
Newsletter
Usai Maaf Lahir-Batin, Mau ke Mana IHSG?
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 June 2018 07:23

Sementara dari dalam negeri, ada satu hal yang perlu diperhatikan. Bank Indonesia (BI) kemarin merilis pernyataan untuk menegaskan komitmennya menjaga stabilitas ekonomi.
"Bank Indonesia senantiasa berkomitmen dan fokus pada kebijakan jangka pendek dalam memperkuat stabilitas ekonomi, khususnya stabilitas nilai tukar rupiah. Untuk itu, BI siap menempuh kebijakan lanjutan yang pre-emptive, front loading, dan ahead the curve dalam menghadapi perkembangan baru arah kebijakan the Fed dan ECB pada RDG (Rapat Dewan Gubernur) 27-28 Juni 2018 yang akan datang," sebut pernyataan BI.
Perry Warjiyo, Gubernur BI, mengatakan kebijakan tersebut dapat berupa kenaikan suku bunga acuan, yang disertai dengan relaksasi kebijakan LTV untuk mendorong sektor perumahan. Selain itu, kebijakan intervensi ganda, likuiditas longgar, dan komunikasi yang intensif tetap dilanjutkan.
Jika BI benar-benar menaikkan suku bunga acuan 7 day reverse repo rate, maka akan menjadi kenaikan yang ketiga dalam 1,5 bulan terakhir. Kenaikan pertama adalah pada 17 Mei menjadi 4,5%, dan kedua pada 30 Mei menjadi 4,75%.
Kenaikan suku bunga bisa dinilai positif maupun negatif. Positifnya, BI akan dianggap responsif alias ahead the curve dalam menyikapi perkembangan global, terutama kebijakan The Fed. Dengan menaikkan suku bunga, BI tidak akan ketinggalan kereta karena The Fed juga sudah menaikkan bunga.
Selain itu, kenaikan suku bunga juga membuat berinvestasi di Indonesia semakin menguntungkan karena memberikan imbalan yang lebih. Ini bisa menjadi pemanis (sweetener) bagi investor asing untuk masuk ke Indonesia, sehingga pada akhirnya aliran modal ini bisa membuat nilai tukar rupiah lebih stabil.
Namun, kenaikan suku bunga acuan juga bisa membawa dampak negatif. Kenaikan suku bunga acuan berarti sikap (stance) kebijakan moneter BI mengarah ke bias ketat. Padahal, sepertinya perekonomian Indonesia belum butuh pengetatan.
Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2018 bisa dibilang mengecewakan, karena hanya 5,06%. Untuk mencapai target 5,4% dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sepertinya hampir mustahil. Jika suku bunga naik, maka mencapai target ini dipastikan mustahil.
Pertumbuhan kredit juga masih belum impresif, masih di kisaran satu digit. BI mencatat pertumbuhan kredit pada Maret 2018 masih di 8,5%. Bila suku bunga acuan naik, maka suku bunga deposito dan kredit juga berpotensi naik sehingga menurunkan minat masyarakat dan dunia usaha untuk meminjam ke bank. Pertumbuhan kredit akan semakin tertekan.
Laju inflasi juga masih terkendali. Hingga Mei 2018, inflasi masih 3,23% secara year-on-year (YoY). Berada di batas tengah kisaran target BI yaitu 2,5-4,5%. Bahkan pada periode Ramadan-Idul Fitri pun sepertinya tidak ada lonjakan harga yang luar biasa.
Oleh karena itu, pengetatan kebijakan moneter justru akan mengerem gerak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Padahal, Indonesia masih membutuhkan pertumbuhan ekonomi.
Jadi setelah bermaaf-maafan, mau ke mana IHSG?
(aji/aji)
"Bank Indonesia senantiasa berkomitmen dan fokus pada kebijakan jangka pendek dalam memperkuat stabilitas ekonomi, khususnya stabilitas nilai tukar rupiah. Untuk itu, BI siap menempuh kebijakan lanjutan yang pre-emptive, front loading, dan ahead the curve dalam menghadapi perkembangan baru arah kebijakan the Fed dan ECB pada RDG (Rapat Dewan Gubernur) 27-28 Juni 2018 yang akan datang," sebut pernyataan BI.
Perry Warjiyo, Gubernur BI, mengatakan kebijakan tersebut dapat berupa kenaikan suku bunga acuan, yang disertai dengan relaksasi kebijakan LTV untuk mendorong sektor perumahan. Selain itu, kebijakan intervensi ganda, likuiditas longgar, dan komunikasi yang intensif tetap dilanjutkan.
Jika BI benar-benar menaikkan suku bunga acuan 7 day reverse repo rate, maka akan menjadi kenaikan yang ketiga dalam 1,5 bulan terakhir. Kenaikan pertama adalah pada 17 Mei menjadi 4,5%, dan kedua pada 30 Mei menjadi 4,75%.
Kenaikan suku bunga bisa dinilai positif maupun negatif. Positifnya, BI akan dianggap responsif alias ahead the curve dalam menyikapi perkembangan global, terutama kebijakan The Fed. Dengan menaikkan suku bunga, BI tidak akan ketinggalan kereta karena The Fed juga sudah menaikkan bunga.
Selain itu, kenaikan suku bunga juga membuat berinvestasi di Indonesia semakin menguntungkan karena memberikan imbalan yang lebih. Ini bisa menjadi pemanis (sweetener) bagi investor asing untuk masuk ke Indonesia, sehingga pada akhirnya aliran modal ini bisa membuat nilai tukar rupiah lebih stabil.
Namun, kenaikan suku bunga acuan juga bisa membawa dampak negatif. Kenaikan suku bunga acuan berarti sikap (stance) kebijakan moneter BI mengarah ke bias ketat. Padahal, sepertinya perekonomian Indonesia belum butuh pengetatan.
Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2018 bisa dibilang mengecewakan, karena hanya 5,06%. Untuk mencapai target 5,4% dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sepertinya hampir mustahil. Jika suku bunga naik, maka mencapai target ini dipastikan mustahil.
Pertumbuhan kredit juga masih belum impresif, masih di kisaran satu digit. BI mencatat pertumbuhan kredit pada Maret 2018 masih di 8,5%. Bila suku bunga acuan naik, maka suku bunga deposito dan kredit juga berpotensi naik sehingga menurunkan minat masyarakat dan dunia usaha untuk meminjam ke bank. Pertumbuhan kredit akan semakin tertekan.
Laju inflasi juga masih terkendali. Hingga Mei 2018, inflasi masih 3,23% secara year-on-year (YoY). Berada di batas tengah kisaran target BI yaitu 2,5-4,5%. Bahkan pada periode Ramadan-Idul Fitri pun sepertinya tidak ada lonjakan harga yang luar biasa.
Oleh karena itu, pengetatan kebijakan moneter justru akan mengerem gerak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Padahal, Indonesia masih membutuhkan pertumbuhan ekonomi.
Jadi setelah bermaaf-maafan, mau ke mana IHSG?
(aji/aji)
Next Page
Simak Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular