Newsletter

Cermati Dampak 'Operasi' Penyelamatan Rupiah

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
27 July 2018 06:15
Cermati Dampak 'Operasi' Penyelamatan Rupiah
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,21% pada perdagangan kemarin. Penguatan IHSG terjadi kala bursa saham utama kawasan Asia bergerak mixed. 

Pada perdagangan kemarin, nilai transaksi di Bursa Efek Indonesia tercatat Rp 8,28 triliun dengan volume 11,69 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 410.632 kali. 

Sempat menguat hingga 0,57%, isu perang investasi yang tiba-tiba mencuat membuat IHSG tak bisa menguat banyak. Perusahaan produsen semikondutor asal Amerika Serikat (AS) Qualcomm kemungkinan gagal untuk mengakuisisi NXP Semiconductors, seiring dengan pemerintah China yang tak memberikan izin. 

Qualcomm memerlukan persetujuan dari sembilan regulator di berbagai negara, termasuk China, untuk bisa mengakuisisi NXP. Persetujuan pihak China dibutuhkan lantaran China berkontribusi sebesar hampir dua pertiga dari pendapatan Qualcomm tahun lalu. 

Sebelumnya, Qualcomm mengatakan bahwa pihaknya akan menarik tawaran akuisisi senilai US$ 44 miliar bagi NXP kecuali mendapatkan izin pada menit-menit akhir. Tenggat waktu bagi Qualcomm untuk mengakuisisi NXP adalah pada Rabu tengah malam waktu AS, di mana batas waktu tersebut akhirnya dilewati tanpa ada penerbitan izin oleh pemerintah China.  

Jika terjadi, akuisisi ini sejatinya akan menjadi akuisisi perusahaan semikonduktor terbesar yang pernah ada sepanjang sejarah. Kini, Qualcomm justru akan membayar sebesar US$ 2 miliar kepada NXP karena gagalnya akuisisi.  

Tak hanya Qualcomm, langkah ekspansi Facebook juga diganjal oleh pemerintah China. Negara pimpinan Presiden Xi Jinping tersebut telah menarik persetujuan bagi Facebook untuk mendirikan anak usaha di Zhejiang, seperti dilaporkan oleh New York Times yang dikutip dari Reuters. 

Data dari pemerintah China menunjukkan bahwa sebelumnya Facebook telah mendapat persetujuan untuk menjalankan rencananya tersebut. Namun, berdasarkan penelusuran oleh Reuters, data mengenai persetujuan tersebut kini telah hilang. 

Di sisi lain, sentimen positif datang dari pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Uni Eropa Jean-Claude Juncker. Usai melakukan pertemuan kemarin, Trump dan Juncker sepakat untuk menurunkan hambatan tarif dan non-tarif di bidang perdagangan.   

"Kami sepakat bekerja bersama untuk menuju tarif nol, tidak adanya non-tariff barrier, dan tidak ada subsidi bagi produk-produk non otomotif. Kami juga akan meningkatkan perdagangan di bidang jasa, farmasi, produk-produk kesehatan, juga kedelai," ungkap Trump dalam konferensi pers di Gedung Putih, seperti dikutip dari Reuters.  

Sentimen-sentimen tersebut membuat bursa saham Asia ditutup variatif. Indeks Nikkei 225 turun 0,12%, Shanghai Composite melemah 0,71%, Hang Seng terkoreksi 0,48%, Kospi menguat 0,71%, dan Straits Times bertambah 0,05%. 

Dari Wall Street, tiga indeks utama mencatatkan kinerja variatif. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,44%, sedangkan S&P 500 turun 0,3%, dan Nasdaq anjlok 1,44%. Nasdaq yang didominasi saham-saham teknologi amblas cukup dalam karena koreksi saham Facebook yang mencapai 18,96%. 

Kinerja Facebook yang kurang meyakinkan menjadi penyebab koreksi tersebut. Pada kuartal II-2018, pendapatan Facebook memang tumbuh 41,9% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun itu adalah laju pertumbuhan paling lambat dalam hampir 3 tahun terakhir. 

Jumlah pengguna Facebook juga tidak setinggi ekspektasi pasar. Rata-rata pengguna aktif dalam sebulan adalah 2,2 miliar, di bawah ekspektasi pasar yaitu 2,3 miliar, 

Laporan keuangan lain yang juga mengecewakan adalah dari McDonald's. Pendapatan raksasa burger itu turun 12% ke US$ 5,35% pada kuartal II-2018. 

Namun saham-saham sektor industri melesat sehingga DJIA masih mampu mengakhiri hari di zona hijau. Penyebabnya tentu adalah kesepakatan Trump-Juncker yang memberikan angin surga. 

Saham Caterpillar, yang sebelumnya kerap terkoreksi karena isu perang dagang, naik 1,49%. Saham Boeing juga naik 0,96%. 

Semenatara kegagalan Qualcomm dalam akuisisi justru membuat sahamnya melonjak 7% karena perusahaan bisa berhemat US$ 44 miliar. Sementara NXP yang tidak jadi diakuisisi malah anjlok 5,71%. 

DJIA dan S&P 500 juga sedikit terbantu karena kenaikan saham-saham energi. Saham Exxon Mobil naik 0,78% dan ConocoPhillips menguat 0,4% yang disebabkan kenaikan harga minyak dunia. 


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan Wall Street yang cenderung negatif. Namun isu di Wall Street sepertinya lebih ke faktor internal yaitu kinerja emiten, sehingga koreksi di sana diharapkan tidak menular ke Asia, termasuk Indonesia. 

Kedua adalah ada potensi dolar AS akan menguat kembali. Ini ditunjukkan oleh Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback relatif terhadap enam mata uang utama) yang menguat hingga 0,45% pada pukul 05:08 WIB. Penguatan dolar AS didorong oleh data-data ekonomi Negeri Paman Sam yang terus positif.

Kementerian Perdagangan AS melaporkan bahwa pemesanan untuk barang modal non- pertahanan (minus pesawat terbang) meningkat 0,6% pada Juni 2018 secara bulanan (month-to-month/MtM). Sedangkan secara tahunan (year-on-year/YoY), terjadi pertumbuhan sebesar 6,8%. 

Sebagai informasi, indikator ini umumnya disebut pemesanan barang modal inti, dan digunakan untuk mengukur rencana pengeluaran dunia usaha. Capaian Juni mampu mengungguli konsensus yang dihimpun Reuters sebesar 0,4% MtM. 

Sementara data pengiriman barang modal inti naik 1% MtM pada bulan lalu setelah pada Mei 2018 hanya naik 0,2% MtM. Pengiriman barang modal inti umumnya digunakan untuk menghitung pengeluaran peralatan perusahaan di Produk Domestik Bruto (PDB) AS.  

Pengeluaran perusahaan untuk peralatan sudah meningkat sejak kuartal IV-2016. Dengan peningkatan bulan lalu, pelaku pasar lantas mengekspektasikan hal ini dapat menyuntikkan energi positif bagi pertumbuhan ekonomi AS, bersamaan dengan pengeluaran konsumen dan ekspor yang kuat.  

Berdasarkan survei yang dilakukan Reuters, pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan sebesar 4,1% YoY pada periode April-Juni 2018. Pertumbuhan itu jauh melampaui capaian di kuartal I-2018 sebesar 2% YoY. Pemerintah AS akan mengumumkan pembacaan pertama pertumbuhan ekonomi AS di kuartal lalu pada malam ini pukul 19.30 WIB. 

Dengan melihat pergerakan ekonomi AS yang masih positif, dampak perang dagang nampaknya masih minimal, setidaknya untuk saat ini. Potensi kenaikan suku bunga acuan sebanyak empat kali oleh The Federal Reserve/The Fed pun masih terbuka lebar. 

Kenaikan suku bunga akan berdampak positif terhadap mata uang, karena dapat menjangkar ekspektasi inflasi sehingga nilai mata uang terjaga. Hal ini dapat menjadi bahan bakar bagi penguatan dolar AS dan menekan mata uang lain, termasuk rupiah. 

Namun di sisi lain, ada data kurang sedap yang bisa menjadi risiko bagi greenback. Jumlah warga AS yang mengajukan tunjangan pengangguran meningkat 9.000 orang ke 217.000 pada pekan lalu, seperti dilaporkan oleh Kementerian Tenaga Kerja AS. Jumlah itu lebih tinggi dari ekspektasi pasar yaitu 215.000. Jumlah tersebut juga naik dari capaian periode sebelumnya yaitu 208.000, yang merupakan level terendah sejak Desember 1969.

Data klaim pengangguran di Negeri Adidaya memang cenderung masih bergejolak, didorong oleh perusahaan kendaraan bermotor yang menutup pabriknya untuk pemasangan alat baru (retooling). 


Sentimen ketiga adalah Bank Sentral Uni Eropa (ECB) yang masih menahan suku bunga acuan refinancing rate sebesar 0%. Ini sesuai dengan ekspektasi pasar. 

ECB juga tidak memberikan kejutan dalam rapat bulan ini. Dalam pernyataannya, ECB juga masih seperti rencana awal yaitu mulai mengurangi stimulus moneter dari 30 miliar euro/bulan menjadi 15 miliar euro/bulan mulai September mendatang. Stimulus ini akan berakhir pada Desember. 

"Kami memperkirakan suku bunga acuan tetap pada level yang sekarang setidaknya sampai musim panas (tengah tahun) 2019. Bahkan mungkin terus dipertahankan jika memang dibutuhkan untuk memastikan inflasi yang berkelanjutan di kisaran 2% dalam jangka menengah," sebut pernyataan ECB. 

ECB yang tidak memberikan kejutan bisa mengurangi risiko di pasar. Kemarin, mata uang euro sempat menguat karena investor menantikan petunjuk-petunjuk baru dari ECB. Penguatan euro membuat mata uang Asia (termasuk rupiah) tertekan, padahal dolar AS sedang melemah. 

Sentimen keempat adalah harga minyak yang sedang naik. Pada pukul 05:34 WIB, harga minyak jenis light sweet naik 0,33% dan brent naik 0,53%. Kenaikan harga minyak terbukti mampu menahan laju koreksi DJIA dan S&P 500 sehingga diharapkan juga dapat menyokong IHSG. 

Setidaknya ada dua penyebab kenaikan harga si emas hitam. Pertama adalah penurunan tensi perang dagang AS-Eropa yang dapat meningkatkan arus perdagangan dan tentunya pertumbuhan ekonomi.  

Percepatan laju pertumbuhan ekonomi pasti membutuhkan lebih banyak energi. Semakin banyak permintaan akan mengerek harga ke atas. 

Faktor kedua adalah gangguan pengiriman minyak dari Arab Saudi. Telah terjadi penyerangan terhadap dua kapal Arab Saudi yang melalui Selat Bab al-Mandeb. Pelakunya disinyalir adalah kelompok Houthi yang dekat dengan Iran. 

Perkembangan ini membuat Arab Saudi menghentikan sementara pengiriman minyak yang melalui rute tersebut. Akibatnya, terjadi gangguan pasokan karena sebagian minyak yang akan dikirim ke Eropa, AS, dan Asia melewati Selat Bab al-Mandeb. 

Kenaikan harga minyak (jika bertahan) bisa menjadi katalis bagi penguatan IHSG. Emiten migas dan pertambangan akan lebih diapresiasi kala harga minyak sedang di atas. 


Sementara dari dalam negeri, sentimen yang bisa mempengaruhi pasar adalah rencana pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menunda proyek-proyek infrastruktur non-prioritas. Langkah ini ditempuh untuk mengurangi beban impor yang menyebabkan tekanan terhadap rupiah.  

"Proyek infrastruktur yang besar-besar dan tidak mendesak akan ditunda untuk mengerem impor," ungkap Ahmad Erani Yustika, Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi.

Saham-saham infrastruktur dan industri terkaitnya seperti baja dan semen bisa terpengaruh dengan rencana ini. Permintaan akan turun sehingga laba akan tergerus. Bukan berita baik bagi investor. 

Selain itu, berkurangnya proyek infrastruktur pemerintah juga bisa menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Hal itu tentu menjadi kabar buruk bagi pelaku pasar, dan bisa memunculkan respons berlebihan.

Namun langkah ini dipandang perlu dilakukan mengingat prioritas pemerintah dan Bank Indonesia (BI) saat ini adalah menjaga stabilitas rupiah. Sejak awal tahun, rupiah sudah melemah 6,2% terhadap dolar AS. 

BI sudah menaikkan suku bunga 100 basis poin dalam 3 bulan untuk memancing masuknya arus modal asing sehingga bisa menjadi pijakan penguatan rupiah. Kini mungkin sudah saatnya pemerintah berkontribusi terhadap upaya penyelamatan rupiah, salah satunya dengan mengurangi beban impor akibat proyek-proyek infrastruktur. 

Investor perlu mencermati bagaimana dampak 'operasi' penyelamatan rupiah ini terhadap pasar keuangan, khususnya bursa saham. Apakah pasar akan merespons positif karena rupiah memang perlu dijaga? Atau justru respons negatif yang keluar karena potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi?


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Jumpa pers usai pertemuan Komite Stabilitas Sektor Keuangan/KSSK (14:00 WIB).
  • Pembacaan pertama pertumbuhan ekonomi AS kuartal II-2018 (19:30 WIB).
  • Rilis revisi data sentimen konsumen AS versi University of Michigan periode Juli 2018 (21:00 WIB).
Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Apexindo Pratama Duta Tbk (APEX)RUPS Tahunan10:00
PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA)RUPS Tahunan14:00

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2018 YoY)5.06%
Inflasi (Juni 2018 YoY)3.12%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q I-2018)-2.15% PDB
Neraca pembayaran (Q I-2018)-US$ 3.85 miliar
Cadangan devisa (Juni 2018)US$ 119.8 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular