
Newsletter
IHSG di Antara Perang Dagang, Harga Minyak, dan Rupiah
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
04 July 2018 05:34

Namun ada harapan bagi IHSG untuk bisa rebound. Pertama adalah harga minyak yang naik disokong oleh data terbaru cadangan di AS.
American Petroleum Institute (API) melaporkan cadangan minyak pada pekan yang berakhir 29 Juni sebesar 416,9 juta barel atau turun 4,5 juta barel dibandingkan pekan sebelumnya. Penurunan ini lebih tajam dibandingkan konsensus pasar yaitu 3,5 juta barel.
Salah satu penyebab merosotnya cadangan minyak AS adalah pasokan dari Kanada. Fasilitas minyak milik Syncrude mengalami kerusakan dan harus diperbaiki sehingga menurunkan pasokan sebanyak 350.000 barel/hari. Fasilitas ini diperkirakan baru mulai beroperasi kembali selepas Juli.
Selain itu, harga minyak juga terkerek ke atas setelah hadirnya ancaman dari Iran. Presiden Hassan Rouhani menegaskan Negeri Persia tidak segan untuk menganggu pengiriman minyak dari negara-negara tetangganya. Ancaman ini menyusul rencana AS untuk mengajak berbagai negara berhenti membeli minyak dari Iran.
"AS mengklaim mereka akan menghentikan ekspor minyak Iran. Tidak mungkin Iran tidak bisa mengekspor sementara negara lain di kawasan ini tetap bisa mengekspor. Mengasumsikan Iran menjadi satu-satunya produsen minyak yang tidak bisa mengekspor adalah sebuah kesalahan. AS tidak akan bisa menghambat pendapatan Iran dari minyak," papar Rouhani dalam sebuah video di situs kepresidenan seperti dikutip Reuters.
Sejumlah pejabat teras di Iran sebelumnya mengancam akan memblokade Selat Hormuz jika AS masih bertindak semena-mena. Selat Hormuz merupakan salah satu rute pengiriman utama.
Dua perkembangan ini memicu persepsi bahwa pasokan minyak dunia akan seret. Ketika pasokan berkurang, maka lumrah jika harga naik.
Kenaikan harga minyak bisa berdampak positif bagi IHSG. Sebab, emiten migas dan pertambangan akan lebih diapresiasi investor saat hanya minyak naik.
Harapan berikutnya adalah perkembangan nilai tukar dolar AS. Setelah sempat garang, greenback mulai limbung jelang penutupan perdagangan kemarin akibat diterpa aksi ambil untung (profit taking).
Saat ini, tekanan terhadap dolar AS masih berlanjut. Pada pukul 04:44 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama) terkoreksi cukup dalam yaitu 0,47% ke 94,584.
Profit taking terhadap dolar AS sepertinya masih terjadi. Maklum, Dollar Index sudah menguat 4,86% dalam tiga bulan terakhir. Reli penguatan dolar AS suatu saat pasti terhenti karena investor ingin mencairkan keuntungannya, dan itu sepertinya sedang berlangsung.
Bila dolar AS masih tertekan, maka ada harapan bagi mata uang Asia untuk membalikkan keadaan, termasuk rupiah. Ada kemungkinan rupiah kembali menguat saat dolar AS sedang konsolidasi, sehingga membuat berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah menjadi menguntungkan karena nilainya naik. IHSG pun bisa menerima berkahnya.
Namun dari dalam negeri, ada risiko besar yang menghantui rupiah. Risiko tersebut berasal dari kebijakan pemerintah yang akan menaikkan subsidi bahan bakar solar dari Rp 500/liter menjadi Rp 1.500.2.000/liter.
Kala subsidi naik, maka harga tidak akan naik bahkan ada kemungkinan turun. Ini membuat konsumsi solar meningkat sehingga impor pun membengkak.
Sebagai informasi, neraca perdagangan migas Indonesia periode Januari-Mei 2018 mencatat defisit yang besar yaitu US$ 5,03 miliar. Jika impor migas naik, maka defisit ini akan semakin dalam.
Tingginya kebutuhan impor migas tentu akan mempengaruhi arus devisa dalam negeri. Akan semakin banyak devisa yang melayang ke luar negeri untuk mengimpor migas sehingga pasokannya di dalam negeri menjadi terkuras. Hasilnya tentu adalah rupiah akan semakin rentan terhadap depresiasi.
Potensi depresiasi rupiah akibat pembengkakan impor migas bisa menjadi salah satu risiko bagi pasar keuangan Indonesia, termasuk di bursa saham. Oleh karena itu, investor tetap perlu waspada dan mencermati pergerakan nilai tukar rupiah.
Sementara dari eksternal, ada pula potensi dolar AS kembali menguat. Sentimen positif bagi greenback bisa datang dari rilis data terbaru di Negeri Adidaya.
Pemesanan untuk barang-barang buatan AS naik 0,4% secara bulanan, melebihi ekspektasi pasar yaitu 0,1%. Sementara secara tahunan, pertumbuhannya mencapai 8,7%.
Data ini menunjukkan bahwa perekonomian AS terus membaik. Artinya, persepsi bahwa The Fed akan semakin agresif dalam menaikkan suku bunga acuan bisa datang lagi. Persepsi ini seringkali menjadi obat kuat yang cespleng bagi dolar AS sehingga menekan berbagai mata uang, termasuk rupiah.
(aji/aji)
American Petroleum Institute (API) melaporkan cadangan minyak pada pekan yang berakhir 29 Juni sebesar 416,9 juta barel atau turun 4,5 juta barel dibandingkan pekan sebelumnya. Penurunan ini lebih tajam dibandingkan konsensus pasar yaitu 3,5 juta barel.
Salah satu penyebab merosotnya cadangan minyak AS adalah pasokan dari Kanada. Fasilitas minyak milik Syncrude mengalami kerusakan dan harus diperbaiki sehingga menurunkan pasokan sebanyak 350.000 barel/hari. Fasilitas ini diperkirakan baru mulai beroperasi kembali selepas Juli.
Selain itu, harga minyak juga terkerek ke atas setelah hadirnya ancaman dari Iran. Presiden Hassan Rouhani menegaskan Negeri Persia tidak segan untuk menganggu pengiriman minyak dari negara-negara tetangganya. Ancaman ini menyusul rencana AS untuk mengajak berbagai negara berhenti membeli minyak dari Iran.
"AS mengklaim mereka akan menghentikan ekspor minyak Iran. Tidak mungkin Iran tidak bisa mengekspor sementara negara lain di kawasan ini tetap bisa mengekspor. Mengasumsikan Iran menjadi satu-satunya produsen minyak yang tidak bisa mengekspor adalah sebuah kesalahan. AS tidak akan bisa menghambat pendapatan Iran dari minyak," papar Rouhani dalam sebuah video di situs kepresidenan seperti dikutip Reuters.
Sejumlah pejabat teras di Iran sebelumnya mengancam akan memblokade Selat Hormuz jika AS masih bertindak semena-mena. Selat Hormuz merupakan salah satu rute pengiriman utama.
Dua perkembangan ini memicu persepsi bahwa pasokan minyak dunia akan seret. Ketika pasokan berkurang, maka lumrah jika harga naik.
Kenaikan harga minyak bisa berdampak positif bagi IHSG. Sebab, emiten migas dan pertambangan akan lebih diapresiasi investor saat hanya minyak naik.
Harapan berikutnya adalah perkembangan nilai tukar dolar AS. Setelah sempat garang, greenback mulai limbung jelang penutupan perdagangan kemarin akibat diterpa aksi ambil untung (profit taking).
Saat ini, tekanan terhadap dolar AS masih berlanjut. Pada pukul 04:44 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama) terkoreksi cukup dalam yaitu 0,47% ke 94,584.
Profit taking terhadap dolar AS sepertinya masih terjadi. Maklum, Dollar Index sudah menguat 4,86% dalam tiga bulan terakhir. Reli penguatan dolar AS suatu saat pasti terhenti karena investor ingin mencairkan keuntungannya, dan itu sepertinya sedang berlangsung.
Bila dolar AS masih tertekan, maka ada harapan bagi mata uang Asia untuk membalikkan keadaan, termasuk rupiah. Ada kemungkinan rupiah kembali menguat saat dolar AS sedang konsolidasi, sehingga membuat berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah menjadi menguntungkan karena nilainya naik. IHSG pun bisa menerima berkahnya.
Namun dari dalam negeri, ada risiko besar yang menghantui rupiah. Risiko tersebut berasal dari kebijakan pemerintah yang akan menaikkan subsidi bahan bakar solar dari Rp 500/liter menjadi Rp 1.500.2.000/liter.
Kala subsidi naik, maka harga tidak akan naik bahkan ada kemungkinan turun. Ini membuat konsumsi solar meningkat sehingga impor pun membengkak.
Sebagai informasi, neraca perdagangan migas Indonesia periode Januari-Mei 2018 mencatat defisit yang besar yaitu US$ 5,03 miliar. Jika impor migas naik, maka defisit ini akan semakin dalam.
Tingginya kebutuhan impor migas tentu akan mempengaruhi arus devisa dalam negeri. Akan semakin banyak devisa yang melayang ke luar negeri untuk mengimpor migas sehingga pasokannya di dalam negeri menjadi terkuras. Hasilnya tentu adalah rupiah akan semakin rentan terhadap depresiasi.
Potensi depresiasi rupiah akibat pembengkakan impor migas bisa menjadi salah satu risiko bagi pasar keuangan Indonesia, termasuk di bursa saham. Oleh karena itu, investor tetap perlu waspada dan mencermati pergerakan nilai tukar rupiah.
Sementara dari eksternal, ada pula potensi dolar AS kembali menguat. Sentimen positif bagi greenback bisa datang dari rilis data terbaru di Negeri Adidaya.
Pemesanan untuk barang-barang buatan AS naik 0,4% secara bulanan, melebihi ekspektasi pasar yaitu 0,1%. Sementara secara tahunan, pertumbuhannya mencapai 8,7%.
Data ini menunjukkan bahwa perekonomian AS terus membaik. Artinya, persepsi bahwa The Fed akan semakin agresif dalam menaikkan suku bunga acuan bisa datang lagi. Persepsi ini seringkali menjadi obat kuat yang cespleng bagi dolar AS sehingga menekan berbagai mata uang, termasuk rupiah.
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular