Newsletter

IHSG Dikepung Perang Dagang Sampai Pertumbuhan Ekonomi

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 August 2018 05:20
Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (1)
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang positif baik pada akhir pekan lalu maupun perdagangan seminggu terakhir. Diharapkan kinerja Wall Street mampu menular ke bursa saham Asia, termasuk Indonesia. 

Sentimen kedua adalah perang dagang. Seperti diketahui, China bersiap mengenakan bea masuk baru bagi importasi produk AS senilai US$ 60 miliar. Akan ada 5.207 produk yang akan dibebankan bea masuk 5-25%. Pemberlakuan kebijakan ini tergantung langkah AS. 

"AS telah berulang kali meningkatkan tensi yang bertentangan dengan kepentingan dunia usaha dan konsumen. China harus mengambil langkah yang diperlukan untuk mempertahankan martabat dan kepentingan rakyat, perdagangan bebas, serta sistem multilateral," sebut pernyataan Kementerian Perdagangan China. 

Washington tidak gentar menghadapi ancaman Beijing. "Mereka (China) sebaiknya tidak meremehkan Presiden (Trump). Dia akan bertahan," tegas Kudlow. 

AS diperkirakan semakin keras terhadap China mengingat defisit perdagangan mereka yang kian melebar. Pada Juni 2018, neraca perdagangan AS membukukan defisit US$ 46,3 miliar. Angka itu naik 7,3% dan merupakan peningkatan terbesar sejak November 2016. Ditambah lagi defisit perdagangan AS dengan China naik 0,9% menjadi US$ 33,5 miliar.  

Perkembangan perang dagang yang memburuk dikhawatirkan membuat investor memilih bermain aman dan meninggalkan instrumen berisiko di negara-negara berkembang. Bursa saham Asia bisa kehilangan daya tarik sehingga ada kemungkinan untuk kembali berkubang di teritori negatif. Tentu bukan kondisi ideal bagi IHSG. 

Sentimen ketiga, masih dari eksternal, adalah hubungan AS-Korea Utara yang kembali tegang. Relasi kedua negara ini sempat mesra usai pertemuan Presiden Trump dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Singapura pada Juni lalu. Mereka menyepakati berbagai hal, salah satunya adalah upaya denuklirisasi di Semenanjung Korea. 

Namun laporan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB) menyebutkan Korea Utara masih belum menghentikan program nuklir mereka. Satelit mata-mata AS juga merekam aktivitas pengembangan misil balistik yang masih berlangsung. Pyongyang pun ditengarai masih menjual senjata secara ilegal ke luar negeri. 

"Pemimpin Kim sudah berkomitmen untuk melakukan denuklirisasi. Namun mereka bertindak inkonsisten dengan komitmen itu," tegas Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS, dikutip dari Reuters. 

Pyongyang tidak terima dengan segala tuduhan tersebut. Ri Yong Ho, Menteri Luar Negeri Korea Utara, menegaskan negaranya berkomitmen penuh untuk memenuhi perjanjian yang tercapai di Singapura. Bahkan Ri menyebut AS yang mengada-ada dan ingin kembali ke hubungan yang tegang seperti dulu. 

"Republik Rakyat Demokratik Korea menegaskan determinasi dan komitmen untuk melaksanakan kesepakatan dengan AS dengan itikad baik. Namun yang mengkhawatirkan adalah langkah AS yang seakan kembali ke hubungan seperti masa lalu, jauh dari apa yang diharapkan pemimpin kedua negara," tukas Ri, mengutip Reuters. 

Apabila tensi ini tereskalasi, maka bisa menjadi sentimen negatif di pasar keuangan. Aura damai di Semenanjung Korea bisa kembali memudar dan satu ketidakpastian besar akan kembali. Ketidakpastian itu bernama instabilitas geopolitik Semenanjung Korea yang bisa kapan saja berujung ke konflik bersenjata. Sesuatu yang tentu sangat tidak kita inginkan.  

Keempat, masih dari luar negeri, adalah kemungkinan berlanjutnya keperkasaan dolar AS. Mata uang ini memang sudah keterlaluan, terus-menerus menguat seakan tanpa henti. 

Dollar Index (yang mengukur dolar AS di hadapan enam mata uang utama), menguat 0,89% dalam sepekan terakhir. Selama 3 bulan ke belakang, penguatannya mencapai 2,6% dan sejak awal tahun sudah naik 3,3%. 

Untuk hari ini, potensi apresiasi greenback bisa berasal dari data ketenagakerjaan AS. Angka pengangguran periode Juli 2018 tercatat sebesar 3,9% atau turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 4%. 

Penciptaan lapangan kerja naik 157.000. Sementara jumlah orang yang ingin mencari kerja tetapi tidak mendapatkannya atau yang bekerja paruh waktu karena tidak bisa menemukan pekerjaan penuh waktu turun 0,3 poin persentase menjadi 7,5%, terendah sejak Maret 2001. Kemudian gaji per jam rata-rata naik 0,3% secara bulanan dan 2,7% secara tahunan.  

Data-data ketenagakerjaan yang lumayan bagus ini bisa membuat The Fed kian yakin bahwa AS membutuhkan kenaikan suku bunga acuan yang lebih agresif. Kemungkinan kenaikan suku bunga acuan empat kali sepanjang 2018 semakin besar. 

Ditopang potensi kenaikan suku bunga acuan, dolar AS tentu mendapat obat kuat. Kenaikan suku bunga akan memancing arus modal berdatangan ke AS, sehingga menopang apresiasi kurs.  

Penguatan dolar AS tentunya akan menekan mata uang lain, termasuk rupiah. Ketika rupiah berpotensi melemah, maka investor (terutama asing) akan menghindar karena tidak ingin nilai investasinya turun. Ini tentu semakin membuat IHSG berisiko terjebak di zona merah. 

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular