
Newsletter
Keuntungan Begitu Menggoda, Selanjutnya Terserah Anda
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
12 July 2018 05:54

Investor juga perlu mencermati harga minyak, di mana harga jenis brent anjlok nyaris 6% pada pukul 04:44 WIB. Penyebabnya adalah euforia pelaku pasar karena ada rencana pelabuhan-pelabuhan utama di Libya akan dibuka kembali.
Produksi minyak di Libya turun 50% dalam lima bulan terakhir menjadi hanya 527.000 barel/hari. Penyebabnya adalah ditutupnya dua pelabuhan utama yaitu Ras Lanuf dan Es Sider yang dikuasai kelompok separatis Libyan National Army (LNA).
Kini, pelabuhan itu siap dibuka kembali. Investor pun berharap pasokan minyak dari Libya akan pulih. Kenaikan pasokan berarti harga akan bergerak turun.
Selain itu, koreksi harga minyak juga disebabkan oleh perang dagang. Investor khawatir perang dagang akan mengancam arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global. Kala perdagangan seret dan pertumbuhan ekonomi loyo, maka permintaan energi tentu berkurang. Penurunan permintaan akan menghasilkan penurunan harga.
Koreksi harga minyak bisa menjadi sentimen negatif bagi IHSG. Emiten migas dan pertimbangan kurang diapresiasi kala harga minyak sedang turun.
Dari dalam negeri, konsumsi masyarakat Indonesia lagi-lagi menunjukkan indikasi pemulihan. Penjualan ritel Indonesia tercatat naik 8,3% secara YoY pada Mei 2018. Lebih baik ketimbang pencapaian bulan sebelumnya yaitu 4,1% YoY.
Realisasi penjualan ini juga cukup jauh dari perkiraan Bank Indonesia (BI). Dalam laporan bulan sebelumnya, BI memperkirakan penjualan ritel hanya tumbuh 4,4% YoY pada bulan Mei.
Dibandingkan Mei 2017, pertumbuhan tahun ini jauh lebih baik. Pada Mei 2017, penjualan ritel hanya tumbuh 4,3%.
Tahun lalu, penjualan ritel memang agak tertekan. Ini tidak lepas dari perlambatan konsumsi masyarakat, utamanya karena kenaikan tarif listrik yang bisa lebih dari dua kali lipat.
Sementara untuk penjualan ritel Juni 2018, BI memperkirakan ada pertumbuhan 6,8%. Tetap tumbuh tetapi melambat dibandingkan bulan Mei. Namun, lebih baik ketimbang Juni 2017 yang tumbuh 6,3% YoY.
Ini bisa menjadi angin segar bagi saham-saham sektor barang konsumsi dan yang terkait dengan konsumsi masyarakat. Mulai dari manufaktur sampai perbankan. Ujungnya, bisa membantu IHSG secara keseluruhan.
Namun, IHSG juga dibayangi oleh risiko ambil untung (profit taking). Sejak awal pekan, IHSG telah menguat signifikan yaitu lebih dari 3%. Pada Juli saja, IHSG sudah menguat 1,62%.
Angka-angka ini bisa menggoda investor untuk mencairkan keuntungan. Kala profit taking marak, maka IHSG bisa terdorong ke teritori negatif. Keputusan sepenuhnya ada di investor, apakah masih ingin mengakumulasi keuntungan atau mencairkannya sekarang.
(aji/aji)
Produksi minyak di Libya turun 50% dalam lima bulan terakhir menjadi hanya 527.000 barel/hari. Penyebabnya adalah ditutupnya dua pelabuhan utama yaitu Ras Lanuf dan Es Sider yang dikuasai kelompok separatis Libyan National Army (LNA).
Kini, pelabuhan itu siap dibuka kembali. Investor pun berharap pasokan minyak dari Libya akan pulih. Kenaikan pasokan berarti harga akan bergerak turun.
Selain itu, koreksi harga minyak juga disebabkan oleh perang dagang. Investor khawatir perang dagang akan mengancam arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global. Kala perdagangan seret dan pertumbuhan ekonomi loyo, maka permintaan energi tentu berkurang. Penurunan permintaan akan menghasilkan penurunan harga.
Koreksi harga minyak bisa menjadi sentimen negatif bagi IHSG. Emiten migas dan pertimbangan kurang diapresiasi kala harga minyak sedang turun.
Dari dalam negeri, konsumsi masyarakat Indonesia lagi-lagi menunjukkan indikasi pemulihan. Penjualan ritel Indonesia tercatat naik 8,3% secara YoY pada Mei 2018. Lebih baik ketimbang pencapaian bulan sebelumnya yaitu 4,1% YoY.
Realisasi penjualan ini juga cukup jauh dari perkiraan Bank Indonesia (BI). Dalam laporan bulan sebelumnya, BI memperkirakan penjualan ritel hanya tumbuh 4,4% YoY pada bulan Mei.
Dibandingkan Mei 2017, pertumbuhan tahun ini jauh lebih baik. Pada Mei 2017, penjualan ritel hanya tumbuh 4,3%.
Tahun lalu, penjualan ritel memang agak tertekan. Ini tidak lepas dari perlambatan konsumsi masyarakat, utamanya karena kenaikan tarif listrik yang bisa lebih dari dua kali lipat.
Sementara untuk penjualan ritel Juni 2018, BI memperkirakan ada pertumbuhan 6,8%. Tetap tumbuh tetapi melambat dibandingkan bulan Mei. Namun, lebih baik ketimbang Juni 2017 yang tumbuh 6,3% YoY.
Ini bisa menjadi angin segar bagi saham-saham sektor barang konsumsi dan yang terkait dengan konsumsi masyarakat. Mulai dari manufaktur sampai perbankan. Ujungnya, bisa membantu IHSG secara keseluruhan.
Namun, IHSG juga dibayangi oleh risiko ambil untung (profit taking). Sejak awal pekan, IHSG telah menguat signifikan yaitu lebih dari 3%. Pada Juli saja, IHSG sudah menguat 1,62%.
Angka-angka ini bisa menggoda investor untuk mencairkan keuntungan. Kala profit taking marak, maka IHSG bisa terdorong ke teritori negatif. Keputusan sepenuhnya ada di investor, apakah masih ingin mengakumulasi keuntungan atau mencairkannya sekarang.
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Most Popular