
Newsletter
Cermati Data Inflasi, Waspadai Pembalikan Modal
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
04 June 2018 05:58

Jakarta, CNBC Indonesia - Perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) berlangsung relatif singkat pekan lalu, hanya tiga hari. Dalam periode tersebut, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak fluktuatif tetapi secara mingguan berhasil ditutup menguat meski sangat terbatas.
Sepanjang pekan lalu, IHSG menguat 0,13%. Rata-rata nilai transaksi harian di BEI selama sepekan lalu meningkat 11,07% dibandingkan pada pekan sebelumnya.
Meski demikian, rata-rata volume transaksi harian turun 7,62% dan rata-rata frekuensi transaksi harian BEI juga merosot 15,06%. Sedangkan investor asing mencatatkan jual bersih Rp 165 miliar di sepanjang pekan lalu. Selama 2018, investor asing mencatatkan jual bersih yang jumlahnya telah mencapai Rp 40,32 triliun.
Pada awal pekan, IHSG sempat menguat signifikan hingga 1,55%. Kala itu, lonjakan IHSG merupakan respons atas pernyataan Bank Indonesia (BI) yang akhir pekan sebelumnya memutuskan untuk menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) tambahan. Pelaku pasar pun berekspektasi BI akan kembali menaikkan suku bunga acuan 7 day reverse repo rate, setelah kenaikan sebelumnya pada 17 Mei kurang mendapat reaksi.
BI benar-benar menaikkan suku bunga acuan pada 30 Mei. Namun saat itu IHSG justru anjlok 0,97%. Ini membuat pameo 'buy the rumor, sell the news' menjadi kenyataan.
Jelang libur panjang, IHSG kembali melemah meski tidak sedalam hari sebelumnya yaitu 'hanya' 0,46%. Padahal, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mampu menguat 0,68%. Sepertinya aksi ambil untung masih berlanjut.
Meski bak roller coaster, tetapi IHSG masih beruntung karena bursa saham utama Asia justru mengakhiri pekan dengan koreksi. Indeks Straits Times amblas 2,58%, KLCI (Malaysia) anjlok 1,09%, Nikkei 225 melemah 1,5%, Hang Seng terkoreksi 0,97%, SSEC (China) terkoreksi 1,91%, dan Kospi berkurang 1,61%.
Ada dua isu besar yang membebani bursa saham regional. Pertama adalah perkembangan di Italia.
Politik di Negeri Pizza sempat gaduh karena Presiden Segio Mattarella menolak pencalonan Paolo Savona oleh koalisi Liga dan Gerakan Bintang Lima. Savona punya latar belakang pandangan yang kurang sejalan dengan Uni Eropa dan cenderung ingin Italia melepaskan diri (eurosceptic).
Penolakan Presiden Mattarella menambah panjang kisruh politik Italia. Sebelumnya, pemilu pada Maret lalu gagal menciptakan kekuatan dominan di parlemen sehingga praktis belum bisa membentuk pemerintahan. Kini parlemen Italia dikuasai oleh koalisi Liga dan Gerakan Bintang Lima yang berhaluan cenderung ke sayap kanan (ultra nasionalis).
Gaduh politik Italia sempat membuat pelaku pasar gugup. Jika kekuatan populis semakin solid, maka bukan tidak mungkin Italia akan mengikuti jalan Inggris, yaitu keluar dari Uni Eropa. Kala Inggris menggelar jajak pendapat dan hasilnya adalah Negeri Ratu Elizabeth keluar dari Uni Eropa, pasar merespons negatif meski hanya sementara.
Namun kegugupan akibat ulah Italia mereda setelah Gerakan Bintang Lima legowo dengan membatalkan pencalonan Savona. Italia pun kemungkinan akan menggelar pemilu ulang, paling cepat Juli tahun ini. Ada harapan Italia akan memiliki pemerintahan yang mapan.
Saat kisruh Italia mereda, datang sentimen negatif kedua yaitu perang dagang. AS menjadi biang keladi karena akhirnya menerapkan bea masuk bagi impor baja dan aluminium dari Meksiko, Kanada, dan Uni Eropa. Padahal negara-negara tersebut merupakan sekutu utama Negeri Adidaya.
Tidak tinggal diam, para 'korban' itu membalas. Kanada memutuskan untuk balik mengenakan bea masuk bagi produk-produk AS seperti whiski, jus jeruk, baja, aluminium, dan sebagainya. Sementara Meksiko juga menerapkan bea masuk untuk daging babi, apel, anggur, keju, dan sebagainya yang berasal dari sang tetangga.
Uni Eropa memang belum menempuh langkah seperti Kanada atau Meksiko. Namun Benua Biru juga sudah mengambil ancang-ancang, bahkan mencari kawan.
"Kami akan mencoba menyelesaikan ini dengan negosiasi. Kami akan menyatukan langkah dan menyusun respons atas nama Uni Eropa. Mungkin kami akan bekerja sama lebih dekat dengan Kanada dan Meksiko," tegas Peter Altmaier, Menteri Ekonomi Jerman, seperti dikutip dari Reuters.
Aura perang dagang dalam skala global pun kian terasa. Perang dagang bukan lagi melibatkan AS dan China, tetapi merambat sampai ke Eropa. Ini tentu bukan kabar baik bagi perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia.
Akibat dua sentimen negatif tersebut, pada pekan lalu investor lebih memilih bermain aman dan menghindari aset-aset berisiko. Pasar saham pun ditinggalkan.
Sepanjang pekan lalu, IHSG menguat 0,13%. Rata-rata nilai transaksi harian di BEI selama sepekan lalu meningkat 11,07% dibandingkan pada pekan sebelumnya.
Meski demikian, rata-rata volume transaksi harian turun 7,62% dan rata-rata frekuensi transaksi harian BEI juga merosot 15,06%. Sedangkan investor asing mencatatkan jual bersih Rp 165 miliar di sepanjang pekan lalu. Selama 2018, investor asing mencatatkan jual bersih yang jumlahnya telah mencapai Rp 40,32 triliun.
Pada awal pekan, IHSG sempat menguat signifikan hingga 1,55%. Kala itu, lonjakan IHSG merupakan respons atas pernyataan Bank Indonesia (BI) yang akhir pekan sebelumnya memutuskan untuk menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) tambahan. Pelaku pasar pun berekspektasi BI akan kembali menaikkan suku bunga acuan 7 day reverse repo rate, setelah kenaikan sebelumnya pada 17 Mei kurang mendapat reaksi.
BI benar-benar menaikkan suku bunga acuan pada 30 Mei. Namun saat itu IHSG justru anjlok 0,97%. Ini membuat pameo 'buy the rumor, sell the news' menjadi kenyataan.
Jelang libur panjang, IHSG kembali melemah meski tidak sedalam hari sebelumnya yaitu 'hanya' 0,46%. Padahal, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mampu menguat 0,68%. Sepertinya aksi ambil untung masih berlanjut.
Meski bak roller coaster, tetapi IHSG masih beruntung karena bursa saham utama Asia justru mengakhiri pekan dengan koreksi. Indeks Straits Times amblas 2,58%, KLCI (Malaysia) anjlok 1,09%, Nikkei 225 melemah 1,5%, Hang Seng terkoreksi 0,97%, SSEC (China) terkoreksi 1,91%, dan Kospi berkurang 1,61%.
Ada dua isu besar yang membebani bursa saham regional. Pertama adalah perkembangan di Italia.
Politik di Negeri Pizza sempat gaduh karena Presiden Segio Mattarella menolak pencalonan Paolo Savona oleh koalisi Liga dan Gerakan Bintang Lima. Savona punya latar belakang pandangan yang kurang sejalan dengan Uni Eropa dan cenderung ingin Italia melepaskan diri (eurosceptic).
Penolakan Presiden Mattarella menambah panjang kisruh politik Italia. Sebelumnya, pemilu pada Maret lalu gagal menciptakan kekuatan dominan di parlemen sehingga praktis belum bisa membentuk pemerintahan. Kini parlemen Italia dikuasai oleh koalisi Liga dan Gerakan Bintang Lima yang berhaluan cenderung ke sayap kanan (ultra nasionalis).
Gaduh politik Italia sempat membuat pelaku pasar gugup. Jika kekuatan populis semakin solid, maka bukan tidak mungkin Italia akan mengikuti jalan Inggris, yaitu keluar dari Uni Eropa. Kala Inggris menggelar jajak pendapat dan hasilnya adalah Negeri Ratu Elizabeth keluar dari Uni Eropa, pasar merespons negatif meski hanya sementara.
Namun kegugupan akibat ulah Italia mereda setelah Gerakan Bintang Lima legowo dengan membatalkan pencalonan Savona. Italia pun kemungkinan akan menggelar pemilu ulang, paling cepat Juli tahun ini. Ada harapan Italia akan memiliki pemerintahan yang mapan.
Saat kisruh Italia mereda, datang sentimen negatif kedua yaitu perang dagang. AS menjadi biang keladi karena akhirnya menerapkan bea masuk bagi impor baja dan aluminium dari Meksiko, Kanada, dan Uni Eropa. Padahal negara-negara tersebut merupakan sekutu utama Negeri Adidaya.
Tidak tinggal diam, para 'korban' itu membalas. Kanada memutuskan untuk balik mengenakan bea masuk bagi produk-produk AS seperti whiski, jus jeruk, baja, aluminium, dan sebagainya. Sementara Meksiko juga menerapkan bea masuk untuk daging babi, apel, anggur, keju, dan sebagainya yang berasal dari sang tetangga.
Uni Eropa memang belum menempuh langkah seperti Kanada atau Meksiko. Namun Benua Biru juga sudah mengambil ancang-ancang, bahkan mencari kawan.
"Kami akan mencoba menyelesaikan ini dengan negosiasi. Kami akan menyatukan langkah dan menyusun respons atas nama Uni Eropa. Mungkin kami akan bekerja sama lebih dekat dengan Kanada dan Meksiko," tegas Peter Altmaier, Menteri Ekonomi Jerman, seperti dikutip dari Reuters.
Aura perang dagang dalam skala global pun kian terasa. Perang dagang bukan lagi melibatkan AS dan China, tetapi merambat sampai ke Eropa. Ini tentu bukan kabar baik bagi perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia.
Akibat dua sentimen negatif tersebut, pada pekan lalu investor lebih memilih bermain aman dan menghindari aset-aset berisiko. Pasar saham pun ditinggalkan.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular