, pemerintah dan bank sentral China memang berusaha mati-matian untuk menghentikan depresiasi yuan. 

Selain itu, energi positif bagi bursa regional datang dari ekspor China yang naik 12,2% YoY pada Juli 2018, mengalahkan ekspektasi analis yang meramal pertumbuhan sebesar 10% YoY. Sebagai informasi, data bulan lalu merupakan pembacaan pertama sejak berlakunya bea masuk AS untuk produk-produk China senilai US$ 34 miliar pada awal Juli 2018. Capaian tersebut lantas menjadi indikasi bahwa arus perdagangan Negeri Panda belum terpengaruh kebijakan AS secara signifikan, setidaknya untuk saat ini. 

Dari dalam negeri, langkah AS yang menyasar ekspor Indonesia membuat investor gelisah dan memasang mode defensif dengan meninggalkan pasar saham. Seperti yang diketahui sebelumnya, Negeri Paman Sam tengah mengurus perizinan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk menaikkan bea masuk bagi produk-produk ekspor asal Indonesia senilai US$ 350 juta, termasuk produk-produk poultry. 

Kemudian, investor nampak grogi menantikan deklarasi calon wakil presiden dari Joko Widodo (Joko Widodo) maupun Prabowo Subianto. Hingga akhir perdagangan, belum ada satu nama pasti yang keluar.

Baru setelah perdagangan ditutup, Jokowi secara resmi meminang Ma'ruf Amin yang saat ini menjabat sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).
 Sementara Prabowo memilih berpasangan dengan Sandiaga Uno, Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Dari Wall Street, performa negatif berlanjut. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,29%, S&P 500 melemah 0,14%, dan Nasdaq Composite berkurang 0,03%. Reli Nasdaq yang berlangsung sejak 31 Juli akhirnya terhenti sementara DJIA dan S&P 500 sudah melemah pada perdagangan hari sebelumnya. 

Penurunan harga minyak menjadi penyebab koreksi di Wall Street. Pada pukul 04:10 WIB, harga minyak jenis light sweet maupun brent turun masing-masing 0,36%. 

Harga minyak turun karena perang dagang yang dikhawatirkan mempengaruhi permintaan. Perang dagang (bila berlangsung lama) akan membuat perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia terancam.

Kala perdagangan dan pertumbuhan ekonomi melambat, maka permintaan energi pun ikut turun. Akibatnya, indeks sektor energi di DJIA merosot 0,75% dan menjadi pemberat utama di Wall Street. 

Selain itu, data terbaru di AS juga kurang suportif buat Wall Street. Jumlah klaim tunjangan pengangguran pada pekan lalu turun 6.000 dibandingkan pekan sebelumnya menjadi 213.000. Lebih rendah dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 220.00.

Data ini menandakan pasar tenaga kerja AS semakin kuat sehingga The Federal Reserve/The Fed akan semakin yakin untuk menaikkan suku bunga acuan lebih agresif. Saham bukan instrumen yang bekerja optimal dalam lingkungan suku bunga tinggi, tidak seperti obligasi. Oleh karena itu, setiap kabar kenaikan suku bunga akan direspons negatif oleh pasar saham tetapi positif bagi pasar surat utang.  

Didorong sentimen kenaikan suku bunga acuan, sepertinya memang terjadi pengalihan dana ke pasar obligasi AS. Hal ini tercermin dari penurunan imbal hasil (yield) yang menandakan harga sedang naik akibat lonjakan permintaan. 

Yield obligasi pemerintah AS tenor 5 tahun turun 2,9 basis poin (bps). Sementara untuk tenor 10 tahun turun 3,7 bps dan 30 tahun turun 4,6 bps. 

Penurunan yield kemudian mempengaruhi saham-saham sektor keuangan, karena emiten di sektor ini adalah pemegang obligasi. Ketika yield obligasi turun, maka cuan perusahaan keuangan juga ikut turun karena mereka banyak berinvestasi di pasar surat utang. Indeks sektor keuangan di DJIA turun 0,62%. 

Saham Tesla juga layak menjadi salah satu highlight, karena terkoreksi sampai 4,83%. Belum lama ini, saham Tesla sempat naik hampir 11% karena sang bos, Elon Musk, mencuit melalui Twitter bahwa dirinya tengah mempertimbangkan membuat perusahaan mobil listrik itu go private.  

Artinya, ke depan bisa saja saham Tesla hilang dari peredaran karena tidak lagi menjadi perusahaan terbuka. Saham Tesla pun sempat menjadi buruan investor. 

Namun hari ini pernyataan Musk justru menjadi bumerang bagi Tesla. Sebab, pelaku pasar mulai ragu apakah keinginan delisting itu bisa terwujud. Mengundurkan diri dari bursa bukan sesuatu yang mudah dan murah karena harus melalui jalan panjang menebus satu per satu saham yang dimiliki investor. 

Selain itu, pernyataan Musk kini mengundang regulator pasar modal AS (US Security and Exchange Committee/SEC) untuk melakukan penyelidikan. Mengutip Wall Street Journal, SEC mempertanyakan mengapa Musk memilih untuk mengumumkan aksi korporasi sepenting itu melalui cuitan Twitter dibandingkan keterbukaan informasi di bursa. SEC juga mempertanyakan apakah rencana go private ini sudah melindungi kepentingan investor. 


Untuk perdagangan hari ini, ada beberapa sentimen yang patut menjadi perhatian. Pertama tentu kinerja Wall Street yang kurang ciamik. Dikhawatirkan ini bisa menular ke Asia, karena biasanya dinamika di bursa saham New York memberi warna kepada Benua Kuning. 

Kedua adalah nilai tukar dolar AS. Setelah beberapa hari tertekan, greenback sepertinya siap mengamuk. Pada pukul 04:29 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama) menanjak 0,58%. 

Data ekonomi AS yang membaik dan aura kenaikan suku bunga acuan menjadi booster bagi dolar AS. Jika suku bunga naik, maka berinvestasi di instrumen berbasis greenback (khususnya fixed income) akan lebih menarik karena memberikan imbalan tinggi. Ini membuat dolar AS menjadi buruan pelaku pasar. 

Selain itu, perang dagang juga menopang apresiasi dolar AS. Bagaimanapun, AS bukanlah negara yang menggantungkan diri terhadap ekspor. Dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) di AS, ekspor hanya menyumbang sekitar 12%. Ini di bawah rata-rata dunia yang mencapai 28,52%. 

Di China, ekspor berkontribusi sekitar 20% dari PDB. Oleh karena itu, perekonomian China terlihat lebih rentan dalam menghadapi perang dagang. 

Jika dolar AS terus bertahan di jalur pendakian, maka rupiah bisa tertekan. Apalagi rupiah sudah menguat dalam 4 hari perdagangan terakhir.  

Depresiasi rupiah (bila terjadi) akan menjadi sentimen negatif di pasar. Sebab, potensi pelemahan rupiah akan membuat harga instrumen berbasis mata uang ini akan turun pada kemudian hari, sehingga menjadi kurang menarik. Apabila terjadi pelepasan aset, maka dampaknya tentu kurang menggembirakan. 

Ketiga adalah harga minyak, sentimen yang sukses membuat Wall Street terkoreksi. Jika penurunan harga minyak berlanjut, maka dampaknya bisa negatif bagi IHSG. Emiten migas dan pertambangan akan kurang diapresiasi investor saat harga minyak turun. 

Keempat adalah dari perdagangan. Beberapa waktu lalu, AS dan Uni Eropa sepakat untuk 'berdamai' dan melakukan negosiasi untuk menghindari perang dagang.

Salah satu komitmen dalam kesepakatan itu adalah Uni Eropa akan membeli lebih banyak gas alam cair (Liquified Natural Gas/LNG) dari AS. Namun, ternyata janji itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Jean-Claude Juncker, Presiden Uni Eropa, mengeluhkan harga LNG dari AS yang dinilainya terlalu mahal. 

"Ekspor LNG dari AS, jika harganya kompetitif, akan memainkan peran penting dan strategis untuk menjaga pasokan di Uni Eropa. AS perlu melakukan sesuatu," kata Juncker, seperti dikutip Reuters. 

Sampai saat ini belum ada pernyataan resmi dari Washington mengenai keluhan tersebut. Namun jika sampai membuat Presiden AS Donald Trump ngambek, maka bisa saja hubungan dengan Benua Biru kembali memanas. Semoga tidak, tetapi perkembangan isu ini layak untuk terus dimonitor. 


Sentimen kelima adalah dari dalam negeri, yaitu dinamika politik jelang Pilpres 2019. Akhirnya sudah jelas siapa yang akan mengikuti kontestasi tahun depan yaitu pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Mereka dijadwalkan mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) hari ini. 

Di kubu Jokowi, terpilihnya Ma'ruf Amin bisa disikapi dari dua kacamata. Pertama, Ma'ruf bukanlah sosok yang memahami persoalan ekonomi secara keseluruhan. Dia juga sudah terlalu sepuh dan kurang popular di kalangan muda yang jumlahnya lebih dari separuh total pemilih. 

Namun kedua, keputusan Jokowi bisa membawa sentimen positif karena menghadirkan win-win solution untuk partai koalisi. Dipilhnya Ma'ruf juga dapat menjadi benteng yang kuat dalam meredam gejolak politisasi agama yang berkecamuk dalam beberapa waktu terakhir, khususnya sejak Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun lalu.  

Terlebih, kemarin Ma'ruf Amin langsung menyampaikan visinya di sektor perekonomian. Satu yang perlu dicatat adalah bahwa mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini menekankan untuk tidak boleh ada lagi impor di negeri ini, khususnya untuk komoditas pangan.  

"Tidak boleh negara ini tergantung pangan dari luar negeri, makanya kita harus penuhi. Tidak boleh ada impor. Masa impor jagung, gula," kata Maruf. 

Sementara di kubu Prabowo, terpilihnya  Sandiaga tidak terlalu mengejutkan karena sudah santer dibicarakan sebelumnya. Dari sisi ekonomi, Sandiaga lebih populer karena dia adalah sosok pengusaha yang pernah menjadi Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) pada 2005-2008.  

"Kami mohon doa restu untuk menghadirkan pemerintahan yang kuat dan kemandiran bangsa untuk membangun ekonomi," kata Sandiaga.

Menarik untuk melihat reaksi pasar atas resmi dimulainya ronde pertama tahapan Pilpres 2019. Siapa yang nantinya bakal memimpin Indonesia tentunya akan menjadi sentimen besar yang sangat mempengaruhi pasar.

Sentimen keenam, masih dari dalam negeri, adalah rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2018. Sebagai catatan, NPI pada kuartal I-2018 membukukan defisit US$ 3,8 miliar.  

Komponen yang mendapat sorotan dalam NPI adalah transaksi berjalan (current account). Pos ini dipandang sebagai fundamental ketahanan ekonomi suatu negara dari gejolak eksternal.

Sebab, transaksi berjalan menggambarkan aliran devisa dari sektor perdagangan, impor barang dan jasa. Devisa dari sektor ini lebih stabil dibandingkan investasi portofolio alias hot money, sehingga lebih bisa menopang fundamental perekonomian. 

Pada kuartal I-2018, transaksi berjalanan berada di posisi defisit US$ 5,5 miliar atau 2,15% dari PDB. Untuk kuartal II-2018, Bank Indonesia (BI) memperkirakan defisit ini akan melebar. 

"Kuartal II memang ada akselerasi impor sehingga memang kami melihat (defisit) transaksi berjalan bisa di atas 2,5% tetapi di bawah 3% (dari PDB)," kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara, bulan lalu. 

Apabila defisit transaksi berjalan semakin melebar, maka hal ini akan menjadi kabar buruk bagi rupiah. Mata uang Tanah Air bisa kehilangan pijakan untuk bisa melanjutkan penguatan. 


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data Neraca Pembayaran Indonesia kuartal II-2018 (tentatif).
Investor juga perlu mencermati genda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Hanson International Tbk (MYRX)RUPS Tahunan14:00
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY)5.27%
Inflasi (Juli 2018 YoY)3.18%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q I-2018)-2.15% PDB
Neraca pembayaran (Q I-2018)-US$ 3.85 miliar
Cadangan devisa (Juli 2018)US$ 118.3 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular