
Newsletter
Akankah Trump sang Street Fighter Pengaruhi IHSG?
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
07 August 2018 05:58

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat tajam pada perdagangan kemarin. Sentimen positif dari dalam negeri berhasil melambungkan IHSG di tengah tren koreksi bursa saham Asia.
Kemarin, IHSG ditutup menguat 1,56% sementara bursa saham utama Asia cenderung melemah. Indeks Nikkei 225 turun 0,08%, Shanghai Composite terpangkas 1,26%, Kospi melemah 0,05%, Straits Times terkoreksi 0,6%, SET (Thailand) terpeleset 0,93%, dan KLCI (Malaysia) minus 0,02%.
Laju IHSG dimotori oleh rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal-II 2018 yang di atas ekspektasi. Sepanjang kuartal-II, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,27% secara tahunan (year-on-year/YoY), mengalahkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,125% YoY. Capaian ini juga mengalahkan posisi kuartal-I 2018 yang sebesar 5,06% YoY dan posisi kuartal-II 2017 yang sebesar 5,01% YoY.
Saham-saham emiten perbankan, utamanya yang masuk dalam kategori BUKU IV, menjadi primadona bagi investor. BBNI naik 3,8%, BNGA naik 2,5%, BBRI naik 2,4%, BBCA naik 1,49%, dan BMRI naik 1,39%. Seiring kenaikan harga saham emiten-emiten perbankan, sektor jasa keuangan melesat hingga 1,73%, menjadikannya kontributor utama bagi penguatan IHSG.
Ketika ekonomi tumbuh kencang, bank-bank di Tanah Air memang menjadi salah satu pihak yang paling diuntungkan, lantaran ada potensi meningkatnya penyaluran kredit. Hal tersebut lantas mengobati kekecewaan investor terhadap penyaluran kredit yang relatif mengecewakan sepanjang semester-I 2018.
Misalnya, pada paruh pertama 2018 total penyaluran kredit BMRI tercatat sebesar Rp 762,5 triliun, naik 11,8% dibandingkan posisi periode yang sama tahun lalu. Sementara pada paruh pertama 2017, penyaluran kredit tumbuh sebesar 11,65% YoY. Ini artinya, pertumbuhan penyaluran kredit hanya naik tipis.
Sementara itu, penyaluran kredit BBNI hanya mampu tumbuh 11,1% YoY sepanjang paruh pertama 2018. Jauh lebih rendah dari capaian di paruh pertama 2017 yang sebesar 15,4% YoY.
Data pertumbuhan ekonomi juga direspons positif di pasar valuta asing. Hingga akhir perdagangan kemarin, rupiah menguat 0,17% terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Di sisi lain, sentimen negatif sebenarnya berbondong-bondong datang bagi bursa saham kawasan Asia. Pertama, langkah People's Bank of China (PBoC) untuk meredam pelemahan yuan yang tidak direspons positif oleh pelaku pasar. Pada akhir pekan lalu, Bank Sentral China tersebut mengumumkan pemberlakuan kembali kebijakan Giro Wajib Minimum (GWM) 20% bagi bank-bank yang menjual dolar AS kepada nasabahnya menggunakan kontrak forward. Akibatnya, biaya untuk melakukan short terhadap yuan menjadi lebih mahal.
Kebijakan ini kali pertama diadopsi pada Oktober 2015. Kala itu, yuan terdepresiasi besar-besaran selepas PBoC dengan sengaja mendevaluasinya. Namun, pada perdagangan kemarin yuan justru melemah 0,18% di pasar spot. Sementara di pasar offshore, yuan melemah 0,14%.
Kedua, perang dagang antara AS dengan China yang semakin memanas juga memberikan tekanan. Teranyar, pemerintah China berencana mengenakan bea masuk baru bagi importasi produk AS senilai US$ 60 miliar produk AS. Tindakan ini sebagai balasan atas rencana pemerintah AS yang menargetkan bea masuk kepada US$ 200 miliar produk China. Mengutip Reuters, bea masuk yang akan diterapkan China mencakup gas alam cair hingga pesawat.
Ketiga, sentimen negatif datang dari hubungan AS-Korea Utara yang kembali tak kondusif. Laporan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB) menyebutkan Korea Utara masih belum menghentikan program nuklir mereka. Satelit mata-mata AS juga merekam aktivitas pengembangan misil balistik yang masih berlangsung. Pyongyang pun ditengarai masih menjual senjata secara ilegal ke luar negeri.
Berbagai sentimen negatif tersebut membuat bursa saham utama Asia cenderung berakhir di teritori negatif. IHSG bisa selamat, bahkan melesat, berkat rilis data pertumbuhan ekonomi.
Kemarin, IHSG ditutup menguat 1,56% sementara bursa saham utama Asia cenderung melemah. Indeks Nikkei 225 turun 0,08%, Shanghai Composite terpangkas 1,26%, Kospi melemah 0,05%, Straits Times terkoreksi 0,6%, SET (Thailand) terpeleset 0,93%, dan KLCI (Malaysia) minus 0,02%.
Laju IHSG dimotori oleh rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal-II 2018 yang di atas ekspektasi. Sepanjang kuartal-II, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,27% secara tahunan (year-on-year/YoY), mengalahkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,125% YoY. Capaian ini juga mengalahkan posisi kuartal-I 2018 yang sebesar 5,06% YoY dan posisi kuartal-II 2017 yang sebesar 5,01% YoY.
Saham-saham emiten perbankan, utamanya yang masuk dalam kategori BUKU IV, menjadi primadona bagi investor. BBNI naik 3,8%, BNGA naik 2,5%, BBRI naik 2,4%, BBCA naik 1,49%, dan BMRI naik 1,39%. Seiring kenaikan harga saham emiten-emiten perbankan, sektor jasa keuangan melesat hingga 1,73%, menjadikannya kontributor utama bagi penguatan IHSG.
Ketika ekonomi tumbuh kencang, bank-bank di Tanah Air memang menjadi salah satu pihak yang paling diuntungkan, lantaran ada potensi meningkatnya penyaluran kredit. Hal tersebut lantas mengobati kekecewaan investor terhadap penyaluran kredit yang relatif mengecewakan sepanjang semester-I 2018.
Misalnya, pada paruh pertama 2018 total penyaluran kredit BMRI tercatat sebesar Rp 762,5 triliun, naik 11,8% dibandingkan posisi periode yang sama tahun lalu. Sementara pada paruh pertama 2017, penyaluran kredit tumbuh sebesar 11,65% YoY. Ini artinya, pertumbuhan penyaluran kredit hanya naik tipis.
Sementara itu, penyaluran kredit BBNI hanya mampu tumbuh 11,1% YoY sepanjang paruh pertama 2018. Jauh lebih rendah dari capaian di paruh pertama 2017 yang sebesar 15,4% YoY.
Data pertumbuhan ekonomi juga direspons positif di pasar valuta asing. Hingga akhir perdagangan kemarin, rupiah menguat 0,17% terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Di sisi lain, sentimen negatif sebenarnya berbondong-bondong datang bagi bursa saham kawasan Asia. Pertama, langkah People's Bank of China (PBoC) untuk meredam pelemahan yuan yang tidak direspons positif oleh pelaku pasar. Pada akhir pekan lalu, Bank Sentral China tersebut mengumumkan pemberlakuan kembali kebijakan Giro Wajib Minimum (GWM) 20% bagi bank-bank yang menjual dolar AS kepada nasabahnya menggunakan kontrak forward. Akibatnya, biaya untuk melakukan short terhadap yuan menjadi lebih mahal.
Kebijakan ini kali pertama diadopsi pada Oktober 2015. Kala itu, yuan terdepresiasi besar-besaran selepas PBoC dengan sengaja mendevaluasinya. Namun, pada perdagangan kemarin yuan justru melemah 0,18% di pasar spot. Sementara di pasar offshore, yuan melemah 0,14%.
Kedua, perang dagang antara AS dengan China yang semakin memanas juga memberikan tekanan. Teranyar, pemerintah China berencana mengenakan bea masuk baru bagi importasi produk AS senilai US$ 60 miliar produk AS. Tindakan ini sebagai balasan atas rencana pemerintah AS yang menargetkan bea masuk kepada US$ 200 miliar produk China. Mengutip Reuters, bea masuk yang akan diterapkan China mencakup gas alam cair hingga pesawat.
Ketiga, sentimen negatif datang dari hubungan AS-Korea Utara yang kembali tak kondusif. Laporan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB) menyebutkan Korea Utara masih belum menghentikan program nuklir mereka. Satelit mata-mata AS juga merekam aktivitas pengembangan misil balistik yang masih berlangsung. Pyongyang pun ditengarai masih menjual senjata secara ilegal ke luar negeri.
Berbagai sentimen negatif tersebut membuat bursa saham utama Asia cenderung berakhir di teritori negatif. IHSG bisa selamat, bahkan melesat, berkat rilis data pertumbuhan ekonomi.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular