Update Polling CNBC Indonesia

Konsensus Pasar: Kuartal II, Ekonomi RI Diramal Tumbuh 5,125%

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 August 2018 13:22
Ekonomi Indonesia Masih Berisiko
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Meski demikian, pelaku pasar memperingatkan bahwa Indonesia tidak boleh terlena. Pasalnya, masih ada risiko yang bisa menjadi pemberat bagi laju pertumbuhan ekonomi nasional. 

Katrina Ell, Ekonom Moody's Analytics, menilai pengetatan moneter oleh Bank Indonesia (BI) akan menjadi faktor yang membebani konsumsi rumah tangga. Sejak pertengahan Mei, BI telah menaikkan suku bunga acuan cukup agresif, sampai 100 basis poin. 

"Pengetatan moneter yang agresif oleh BI bisa menjadi penghambat konsumsi rumah tangga yang sebenarnya belum pulih benar. Kami memperkirakan konsumsi rumah tangga pada kuartal II-2018 masih tumbuh di bawah 5% yaitu di 4,7%," kata Ell. 

Oleh karena itu, Ell menilai target pertumbuhan ekonomi 5,4% dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 cukup jauh dari jangkauan. Saat konsumsi rumah tangga terkendala, pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan akan terhambat.

Hal yang sama pun disoroti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI). Untuk kuartal II-2018, LPEM FEB UI memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 5,1-5,1% sementara pertumbuhan keseluruhan 2018 di kisaran 5,2-5,3%. 

"Namun pertumbuhan konsumsi yang rendah, yakni masih di bawah 5%, menggambarkan kewaspadaan rumah tangga terhadap fluktuasi pendapatan dan risiko eksternal meskipun inflasi masih sangat rendah dan terkendali. Pemerintah dan bank sentral sebenarnya ingin mendorong pertumbuhan dengan melonggarkan kebijakan moneter dan menambah konsumsi pemerintah. Namun, kondisi fiskal, neraca transaksi berjalan, dan arus modal saat ini tidak mendukung kebijakan yang bersifat ekspansif. Hal ini terlihat dari keputusan bank sentral sudah meningkatkan suku bunga acuan sebesar 100 bps dan janji pemerintah untuk menunda beberapa proyek infrastruktur demi menahan defisit transaksi berjalan," papar kajian LPEM FEB UI. 

Risiko bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, lanjut riset LPEM FEB UI, paling besar berasal dari faktor eksternal yaitu perang dagang dan pengetatan kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS). Perang dagang dapat menimbulan risiko turunnya pertumbuhan ekonomi kedua negara-negara mitra dagang Indonesia, yang dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi Indonesia dan memperburuk defisit transaksi berjalan. 

"Kemudian, kenaikan Federal Funds rate yang lebih cepat telah menciptakan ketidakpastian di pasar negara berkembang, meskipun dalam beberapa minggu terakhir fluktuasi di pasar sudah dapat diredam dan arus modal sudah kembali masuk ke negara berkembang," sebut riset LPEM FEB UI.

Sementara itu, Ekonom Danareksa Research Institute Damhuri Nasution menyoroti belanja pemerintah yang belum optimal. Hingga semester I-2018, belanja negara baru terserap 38,39%. Meski secara nominal ada kenaikan, tetapi persentasenya turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu di mana belanja negara sudah mencapai 42,9%. 

"Konsumsi rumah tangga diperkirakan sedikit membaik. Namun di sisi lain, konsumsi pemerintah tampaknya belum mengalami perbaikan yang signifikan," tutur Damhuri. 

(aji/wed)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular