
Newsletter
Berharap Stimulus BI Berlanjut Sambil Pantau Data Inflasi
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
02 July 2018 05:28

Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Dari dalam negeri, kenaikan suku bunga acuan diharapkan masih membawa efek lanjutan. Kebijakan ini baru diumumkan jelang akhir penutupan pasar akhir pekan lalu, sehingga kemungkinan dampaknya masih bisa berlanjut hari ini.
Tidak hanya menaikkan bunga acuan, BI juga melonggarkan aturan uang muka atau besaran pembiayaan bank (Loan to Value/LTV) untuk kredit properti. Nantinya, untuk pembelian rumah pertama bisa tanpa uang muka alias 0%.
Stimulus LTV bisa memberikan rangsangan untuk permintaan properti, sehingga sektor ini bisa tumbuh. Sektor properti merupakan sektor yang menggerakkan sektor-sektor lainnya, mulai dari manufaktur sampai perbankan. Oleh karena itu, kehadiran relaksasi LTV bisa menjadi sentimen positif di pasar.
Namun, kenaikan suku bunga acuan dan pelonggaran LTV bisa pula dilihat dari sisi negatif. Kenaikan suku bunga acuan dilakukan saat perekonomian Indonesia sebenarnya masih butuh dorongan. Pada kuartal I-2018, pertumbuhan ekonomi nasional hanya 5,07%.
Ketika suku bunga acuan naik, maka biaya dana perbankan akan naik dan pada akhirnya menaikkan suku bunga kredit. Jika suku bunga kredit naik, maka dampaknya adalah mengerem ekspansi usaha, konsumsi masyarakat, dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Sementara pelonggaran LTV sepertinya dilakukan pada momentum yang kurang tepat, yaitu kenaikan suku bunga. Walau uang muka properti bakal turun (bahkan bisa 0%), tetapi kalau bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) kemungkinan besar akan naik seiring kenaikan suku bunga acuan. Hal ini bisa menyebabkan dua risiko.
Risiko pertama adalah permintaan properti tidak akan naik walau LTV dilonggarkan, karena bagaimanapun bunga kredit juga naik. Masyarakat akan tetap berpikir berulang kali untuk mengambil kredit properti, meski uang mukanya rendah.
Risiko kedua adalah masyarakat memaksakan diri mengambil KPR karena tergiur uang muka rendah. Namun saat masuk ke tahap cicilan, akhirnya menyerah karena bunga yang mencekik. Artinya, ke depan bisa muncul risiko kredit bermasalah alias Non Performing Loan (NPL).
Masih dari dalam negeri, investor juga patut memonitor rilis data inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data inflasi Juni 2018 pada pukul 11:00 WIB.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi secara month-to-month (MtM) sebesar 0,51%. Sementara secara year-on-year (YoY) terjadi inflasi 2,97%. Kemudian inflasi inti atau core inflation secara YoY diramal 2,78%.
Sebagai informasi, BPS melaporkan pada Mei terjadi inflasi 0,21%. Ini membuat inflasi secara YoY menjadi 3,23% dan inflasi ini YoY adalah 2,75%.
Secara bulanan, percepatan laju inflasi pada Juni disebabkan oleh momentum Idul Fitri. Tahun ini, Idul Fitri jatuh pada 15 Juni sehingga saat itu dan beberapa waktu sebelumnya terjadi puncak konsumsi masyarakat. Tekanan permintaan membuat harga terkerek ke atas.
Sementara secara tahunan, terjadi perlambatan laju inflasi karena tahun lalu Idul Fitri ditetapkan pada 25 Juni. Oleh karena itu, momentum Ramadan-Idul Fitri nyaris terjadi pada bulan yang sama yaitu Juni sehingga saat itu inflasi relatif tinggi.
Bila data inflasi sejalan dengan konsensus, maka bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. Sebab di satu sisi terjadi percepatan laju inflasi tetapi tidak terlalu kencang. Artinya inflasi yang terjadi masih sehat karena mencerminkan kenaikan harga yang tidak sampai menggerus daya beli. Indikasi pelemahan daya beli pun tidak terlihat.
(aji/aji)
Tidak hanya menaikkan bunga acuan, BI juga melonggarkan aturan uang muka atau besaran pembiayaan bank (Loan to Value/LTV) untuk kredit properti. Nantinya, untuk pembelian rumah pertama bisa tanpa uang muka alias 0%.
Stimulus LTV bisa memberikan rangsangan untuk permintaan properti, sehingga sektor ini bisa tumbuh. Sektor properti merupakan sektor yang menggerakkan sektor-sektor lainnya, mulai dari manufaktur sampai perbankan. Oleh karena itu, kehadiran relaksasi LTV bisa menjadi sentimen positif di pasar.
Namun, kenaikan suku bunga acuan dan pelonggaran LTV bisa pula dilihat dari sisi negatif. Kenaikan suku bunga acuan dilakukan saat perekonomian Indonesia sebenarnya masih butuh dorongan. Pada kuartal I-2018, pertumbuhan ekonomi nasional hanya 5,07%.
Ketika suku bunga acuan naik, maka biaya dana perbankan akan naik dan pada akhirnya menaikkan suku bunga kredit. Jika suku bunga kredit naik, maka dampaknya adalah mengerem ekspansi usaha, konsumsi masyarakat, dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Sementara pelonggaran LTV sepertinya dilakukan pada momentum yang kurang tepat, yaitu kenaikan suku bunga. Walau uang muka properti bakal turun (bahkan bisa 0%), tetapi kalau bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) kemungkinan besar akan naik seiring kenaikan suku bunga acuan. Hal ini bisa menyebabkan dua risiko.
Risiko pertama adalah permintaan properti tidak akan naik walau LTV dilonggarkan, karena bagaimanapun bunga kredit juga naik. Masyarakat akan tetap berpikir berulang kali untuk mengambil kredit properti, meski uang mukanya rendah.
Risiko kedua adalah masyarakat memaksakan diri mengambil KPR karena tergiur uang muka rendah. Namun saat masuk ke tahap cicilan, akhirnya menyerah karena bunga yang mencekik. Artinya, ke depan bisa muncul risiko kredit bermasalah alias Non Performing Loan (NPL).
Masih dari dalam negeri, investor juga patut memonitor rilis data inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data inflasi Juni 2018 pada pukul 11:00 WIB.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi secara month-to-month (MtM) sebesar 0,51%. Sementara secara year-on-year (YoY) terjadi inflasi 2,97%. Kemudian inflasi inti atau core inflation secara YoY diramal 2,78%.
Sebagai informasi, BPS melaporkan pada Mei terjadi inflasi 0,21%. Ini membuat inflasi secara YoY menjadi 3,23% dan inflasi ini YoY adalah 2,75%.
Secara bulanan, percepatan laju inflasi pada Juni disebabkan oleh momentum Idul Fitri. Tahun ini, Idul Fitri jatuh pada 15 Juni sehingga saat itu dan beberapa waktu sebelumnya terjadi puncak konsumsi masyarakat. Tekanan permintaan membuat harga terkerek ke atas.
Sementara secara tahunan, terjadi perlambatan laju inflasi karena tahun lalu Idul Fitri ditetapkan pada 25 Juni. Oleh karena itu, momentum Ramadan-Idul Fitri nyaris terjadi pada bulan yang sama yaitu Juni sehingga saat itu inflasi relatif tinggi.
Bila data inflasi sejalan dengan konsensus, maka bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. Sebab di satu sisi terjadi percepatan laju inflasi tetapi tidak terlalu kencang. Artinya inflasi yang terjadi masih sehat karena mencerminkan kenaikan harga yang tidak sampai menggerus daya beli. Indikasi pelemahan daya beli pun tidak terlihat.
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular