Newsletter

Cermati Data Inflasi, Waspadai Pembalikan Modal

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
04 June 2018 05:58
Cermati Sentimen Penggerak Pasar Berikut Ini
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati rilis data di dalam negeri yaitu inflasi periode Mei 2018. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi Mei secara MtM sebesar 0,25%. Sementara inflasi YoY diproyeksikan 3,3% dan inflasi inti YoY diramal 2,76%. 


Jika proyeksi ini terwujud, maka laju inflasi domestik dapat dikatakan masih relatif terkendali. Hingga separuh Ramadan, inflasi belum menunjukkan lonjakan yang berarti. Kini investor tinggal menantikan inflasi Juni, yang mungkin menjadi puncak karena merupakan paruh kedua Ramadan dan kemudian hari raya Idul Fitri. 

Laju inflasi yang masih 'jinak' bisa menjadi sentimen positif di pasar. Ketika inflasi terkendali, maka nilai rupiah menjadi tidak terlalu tergerus sehingga berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini masih menguntungkan. 

Namun, penguatan rupiah juga sebenarnya patut diwaspadai. Sepanjang pekan lalu, rupiah sudah menguat 0,68% di hadapan greenback. Bisa jadi investor lebih memilih merealisasikan keuntungan dari penguatan rupiah pekan lalu, sehingga menjadi pemberat yang membuat rupiah berbalik melemah.


Belum lagi IHSG juga menguat (meski tipis), dan imbal hasil obligasi pemerintah juga turun cukup drastis dari 7,174% pada awal pekan menjadi 7,06% pada akhir pekan untuk tenor 10 tahun. Risiko profit taking menjadi semakin nyata. 

Apalagi kini dolar AS sedang menguat. Dollar Index, yang menunjukkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama, saat ini menguat 0,18%.

Apresiasi greenback datang setelah rilis data ketenagakerjaan Negeri Paman Sam. Pada Mei, angka pengangguran AS tercatat 3,8% atau terendah dalam 18 tahun terakhir. Angka pengangguran turun dari bulan sebelumnya yang sebesar 3,9%. 

Sepanjang Mei, perekonomian AS menciptakan 223.000 lapangan kerja. Naik signifikan 40,25% dibandingkan bulan sebelumnya dan 43,87% dari periode yang sama pada 2017. 

Perkembangan ini menunjukkan pemulihan ekonomi di AS semakin terlihat, sehingga menaikkan ekspektasi inflasi. Investor (lagi-lagi) berpandangan bahwa ada kemungkinan The Federal Reserve/The Fed akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. 

Pasar memperkirakan The Fed menaikkan suku bunga acuan tiga kali sepanjang 2018. Namun jika laju perekonomian AS semakin kencang, maka kebutuhan pengetatan moneter lebih lanjut pun dibutuhkan untuk mengerem inflasi. Akibatnya, bisa saja The Fed menaikkan dosis kenaikan suku bunga menjadi empat kali. 

Ekspektasi ini bisa menjadi bensin bagi greenback. Ketika dolar AS menguat, maka mata uang lain akan tertekan, tidak terkecuali rupiah. Memegang aset berbasis rupiah menjadi semakin tidak menguntungkan kala mata uang ini terdepresiasi, sebab nilainya akan turun. 

Perkembangan imbal hasil obligasi pemerintah AS juga patut diwaspadai. Akhir pekan lalu, imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun naik ke 2,895% dari hari sebelumnya di 2,882%. ini terjadi karena munculnya ekspektasi inflasi, seperti yang sudah disinggung di atas. 

Kenaikan imbal hasil obligasi AS seringkali menjadi kabar buruk bagi rupiah dan pasar keuangan Indonesia. Arus modal akan berbalik ke AS untuk mencari keuntungan lebih sehingga pasar keuangan Indonesia bisa ditinggalkan. IHSG dan rupiah patut waspada dengan dinamika ini. 

Akibat apresiasi dolar AS, harga minyak juga tertekan. Akhir pekan lalu, harga minyak light sweet dan brent sama-sama terkoreksi lebih dari 1%. 

Ditambah lagi Rusia sudah ambil kuda-kuda untuk menaikkan produksi. Bila tidak ada keputusan lebih lanjut dari Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) terkait pemotongan produksi, maka Negeri Beruang Merah akan kembali menambah pasokan mereka dalam beberapa bulan ke depan. 

"Potensi (produksi minyak) kami berkurang 300.000 barel/hari karena pengurangan produksi sukarela yang merupakan bagian kesepakatan dengan OPEC. Dalam beberapa bulan, kami bisa saja mengambalikan potensi tersebut," ungkap Pavel Sorokin, Wakil Menteri Energi Rusia, dalam wawancara dengan Reuters. 

Rusia sudah mengurangi produksi mereka sekitar 300.000 barel/hari sejak Oktober 2016 sebagai bagian dari kesepakatan dengan OPEC untuk mengatrol harga si emas hitam yang sempat terpuruk ke level US$ 30/barel. Namun kebijakan tersebut akan ditinjau kembali dalam pertemuan OPEC di Wina pada 22-23 Juni. Pasalnya, pasokan minyak dari Venezuela dan Iran diperkirakan turun sehingga ada kemungkinan OPEC akan meninjau ulang kebijakan pemangkasan produksi untuk menjaga pasokan minyak dunia. 

Jika koreksi harga minyak berlanjut hari ini, maka itu bukan berita baik buat IHSG. Saham emiten migas dan pertambangan biasanya kurang diapresiasi kala harga minyak turun, dan ini bisa berdampak kepada IHSG secara keseluruhan. 

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular