
Newsletter
Akankah Trump sang Street Fighter Pengaruhi IHSG?
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
07 August 2018 05:58

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang positif. Diharapkan hal ini bisa membangkitkan gairah dan optimisme bursa saham Asia sehingga mampu bangkit dari teritori negatif.
Sentimen kedua adalah perang dagang AS vs China yang masih dalam mode full throttle. Kali ini China yang membuat suasana memanas. Harian milik pemerintah China menegaskan bahwa kebijakan perdagangan Presiden AS Donald Trump merupakan serangan personal yang luar biasa.
"Trump telah membintangi drama dengan gaya petarung jalanan yang penuh kebohongan, pemerasan, dan intimidasi. Keinginan Trump agar pihak lain ikut dalam drama itu sia-sia belaka," tegas tulisan di halaman depan harian People's Daily, seperti dikutip Reuters.
Padahal, perang dagang berdampak buruk bagi China sendiri. AS adalah pasar ekspor terbesar China, sehingga ketika pasar itu sulit dimasuki maka dampaknya akan luar biasa. Akan banyak perusahaan yang merugi, bahkan mungkin terpaksa gulung tikar. Ketika aktivitas bisnis melambat, maka pertumbuhan ekonomi pun akan melandai.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan bahwa perang dagang akan membuat pertumbuhan ekonomi global pada 2020 berkurang 0,5%. Secara nominal, akan ada potensi yang hilang sebanyak US$ 500 miliar.
"Risiko dalam perang dagang adalah terhadap harga aset dan iklim investasi. Ini adalah risiko terbesar dalam jangka pendek," kata Maury Obstfeld, Kepala Ekonom IMF, mengutip Reuters.
Perkembangan perang dagang tentu masih harus membuat investor waspada. Dikhawatirkan kewaspadaan ini membuat pelaku pasar menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Bila ini sampai terjadi, maka IHSG akan sulit mengulangi pencapaian kemarin. Akankah Trump sang Street Fighter mewarnai laju IHSG?
Sentimen ketiga adalah perkembangan di Timur Tengah yang tidak kalah tegang. Presiden Iran Hassan Rouhani menolak ajakan AS untuk berunding.
Sebelumnya, Washington memang mengajak Iran untuk bernegosiasi seputar pelucutan program misil dan nuklir. Melalui negosiasi ini diharapkan Iran bisa terhindar dari sanksi.
Namun Rouhani ogah berunding. Menurutnya, Trump tidak tulus dalam perundingan ini karena punya maksud-maksud terselubung.
"Jika Anda menusuk orang dengan pisau dan kemudian ingin mengajaknya bicara, maka hal pertama yang harus Anda lakukan adalah mencabut pisaunya. Kami selalu terbuka untuk diplomasi dan perundingan, tetapi itu butuh kejujuran. Ajakan Trump hanya untuk konsumsi domestik jelang pemilu dan menciptakan kekacauan di Iran," papar Rouhani dalam sebuah wawancara televisi yang dikutip Reuters.
Rouhani menambakan, saat ini AS sudah dikucilkan oleh dunia karena kebijakan ekonomi mereka yang proteksionistik. Hal itu akan semakin parah jika AS jadi memberikan sanksi kepada Iran.
"AS akan menyesal telah memberikan sanksi kepada kami. Mereka telah dikucilkan dalam pergaulan dunia, dan kini mereka akan memberikan sanksi kepada anak-anak kecil di Iran," kata Rouhani.
Sanksi kepada Iran yang sepertinya sudah di depan mata membuat harga minyak bergerak naik. Pada pukul 04:50 WIB, harga minyak jenis light sweet dan brent masing-masing naik 0,6%. Kekhawatiran berkurangnya pasokan minyak karena terputusnya pasokan dari Iran membuat harga si emas hitam terkerek ke atas.
Selain itu, kenaikan harga minyak juga disebabkan oleh penurunan pasokan dari Arab Saudi. Seorang sumber menyebutkan produksi minyak di Negeri Gurun Pasir pada Juli 2018 adalah 10,29 juta barel/hari. Jumlah ini turun 200.000 barel/hari dibandingkan bulan sebelumnya.
Kenaikan harga minyak bisa berdampak positif bagi IHSG. Saat harga minyak naik, emiten migas dan pertambangan akan lebih diapresiasi investor karena potensi kenaikan laba.
Namun, pelaku pasar juga harus mencermati sentimen keempat yaitu dolar AS yang masih perkasa. Pada pukul 04:56 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS relatif terhadap enam mata uang utama) menguat 0,24%.
Hantu penguatan dolar AS masih bergentayangan dan belum mau pulang. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index sudah menguat 0,89%. Sementara selama sebulan ke belakang penguatannya adalah 1,2% dan sejak awal tahun mencapai 3,3%.
Kali ini, penguatan greenback disokong oleh perang dagang. Investor menilai AS lebih bisa mengatasi perang dagang ketimbang China atau negara-negara berkembang lainnya.
Ini terlihat dari peranan ekspor yang tidak terlalu besar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Paman Sam. Ekspor hanya menyumbang sekitar 12% dari PDB Negeri Adidaya.
Sementara di China, kontribusi ekspor mencapai 20%. Itu yang membuat Negeri Tirai Bambu mati-matian mempertahankan kinerja ekspor mereka, termasuk dengan 'melemahkan' nilai tukar yuan.
Oleh karena itu, perang dagang mungkin saja tidak akan banyak mempengaruhi kinerja perekonomian AS dalam jangka pendek. Dalam jangka menengah-panjang, sentimen ini mungkin baru berpengaruh karena berdampak kepada investasi.
Selain itu, perang dagang juga positif bagi dolar AS karena pemberlakuan berbagai bea masuk pada akhirnya akan mengurangi impor. Penurunan impor berarti semakin sedikit devisa yang 'terbang' ke luar negeri. Dengan begitu, dolar AS akan semakin perkasa karena ditopang devisa yang lebih gemuk.
Ketika dolar AS terapresiasi, maka mata uang lain cenderung akan tertekan. Bisa saja rupiah menjadi salah satu korbannya. Saat rupiah melemah, investor (terutama asing) akan cenderung menghindari aset-aset berbasis mata uang ini karena ada potensi penurunan nilai pada kemudian hari. IHSG pun harus berhati-hati.
(aji/aji)
Sentimen kedua adalah perang dagang AS vs China yang masih dalam mode full throttle. Kali ini China yang membuat suasana memanas. Harian milik pemerintah China menegaskan bahwa kebijakan perdagangan Presiden AS Donald Trump merupakan serangan personal yang luar biasa.
"Trump telah membintangi drama dengan gaya petarung jalanan yang penuh kebohongan, pemerasan, dan intimidasi. Keinginan Trump agar pihak lain ikut dalam drama itu sia-sia belaka," tegas tulisan di halaman depan harian People's Daily, seperti dikutip Reuters.
Padahal, perang dagang berdampak buruk bagi China sendiri. AS adalah pasar ekspor terbesar China, sehingga ketika pasar itu sulit dimasuki maka dampaknya akan luar biasa. Akan banyak perusahaan yang merugi, bahkan mungkin terpaksa gulung tikar. Ketika aktivitas bisnis melambat, maka pertumbuhan ekonomi pun akan melandai.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan bahwa perang dagang akan membuat pertumbuhan ekonomi global pada 2020 berkurang 0,5%. Secara nominal, akan ada potensi yang hilang sebanyak US$ 500 miliar.
"Risiko dalam perang dagang adalah terhadap harga aset dan iklim investasi. Ini adalah risiko terbesar dalam jangka pendek," kata Maury Obstfeld, Kepala Ekonom IMF, mengutip Reuters.
Perkembangan perang dagang tentu masih harus membuat investor waspada. Dikhawatirkan kewaspadaan ini membuat pelaku pasar menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Bila ini sampai terjadi, maka IHSG akan sulit mengulangi pencapaian kemarin. Akankah Trump sang Street Fighter mewarnai laju IHSG?
Sentimen ketiga adalah perkembangan di Timur Tengah yang tidak kalah tegang. Presiden Iran Hassan Rouhani menolak ajakan AS untuk berunding.
Sebelumnya, Washington memang mengajak Iran untuk bernegosiasi seputar pelucutan program misil dan nuklir. Melalui negosiasi ini diharapkan Iran bisa terhindar dari sanksi.
Namun Rouhani ogah berunding. Menurutnya, Trump tidak tulus dalam perundingan ini karena punya maksud-maksud terselubung.
"Jika Anda menusuk orang dengan pisau dan kemudian ingin mengajaknya bicara, maka hal pertama yang harus Anda lakukan adalah mencabut pisaunya. Kami selalu terbuka untuk diplomasi dan perundingan, tetapi itu butuh kejujuran. Ajakan Trump hanya untuk konsumsi domestik jelang pemilu dan menciptakan kekacauan di Iran," papar Rouhani dalam sebuah wawancara televisi yang dikutip Reuters.
Rouhani menambakan, saat ini AS sudah dikucilkan oleh dunia karena kebijakan ekonomi mereka yang proteksionistik. Hal itu akan semakin parah jika AS jadi memberikan sanksi kepada Iran.
"AS akan menyesal telah memberikan sanksi kepada kami. Mereka telah dikucilkan dalam pergaulan dunia, dan kini mereka akan memberikan sanksi kepada anak-anak kecil di Iran," kata Rouhani.
Sanksi kepada Iran yang sepertinya sudah di depan mata membuat harga minyak bergerak naik. Pada pukul 04:50 WIB, harga minyak jenis light sweet dan brent masing-masing naik 0,6%. Kekhawatiran berkurangnya pasokan minyak karena terputusnya pasokan dari Iran membuat harga si emas hitam terkerek ke atas.
Selain itu, kenaikan harga minyak juga disebabkan oleh penurunan pasokan dari Arab Saudi. Seorang sumber menyebutkan produksi minyak di Negeri Gurun Pasir pada Juli 2018 adalah 10,29 juta barel/hari. Jumlah ini turun 200.000 barel/hari dibandingkan bulan sebelumnya.
Kenaikan harga minyak bisa berdampak positif bagi IHSG. Saat harga minyak naik, emiten migas dan pertambangan akan lebih diapresiasi investor karena potensi kenaikan laba.
Namun, pelaku pasar juga harus mencermati sentimen keempat yaitu dolar AS yang masih perkasa. Pada pukul 04:56 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS relatif terhadap enam mata uang utama) menguat 0,24%.
Hantu penguatan dolar AS masih bergentayangan dan belum mau pulang. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index sudah menguat 0,89%. Sementara selama sebulan ke belakang penguatannya adalah 1,2% dan sejak awal tahun mencapai 3,3%.
Kali ini, penguatan greenback disokong oleh perang dagang. Investor menilai AS lebih bisa mengatasi perang dagang ketimbang China atau negara-negara berkembang lainnya.
Ini terlihat dari peranan ekspor yang tidak terlalu besar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Paman Sam. Ekspor hanya menyumbang sekitar 12% dari PDB Negeri Adidaya.
Sementara di China, kontribusi ekspor mencapai 20%. Itu yang membuat Negeri Tirai Bambu mati-matian mempertahankan kinerja ekspor mereka, termasuk dengan 'melemahkan' nilai tukar yuan.
Oleh karena itu, perang dagang mungkin saja tidak akan banyak mempengaruhi kinerja perekonomian AS dalam jangka pendek. Dalam jangka menengah-panjang, sentimen ini mungkin baru berpengaruh karena berdampak kepada investasi.
Selain itu, perang dagang juga positif bagi dolar AS karena pemberlakuan berbagai bea masuk pada akhirnya akan mengurangi impor. Penurunan impor berarti semakin sedikit devisa yang 'terbang' ke luar negeri. Dengan begitu, dolar AS akan semakin perkasa karena ditopang devisa yang lebih gemuk.
Ketika dolar AS terapresiasi, maka mata uang lain cenderung akan tertekan. Bisa saja rupiah menjadi salah satu korbannya. Saat rupiah melemah, investor (terutama asing) akan cenderung menghindari aset-aset berbasis mata uang ini karena ada potensi penurunan nilai pada kemudian hari. IHSG pun harus berhati-hati.
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular