
Newsletter
IHSG Dikepung Perang Dagang Sampai Pertumbuhan Ekonomi
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 August 2018 05:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah tipis pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu. Namun sepanjang pekan, IHSG masih mampu mencatatkan performa positif.
Akhir pekan lalu, IHSG ditutup melemah tipis 0,07%. Sementara selama sepekan, IHSG masih surplus 0,31%.
Nasib IHSG jauh lebih baik ketimbang bursa saham utama kawasan yang 'terjun bebas'. Secara mingguan, indeks Shanghai Composite amblas 4,63%, Hang Seng jatuh 3,92%, Nikkei 225 terkoreksi 0,82%, Kospi turun 0,32%, dan indeks Strait Times terpangkas 1,78%.
Sentimen negatif dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS)-China menghantui bursa regional. Di tengah tekanan yang terus datang dari pihak AS, China tidak menunjukkan sikap gentar.
"Kami menyarankan AS memperbaiki sikap mereka dan tidak lagi melakukan pemerasan. Itu tidak akan berhasil," tegas Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, dikutip dari Reuters.
Teranyar, pemerintah China berencana mengenakan bea masuk baru bagi importasi produk AS senilai US$ 60 miliar produk AS. Tindakan ini sebagai balasan atas rencana pemerintah AS yang menargetkan bea masuk kepada US$ 200 miliar produk China. Mengutip Reuters, bea masuk yang akan diterapkan China mencakup gas alam cair hingga pesawat.
Washington malah menggertak balik dengan menyebut mendapat dukungan dari Uni Eropa dan Meksiko untuk membentuk koalisi melawan China. "Kami datang bersama dengan Uni Eropa untuk membuat kesepakatan dengan mereka, jadi kami akan memiliki front persatuan melawan China. Kami juga bergerak mendekati Meksiko," ujar Lawrence 'Larry' Kudlow, kepala Dewan Ekonomi Nasional Gedung Putih.
Bahkan, Presiden AS Donald Trump sudah mengklaim bahwa AS sudah memenangkan perang dagang dengan Negeri Tirai Bambu. "Kita menang, tapi harus kuat," tulis mantan taipan properti itu di serangkaian cuitan di Twitter.
Trump juga menuliskan bahwa pasar saham China telah jatuh 27% dalam 4 bulan terakhir, dibandingkan dengan ekonomi AS yang terus menguat. Kemudian, eks pembawa acara The Apprentice itu juga mengklaim bahwa bea masuk yang diterapkan pemerintahannya telah mendorong pembukaan kembali pabrik baja di AS.
Sebagai informasi, pasar saham China memang telah kehilangan status sebagai bursa terbesar kedua di dunia setelah posisinya digeser oleh Jepang, kali pertama dalam 4 tahun terakhir. Bursa saham China telah kehilangan kapitalisasi US$ 2,29 triliun sejak Januari 2018, akibat kekhawatiran investor terkait perang dagang, bertambahnya tumpukan utang, dan pertumbuhan ekonomi yang melambat.
Akibat dari semakin meruncingnya tensi perang dagang antar dua raksasa ekonomi dunia tersebut, investor lantas cenderung bermain defensif dan melepas aset-asetnya di instrumen berisiko seperti saham. Alhasil, bursa regional pun mendapat tekanan yang besar pada perdagangan seminggu terakhir.
Sentimen negatif lainnya datang dari The Federal Reserve/The Fed yang menyuarakan nada optimistis mengenai prospek perekonomian AS, meski mempertahankan suku bunga acuan di 1,75%-2% pada pertemuan pekan lalu.
"Pembukaan lapangan kerja begitu besar, angka pengangguran bertahan di tingkat rendah. Konsumsi rumah tangga dan dunia usaha pun tumbuh dengan kuat," sebut pernyataan The Fed.
Pelaku pasar semakin yakin bahwa bank sentral AS akan menaikkan suku bunga dua kali lagi sampai akhir tahun. Menurut CME Fedwatch, kemungkinan kenaikan Federal Funds Rate pada September mencapai 93,6%. Suku bunga acuan diperkirakan kembali naik pada Desember, dengan probabilitas 66,7%.
Kenaikan suku bunga acuan dilakukan dengan tujuan meredam ekspektasi inflasi. Dengan begitu, AS akan terhindar dari overheating.
Namun perkembangan ini lagi-lagi membuat aliran modal tersedot ke AS. Sedangkan Asia hanya kebagian remah-remah, sehingga pasar keuangan Benua Kuning pun terjebak di zona merah.
Akhir pekan lalu, IHSG ditutup melemah tipis 0,07%. Sementara selama sepekan, IHSG masih surplus 0,31%.
Nasib IHSG jauh lebih baik ketimbang bursa saham utama kawasan yang 'terjun bebas'. Secara mingguan, indeks Shanghai Composite amblas 4,63%, Hang Seng jatuh 3,92%, Nikkei 225 terkoreksi 0,82%, Kospi turun 0,32%, dan indeks Strait Times terpangkas 1,78%.
Sentimen negatif dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS)-China menghantui bursa regional. Di tengah tekanan yang terus datang dari pihak AS, China tidak menunjukkan sikap gentar.
"Kami menyarankan AS memperbaiki sikap mereka dan tidak lagi melakukan pemerasan. Itu tidak akan berhasil," tegas Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, dikutip dari Reuters.
Teranyar, pemerintah China berencana mengenakan bea masuk baru bagi importasi produk AS senilai US$ 60 miliar produk AS. Tindakan ini sebagai balasan atas rencana pemerintah AS yang menargetkan bea masuk kepada US$ 200 miliar produk China. Mengutip Reuters, bea masuk yang akan diterapkan China mencakup gas alam cair hingga pesawat.
Washington malah menggertak balik dengan menyebut mendapat dukungan dari Uni Eropa dan Meksiko untuk membentuk koalisi melawan China. "Kami datang bersama dengan Uni Eropa untuk membuat kesepakatan dengan mereka, jadi kami akan memiliki front persatuan melawan China. Kami juga bergerak mendekati Meksiko," ujar Lawrence 'Larry' Kudlow, kepala Dewan Ekonomi Nasional Gedung Putih.
Bahkan, Presiden AS Donald Trump sudah mengklaim bahwa AS sudah memenangkan perang dagang dengan Negeri Tirai Bambu. "Kita menang, tapi harus kuat," tulis mantan taipan properti itu di serangkaian cuitan di Twitter.
Trump juga menuliskan bahwa pasar saham China telah jatuh 27% dalam 4 bulan terakhir, dibandingkan dengan ekonomi AS yang terus menguat. Kemudian, eks pembawa acara The Apprentice itu juga mengklaim bahwa bea masuk yang diterapkan pemerintahannya telah mendorong pembukaan kembali pabrik baja di AS.
Sebagai informasi, pasar saham China memang telah kehilangan status sebagai bursa terbesar kedua di dunia setelah posisinya digeser oleh Jepang, kali pertama dalam 4 tahun terakhir. Bursa saham China telah kehilangan kapitalisasi US$ 2,29 triliun sejak Januari 2018, akibat kekhawatiran investor terkait perang dagang, bertambahnya tumpukan utang, dan pertumbuhan ekonomi yang melambat.
Akibat dari semakin meruncingnya tensi perang dagang antar dua raksasa ekonomi dunia tersebut, investor lantas cenderung bermain defensif dan melepas aset-asetnya di instrumen berisiko seperti saham. Alhasil, bursa regional pun mendapat tekanan yang besar pada perdagangan seminggu terakhir.
Sentimen negatif lainnya datang dari The Federal Reserve/The Fed yang menyuarakan nada optimistis mengenai prospek perekonomian AS, meski mempertahankan suku bunga acuan di 1,75%-2% pada pertemuan pekan lalu.
"Pembukaan lapangan kerja begitu besar, angka pengangguran bertahan di tingkat rendah. Konsumsi rumah tangga dan dunia usaha pun tumbuh dengan kuat," sebut pernyataan The Fed.
Pelaku pasar semakin yakin bahwa bank sentral AS akan menaikkan suku bunga dua kali lagi sampai akhir tahun. Menurut CME Fedwatch, kemungkinan kenaikan Federal Funds Rate pada September mencapai 93,6%. Suku bunga acuan diperkirakan kembali naik pada Desember, dengan probabilitas 66,7%.
Kenaikan suku bunga acuan dilakukan dengan tujuan meredam ekspektasi inflasi. Dengan begitu, AS akan terhindar dari overheating.
Namun perkembangan ini lagi-lagi membuat aliran modal tersedot ke AS. Sedangkan Asia hanya kebagian remah-remah, sehingga pasar keuangan Benua Kuning pun terjebak di zona merah.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular