
Newsletter
Kemarin Masih Jet Lag, Bagaimana IHSG Hari Ini?
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
21 June 2018 05:58

Harga minyak yang kembali turun juga bisa menjadi sentimen negatif. Koreksi harga minyak disebabkan oleh potensi peningkatan pasokan yang sepertinya semakin mendekati kenyataan.
Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) akan melakukan pertemuan di Wina, Austria, pada akhir pekan ini. Pelaku pasar memperkirakan salah satu isu yang dibahas dalam pertemuan ini adalah rencana pengurangan pemotongan produksi.
Sejak awal 2017, OPEC dan negara-negara produsen minyak non-OPEC sepakat untuk memotong produksi untuk mengatrol harga si emas hitam yang sempat jatuh ke level US$ 30/barel. Langkah ini terbukti ampuh dan mampu membuat harga minyak naik sampai lebih dari dua kali lipat.
Namun kini sejumlah negara ingin kebijakan itu ditinjau ulang. Setelah Arab Saudi dan Rusia, kini giliran Iran yang bersuara.
"Kepatuhan, atau harus saya katakan kepatuhan yang berlebihan, karena mencapai 150% dalam bulan-bulan terakhir. Rasanya tidak perlu sampai sebesar itu," ungkap Bijan Zanganeh, Menteri Perminyakan Iran, dalam wawancara dengan CNN.
Ke depan, sepertinya pasokan minyak akan bertambah sehingga harga terseret turun. Penurunan harga minyak bukan berita baik buat IHSG, karena emiten migas dan pertambangan akan kurang mendapat apresiasi.
Sementara dari dalam negeri, kode dari Bank Indonesia (BI) seputar potensi kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut sepertinya belum mendapat respons dari pelaku pasar.
"Bank Indonesia senantiasa berkomitmen dan fokus pada kebijakan jangka pendek dalam memperkuat stabilitas ekonomi, khususnya stabilitas nilai tukar rupiah. Untuk itu, BI siap menempuh kebijakan lanjutan yang pre-emptive, front loading, dan ahead the curve dalam menghadapi perkembangan baru arah kebijakan the Fed dan ECB pada RDG (Rapat Dewan Gubernur) 27-28 Juni 2018 yang akan datang," sebut pernyataan BI beberapa hari lalu.
Perry Warjiyo, Gubernur BI, mengatakan kebijakan tersebut dapat berupa kenaikan suku bunga acuan, yang disertai dengan relaksasi kebijakan LTV untuk mendorong sektor perumahan. Selain itu, kebijakan intervensi ganda, likuiditas longgar, dan komunikasi yang intensif tetap dilanjutkan.
Kenaikan suku bunga bisa dinilai positif maupun negatif. Positifnya, BI akan dianggap responsif alias ahead the curve dalam menyikapi perkembangan global, terutama kebijakan The Fed. Dengan menaikkan suku bunga, BI tidak akan ketinggalan kereta karena The Fed juga sudah menaikkan bunga.
Selain itu, kenaikan suku bunga juga membuat berinvestasi di Indonesia semakin menguntungkan karena memberikan imbalan yang lebih. Ini bisa menjadi pemanis (sweetener) bagi investor asing untuk masuk ke Indonesia, sehingga pada akhirnya aliran modal ini bisa membuat nilai tukar rupiah lebih stabil.
Namun, kenaikan suku bunga acuan juga bisa membawa dampak negatif. Kenaikan suku bunga acuan berarti sikap (stance) kebijakan moneter BI mengarah ke bias ketat. Padahal, sepertinya perekonomian Indonesia belum butuh pengetatan.
Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2018 bisa dibilang mengecewakan, karena hanya 5,06%. Untuk mencapai target 5,4% dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sepertinya hampir mustahil. Jika suku bunga naik, maka mencapai target ini dipastikan mustahil.
Hari ini, kemungkinan pasar akan mulai mencerna petunjuk dari BI tersebut. Apakah akan direspons positif atau negatif, layak dinantikan. (aji/aji)
Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) akan melakukan pertemuan di Wina, Austria, pada akhir pekan ini. Pelaku pasar memperkirakan salah satu isu yang dibahas dalam pertemuan ini adalah rencana pengurangan pemotongan produksi.
Sejak awal 2017, OPEC dan negara-negara produsen minyak non-OPEC sepakat untuk memotong produksi untuk mengatrol harga si emas hitam yang sempat jatuh ke level US$ 30/barel. Langkah ini terbukti ampuh dan mampu membuat harga minyak naik sampai lebih dari dua kali lipat.
Namun kini sejumlah negara ingin kebijakan itu ditinjau ulang. Setelah Arab Saudi dan Rusia, kini giliran Iran yang bersuara.
"Kepatuhan, atau harus saya katakan kepatuhan yang berlebihan, karena mencapai 150% dalam bulan-bulan terakhir. Rasanya tidak perlu sampai sebesar itu," ungkap Bijan Zanganeh, Menteri Perminyakan Iran, dalam wawancara dengan CNN.
Ke depan, sepertinya pasokan minyak akan bertambah sehingga harga terseret turun. Penurunan harga minyak bukan berita baik buat IHSG, karena emiten migas dan pertambangan akan kurang mendapat apresiasi.
Sementara dari dalam negeri, kode dari Bank Indonesia (BI) seputar potensi kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut sepertinya belum mendapat respons dari pelaku pasar.
"Bank Indonesia senantiasa berkomitmen dan fokus pada kebijakan jangka pendek dalam memperkuat stabilitas ekonomi, khususnya stabilitas nilai tukar rupiah. Untuk itu, BI siap menempuh kebijakan lanjutan yang pre-emptive, front loading, dan ahead the curve dalam menghadapi perkembangan baru arah kebijakan the Fed dan ECB pada RDG (Rapat Dewan Gubernur) 27-28 Juni 2018 yang akan datang," sebut pernyataan BI beberapa hari lalu.
Perry Warjiyo, Gubernur BI, mengatakan kebijakan tersebut dapat berupa kenaikan suku bunga acuan, yang disertai dengan relaksasi kebijakan LTV untuk mendorong sektor perumahan. Selain itu, kebijakan intervensi ganda, likuiditas longgar, dan komunikasi yang intensif tetap dilanjutkan.
Kenaikan suku bunga bisa dinilai positif maupun negatif. Positifnya, BI akan dianggap responsif alias ahead the curve dalam menyikapi perkembangan global, terutama kebijakan The Fed. Dengan menaikkan suku bunga, BI tidak akan ketinggalan kereta karena The Fed juga sudah menaikkan bunga.
Selain itu, kenaikan suku bunga juga membuat berinvestasi di Indonesia semakin menguntungkan karena memberikan imbalan yang lebih. Ini bisa menjadi pemanis (sweetener) bagi investor asing untuk masuk ke Indonesia, sehingga pada akhirnya aliran modal ini bisa membuat nilai tukar rupiah lebih stabil.
Namun, kenaikan suku bunga acuan juga bisa membawa dampak negatif. Kenaikan suku bunga acuan berarti sikap (stance) kebijakan moneter BI mengarah ke bias ketat. Padahal, sepertinya perekonomian Indonesia belum butuh pengetatan.
Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2018 bisa dibilang mengecewakan, karena hanya 5,06%. Untuk mencapai target 5,4% dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sepertinya hampir mustahil. Jika suku bunga naik, maka mencapai target ini dipastikan mustahil.
Hari ini, kemungkinan pasar akan mulai mencerna petunjuk dari BI tersebut. Apakah akan direspons positif atau negatif, layak dinantikan. (aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular