
Newsletter
Waspadai Counter Attack China
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
09 August 2018 06:06

Sentimen keempat adalah nilai tukar dolar AS yang lesu. Pada pukul 05:30 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback relatif terhadap enam mata uang utama) melemah 0,14%.
Sepertinya dolar AS masih terjangkit ambil untung karena sudah menguat terlalu lama. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index masih menguat 0,49%. Sementara sebulan ke belakang penguatannya adalah 1,07% dan sejak awal tahun sudah naik 3,21%. Oleh karena itu, mungkin dolar AS perlu menekan tombol pause untuk beberapa saat karena mata uang ini butuh koreksi sehat.
Selain itu, belum ada katalis baru yang bisa mendorong laju dolar AS. Rapat The Federal Reserves/The Fed masih cukup lama, data-data penting sudah dirilis, greenback benar-benar sedang kehabisan bensin.
Situasi ini bisa dimanfaatkan oleh rupiah untuk kembali menguat. Dalam tiga hari perdagangan terakhir, rupiah berhasil menguat di hadapan greenback. Jika sepanjang hari ini dolar AS tetap lesu, maka rupiah bersiap menyongsong penguatan hari keempat.
Apabila rupiah sukses menguat, maka bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. Rupiah yang berpotensi menguat membuat aset-aset berbasis mata ini lebih seksi di mata investor karena bisa memberikan kenaikan nilai pada masa mendatang.
Sementara sentimen kelima yang perlu dicermati investor adalah dari dalam negeri yaitu respons terhadap rilis data penjualan ritel. Terhadap data ini, bisa ada dua persepsi yaitu kabar buruk dan kabar baik.
Kabar buruknya dulu. Bank Indonesia (BI) melaporkan penjualan ritel pada Juni 2018 naik 2,3 secara YoY. Jauh melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 8,3% atau periode yang sama pada Juni 2017 yaitu 6,3%.
Data ini bisa menjadi indikasi adanya perlambatan konsumsi masyarakat. Oleh karena itu, dampaknya akan dirasakan oleh saham-saham sektor barang konsumsi sampai keuangan.
Namun ada kabar baiknya. Perlambatan penjualan ritel sepertinya lebih disebabkan oleh faktor musiman. Betul pada Juni 2017 penjualan ritel bisa tumbuh 6,3%, tetapi itu karena momentum Ramadan-Idul Fitri hampir sepenuhnya terjadi pada bulan itu.
Idul Fitri 2017 jatuh pada 25 Juni. Oleh karena itu, wajar ketika penjualan ritel pada Juni 2017 tumbuh cukup baik karena periode tersebut memang merupakan puncak konsumsi masyarakat.
Sementara tahun ini, Ramadan-Idul Fitri dibagi dua masing-masing 50% pada Mei dan Juni. Artinya, Juni hanya kebagian separuh dari puncak konsumsi masyarakat. Namun hanya kebagian separuh saja masih bisa naik 2,3% dibandingkan Juni 2017 yang hampir seluruhnya diisi oleh Ramadan-Idul Fitri.
Oleh karena itu, konsumsi tahun ini memang harus diakui sudah lebih kuat. Ini bisa menjadi katalis bagi kenaikan saham barang konsumsi sampai keuangan.
Apakah investor lebih mencerna kabar buruk atau kabar baik dari rilis data ini? Layak untuk disimak.
(aji/aji)
Sepertinya dolar AS masih terjangkit ambil untung karena sudah menguat terlalu lama. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index masih menguat 0,49%. Sementara sebulan ke belakang penguatannya adalah 1,07% dan sejak awal tahun sudah naik 3,21%. Oleh karena itu, mungkin dolar AS perlu menekan tombol pause untuk beberapa saat karena mata uang ini butuh koreksi sehat.
Selain itu, belum ada katalis baru yang bisa mendorong laju dolar AS. Rapat The Federal Reserves/The Fed masih cukup lama, data-data penting sudah dirilis, greenback benar-benar sedang kehabisan bensin.
Situasi ini bisa dimanfaatkan oleh rupiah untuk kembali menguat. Dalam tiga hari perdagangan terakhir, rupiah berhasil menguat di hadapan greenback. Jika sepanjang hari ini dolar AS tetap lesu, maka rupiah bersiap menyongsong penguatan hari keempat.
Apabila rupiah sukses menguat, maka bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. Rupiah yang berpotensi menguat membuat aset-aset berbasis mata ini lebih seksi di mata investor karena bisa memberikan kenaikan nilai pada masa mendatang.
Sementara sentimen kelima yang perlu dicermati investor adalah dari dalam negeri yaitu respons terhadap rilis data penjualan ritel. Terhadap data ini, bisa ada dua persepsi yaitu kabar buruk dan kabar baik.
Kabar buruknya dulu. Bank Indonesia (BI) melaporkan penjualan ritel pada Juni 2018 naik 2,3 secara YoY. Jauh melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 8,3% atau periode yang sama pada Juni 2017 yaitu 6,3%.
Data ini bisa menjadi indikasi adanya perlambatan konsumsi masyarakat. Oleh karena itu, dampaknya akan dirasakan oleh saham-saham sektor barang konsumsi sampai keuangan.
Namun ada kabar baiknya. Perlambatan penjualan ritel sepertinya lebih disebabkan oleh faktor musiman. Betul pada Juni 2017 penjualan ritel bisa tumbuh 6,3%, tetapi itu karena momentum Ramadan-Idul Fitri hampir sepenuhnya terjadi pada bulan itu.
Idul Fitri 2017 jatuh pada 25 Juni. Oleh karena itu, wajar ketika penjualan ritel pada Juni 2017 tumbuh cukup baik karena periode tersebut memang merupakan puncak konsumsi masyarakat.
Sementara tahun ini, Ramadan-Idul Fitri dibagi dua masing-masing 50% pada Mei dan Juni. Artinya, Juni hanya kebagian separuh dari puncak konsumsi masyarakat. Namun hanya kebagian separuh saja masih bisa naik 2,3% dibandingkan Juni 2017 yang hampir seluruhnya diisi oleh Ramadan-Idul Fitri.
Oleh karena itu, konsumsi tahun ini memang harus diakui sudah lebih kuat. Ini bisa menjadi katalis bagi kenaikan saham barang konsumsi sampai keuangan.
Apakah investor lebih mencerna kabar buruk atau kabar baik dari rilis data ini? Layak untuk disimak.
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular