Newsletter

DMO Batu Bara Samar-samar, Obat Kuat IHSG Pudar?

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
31 July 2018 05:19
DMO Batu Bara Samar-samar, Obat Kuat IHSG Pudar?
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu menguat pada perdagangan awal pekan ini. Sentimen domestik yaitu pencabutan pewajiban pemenuhan pasokan dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) batu bara menjadi obat kuat yang mujarab buat IHSG. 

Kemarin, IHSG ditutup menguat 0,65%. Penguatan IHSG terjadi kala bursa saham utama Asia ditutup di zona merah. Indeks Nikkei 225 turun 0,74%, Shanghai Composite melemah 0,12%, Hang Seng minus 0,25%, Kospi defisit 0,06%, dan Straits Times berkurang 0,54%. 

Laju IHSG tertolong oleh pencabutan kebijakan DMO batu bara. Kewajiban DMO sebelumnya mengatur tiap-tiap produsen batu bara untuk mengalokasikan 25% dari produksinya untuk dijual kepada PT PLN (Persero) dengan harga yang sudah diatur pemerintah. 

Nantinya, kebijakan DMO akan digantikan dengan skema ekspor yang serupa dengan kelapa sawit yakni dikenakan bea keluar. Penerimaan dari bea keluar ini yang kemudian akan difungsikan sebagai cadangan dana untuk memberikan subsidi kepada PLN. 

Seiring dengan pencabutan DMO, saham-saham emiten batu bara melesat naik seperti HRUM (+10,2%), INDY (+8,78%), ADRO (+6,36%), BYAN (+4.97%), dan ITMG (+3,45%). Indeks sektor pertambangan pun menguat hingga 2,72%, menjadikannya kontributor utama bagi penguatan IHSG. 

Penghapusan DMO memang sebelumnya kami proyeksi akan berdampak positif bagi emiten-emiten batu bara. Pasalnya, para emiten jadi bisa menikmati harga batu bara dengan standar global yang saat ini sedang tinggi-tingginya, dibandingkan harus menjual batu bara ke PLN dengan harga US$ 70/ton.  

Sepanjang 2018, harga batu bara acuan Newcastle telah menguat hingga 18,95% dan menyentuh titik tertingginya sejak awal 2012 yaitu US$ 119,9/metrik ton. Apalagi, prospek harga batu bara masih cukup menarik, disokong oleh menguatnya permintaan dari China.  

Pada musim semi yang baru saja berakhir, suhu udara ternyata lebih panas dari biasanya. Pembangkit listrik bertenaga batu bara mau tidak mau harus menggenjot produksi listriknya seiring naiknya tingkat penggunaan pendingin ruangan di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai. 


Efek samping lainnya dari peencabutan DMO adalah penguatan nilai tukar rupiah. Sampai akhir perdagangan, rupiah menguat 0,07% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di pasar spot.  

Pencabutan DMO akan membuat ekspor Indonesia meningkat sehingga aliran devisa lebih banyak masuk dan menopang fundamental rupiah. Ketika ditopang devisa ekspor, penguatan rupiah bisa lebih stabil ketimbang saat disokong aliran modal portofolio alias hot money. 


Dari Wall Street, tiga indeks utama lagi-lagi harus menelan pil pahit dengan berakhir di zona merah. Dow Jones Industrial Index (DJIA) ditutup minus 0,57%, S&P 500 juga melemah 0,57%, dan Nasdaq anjlok 1,42%. Indeks Nasdaq melemah di kisaran 1% selama 3 hari beruntun, pertama dalam 3 tahun terakhir. 

Sama seperti perdagangan akhir pekan lalu, amblasnya saham-saham teknologi masih menjadi penyebab koreksi massal di Wall Street. Saham Microsoft turun 2,15%, Facebook minus 2,19%, Amazon anjlok 2,09%, Alphabet (induk usaha Google) melemah 1,82%, Netflix jatuh 5,7%, dan Apple terkoreksi 0,56%. 

Sepertinya aksi ambil untung besar-besaran telah melanda saham-saham teknologi. Pasalnya, saham-saham ini telah menguat lumayan signifikan. Indeks sektor teknologi dan informasi di S&P 500 sudah masih menguat 14,11% sejak awal tahun meski sudah terjadi koreksi yang cukup dalam selama beberapa hari terakhir. 

"Ada perputaran uang yang begitu besar di saham-saham teknologi. Sekarang uang itu sedang keluar ke tempat lain," ujar Wayne Kaufman, Chief Market Analyst di Phoenix Financial Services yang berbasis di New York, seperti dikutip Reuters. 

Meski begitu, masih ada harapan bagi Wall Street untuk menguat yaitu dari laporan keuangan kuartal II-2018. Dari 270 emiten yang sudah menyampaikan kinerja, 82,6% mampu melampaui ekspektasi pasar. Oleh karena itu, konsensus pasar yang dihimpun Reuters menaikkan proyeksi rata-rata pertumbuhan laba bersih emiten dari 20,7% menjadi 22,6%. 


Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama adalah tentunya koreksi yang terjadi di Wall Street. Biasanya dinamika di Wall Street akan memberi warna kepada bursa saham Asia, tidak terkecuali Indonesia. Hari ini Wall Street ditutup merah, sehingga Asia perlu waspada. 

Sentimen kedua, masih dari AS, investor juga perlu memonitor dampak pengumuman pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam pada kuartal II-2018. Akhir pekan lalu, Kementerian Perdagangan AS melaporkan ekonomi AS tumbuh dalam laju meyakinkan yaitu 4,1% pada pembacaan awal. 

Presiden AS Donald Trump sesumbar bahwa pertumbuhan ekonomi Negeri Adidaya ke depan bisa lebih baik lagi. Hal ini didukung oleh pengurangan tarif pajak korporasi sehingga memungkinkan perusahaan-perusahaan untuk melakukan ekspansi. Selain itu, AS juga telah mencapai sejumlah kesepakatan perdagangan meski untuk itu harus 'menginjak kaki' terlebih dulu. 

"Kita akan mencapai level yang jauh lebih tinggi. Seiring dengan tercapainya kesepakatan dagang satu demi satu, kita akan mencapai level yang jauh lebih tinggi daripada angka-angka ini," terang Trump, dikutip dari Reuters. 

Senada dengan sang presiden, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin juga menyuarakan optimismenya. Mantan bankir Goldman Sachs ini mengungkapkan bahwa dirinya percaya percepatan pertumbuhan ekonomi pada kuartal-II 2018 akan berlanjut hingga beberapa tahun mendatang. 

"Saya tak berpikir bahwa ini adalah fenomena 1-2 tahun. Saya rasa kita benar-benar ada di periode 4-5 tahun dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil setidaknya di level 3%," papar Mnuchin dalam wawancara dengan Fox News Sunday, seperti dikutip dari Reuters. 

Kencangnya laju perekonomian AS lantas membuat persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan oleh The Federal Reserve/The Fed yang lebih agresif kembali mengemuka. Kemungkinan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan empat kali sepanjang 2018 kian besar. 

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Funds Futures, terdapat 67,1% kemungkinan bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan ke level 2,25-2,5% (empat kali kenaikan sepanjang 2018) sampai dengan akhir tahun. Padahal, seminggu lalu probabilitasnya masih 55,7%. Sedangkan, probabilitas bahwa suku bunga acuan akan berada di level 2%-2,25% (tiga kali kenaikan sepanjang 2018) turun drastis menjadi 26,4% dari yang sebelumnya 34,1% pada minggu lalu. 

Bagi instrumen berisiko seperti saham, hal tersebut tentu bukan kabar baik. Namun bagi dolar AS, ini adalah berita bahagia. Apalagi The Fed akan mengadakan pertemuan bulanan untuk menentukan suku bunga acuan pada Kamis pekan ini waktu Indonesia.

Pasar masih memperkirakan The Fed menahan suku bunga acuan di 1,75-2% dengan probabilitas 97% menurut CME Fedwatch. Namun, pasar ingin memantau arah kebijakan moneter The Fed ke depan. Investor ingin mendapat kepastian apakah The Fed masih akan cenderung hawkish dengan menaikkan suku bunga acuan dua kali lagi sampai akhir tahun.

Dolar AS akan semakin mendapat suntikan energi jika hasil rapat Bank Sentral Jepang (BoJ) sesuai perkiraan. Pelaku pasar memperkirakan BoJ masih akan menahan suku bunga acuan di -0,1% karena inflasi yang masih 'jinak'. Dolar AS tentunya akan semakin menarik karena Jepang masih berkutat di suku bunga negatif. 

Jika rupiah sampai melemah, maka ini bukan berita bagus bagi IHSG. Saat rupiah melemah, membeli aset dalam mata uang ini menjadi kurang menarik karena prospeknya turun. Kala investor (terutama asing) menghindar untuk masuk ke pasar, maka IHSG akan terancam. 


Sentimen ketiga yang perlu dicermati adalah harga minyak. Pada pukul 04:24 WIB, harga minyak jenis brent naik 0,83% dan light sweet melonjak 2,04%. Kenaikan harga minyak bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG, karena saham-saham pertambangan dan energi akan lebih diapresiasi. 

Kenaikan harga si emas hitam masih disebabkan oleh kekhawatiran pelaku pasar soal hambatan pasokan. Arab Saudi masih menghentikan pengiriman minyak melalui Selat Bab al-Mandeb karena serangan terhadap dua kapal mereka oleh pemberontak Houthi yang dekat dengan Iran. 

Ngomong-ngomong soal Iran, sanksi yang semakin dekat ke Negeri Persia juga menjadi penyebab kenaikan harga minyak. Rencananya AS akan mulai mengenakan sanksi ekonomi kepada Iran pada November, atas tuduhan pengayaan uranium. Pasokan minyak dari Iran ke pasar dunia tentunya akan merosot jika sanksi benar-benar diterapkan. 

Namun ada perkembangan yang menarik mengenai Iran. Setelah sebelumnya galak, Trump kini mulai melunak dalam menghadapi negara tersebut. Eks pembawa acara reality show The Apprentice itu menyatakan bersedia untuk bertemu dengan Presiden Iran Hassan Rouhani untuk membahas perbaikan hubungan kedua negara. 

"Kalau mereka ingin bertemu, kami akan bertemu. Saya akan bertemu dengan siapa saja, saya percaya dengan pertemuan terutama jika pertaruhannya adalah perang. Saya tentu akan bertemu dengan Iran jika mereka memang mau. Tanpa syarat," tegas Trump, dikutip dari Reuters. 

Apabila pertemuan Trump dan Rouhani sampai terjadi dan hasilnya positif, maka kekhawatiran terhadap sanksi dan berkurangnya pasokan minyak dari Iran bisa mereda. Harga minyak pun bisa terkoreksi karena pasokan yang memadai. 


Sentimen keempat adalah dari dalam negeri yaitu terkait DMO batu bara. Jika kemarin DMO batu bara berhasil membuat IHSG dan rupiah menjadi yang terbaik di Asia, maka hari ini bisa jadi ceritanya berbeda. 

Optimisme investor yang melambung ke langit terpaksa harus terhempas ke tanah usai perkembangan terbaru soal DMO. Ada dua perkembangan penting. 

Pertama adalah kemungkinan DMO batu bara bukan dicabut, tetapi dikurangi kadarnya. Selama ini, kewajiban pemenuhan pasokan dalam negeri adalah rata-rata 25% dari total produksi. Rosan Roslani, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, yang ikut dalam rapat pembahasan DMO mengungkapkan bahwa ke depan bisa saja opsi yang dipilih adalah mengurangi DMO menjadi kurang dari 25%. 


Kedua adalah kebijakan DMO (apapun yang dipilih) kemungkinan baru berlaku tahun depan, bukan sekarang atau dalam waktu dekat. Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Kemaritiman, menyebutkan kebijakan ini butuh pembahasan mendalam.  

"Jadi, kita mau lihat peluang berapa besar uang yang bisa kita dapat dari sini karena kita butuh ekspor. Ini kita lagi hitung. Kalaupun jadi, paling tahun depan baru bisa karena butuh sosialisasi, aturan-aturan. Kita hitung dulu, berapa banyak dampaknya pada penerimaan negara," papar Luhut. 


Kebijakan DMO batu bara yang masih samar-samar berpeluang membuat investor pikir-pikir untuk kembali masuk ke pasar keuangan Indonesia. Jika sampai arus modal yang masuk berkurang, maka IHSG maupun rupiah pada perdagangan hari ini kemungkinan sulit melanjutkan pencapaian kemarin.

Mungkinkah IHSG kembali menguat? Kalau mungkin ya mungkin saja. Namun sepertinya kemungkinannya agak kecil.

Obat kuat berupa DMO batu bara bisa jadi habis pada hari ini. Wall Street 'merah'. IHSG pun sudah menguat 3,94% sejak awal Juli sehingga potensi ambil untung (profit taking) sangat terbuka. Dolar AS kemungkinan masih akan menguat jelang rapat The Fed.

Sepertinya butuh keberuntungan yang luar biasa besar kalau ingin IHSG bisa hijau hari ini...


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data indeks manufaktur PMI China periode Juli 2018 (08.00 WIB).
  • Rilis data indeks non-manufaktur PMI China periode Juli 2018 (08.00 WIB).
  • Rilis suku bunga acuan dan pernyataan kebijakan moneter Bank of Japan (tentatif).
  • Rilis data penjualan ritel Jerman periode Juni 2018 (13:00 WIB).
  • Rilis data pembacaan awal inflasi Zona Euro periode Juli 2018 (16:00 WIB).
  • Rilis data pendahuluan pertumbuhan ekonomi Zona Euro kuartal II-2018 (16:00 WIB).
  • Rilis data Indeks Harga Personal Consumption Expenditure (PCE) atau pengeluaran pribadi AS periode Juni 2018 (19:30 WIB).
  • Rilis data indeks PMI Chicago periode Juli 2018 (20:45 WIB).
  • Rilis data Keyakinan Konsumen AS versi The Conference Board periode Juli 2018 (21:00 WIB).
Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Astra International Tbk (ASII)Earnings Presentation13:00
PT XL Axiata Tbk (EXCL)Rilis Laporan Keuangan Semester 1 2018-
PT Bank Mayapada Internasional Tbk (MAYA)RUPSLB14:00
PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM)Rilis Laporan Keuangan Semester 1 2018-
PT Vale Indonesia Tbk (INCO)Earnings Call15:00
PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP)Rilis Laporan Keuangan Semester 1 2018Setelah Penutupan Perdagangan

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2018 YoY)5.06%
Inflasi (Juni 2018 YoY)3.12%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q I-2018)-2.15% PDB
Neraca pembayaran (Q I-2018)-US$ 3.85 miliar
Cadangan devisa (Juni 2018)US$ 119.8 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Perang Dagang Tinggal Tunggu Waktu, Sanggupkah IHSG-Rupiah Bertahan?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular