
Newsletter
Hari Ini, Kesaktian Suku Bunga Acuan Masih Diuji
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
21 May 2018 04:43

Untuk perdagangan hari ini, investor bisa mencermati beberapa sentimen yang bisa menjadi penggerak pasar. Dari dalam negeri, layak untuk dinanti bagaimana dampak kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) 7 days reverse repo rate.
Pada Kamis (17/5/2018), BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 35 basis poin menjadi 4,5%. Namun akhir pekan lalu sentimen ini gagal mengangkat pasar, apalagi rupiah justru melemah 0,73%.
Kenaikan suku bunga acuan kalah pamor dibandingkan sentimen negatif eksternal, yaitu kenaikan yield obligasi AS. Tidak hanya rupiah, IHSG pun terseret ke zona merah.
Akan tetapi saat ini yield obligasi AS mulai bergerak turun dari 3,109% ke 3,067%. Perkembangan ini bisa menjadi ujian apakah kenaikan BI 7 days reverse repo rate benar-benar ampuh untuk menarik arus modal ke Indonesia atau tidak. Setelah akhir pekan lalu gagal, BI 7 days reverse repo rate bisa mencoba lagi hari ini untuk membuktikan kesaktiannya.
Namun sepertinya kenaikan suku bunga acuan Kamis pekan lalu, mohon maaf, sudah agak terlambat. Dalam hal ini, BI bisa dibilang sudah agak jauh behind the curve.
Pasalnya, berbagai sentimen negatif eksternal sudah semakin bertambah dan semakin menumpuk. Pengetatan moneter di AS, kenaikan yield obligasi Negeri Paman Sam, tren apresiasi greenback, perang dagang AS-China (dan kini Jepang dikabarkan akan ikut terlibat), perjanjian nuklir Iran yang terancam kolaps, dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan satu-satu karena antreannya terlalu panjang.
Sikap BI yang terus mempertahankan suku bunga acuan sejak September 2017 dan tidak ada pertanda untuk menaikkan, sebelum pernyataan Gubernur Agus DW Martowardojo pada akhir April lalu, membuat modal asing terus keluar karena tidak ada jaminan kenaikan suku bunga. Oleh karena itu saat kenaikan suku bunga akhirnya dieksekusi, semua sudah terlambat.
Selain itu, knaikan suku bunga acuan sejatinya memiliki dua sisi. Positifnya tentu membuat Indonesia kembali atraktif karena bisa memberikan keuntungan yang lebih. Namun ada dampak negatifnya yaitu bisa mengerem laju pertumbuhan ekonomi karena membuat biaya dana (cost of fund) ikut naik.
Padahal dalam situasi saat ini belum ada yang perlu direm di perekonomian domestik. Laju inflasi 3,41% per April 2018, masih dalam rentang target BI di 2,5-4,5% untuk 2018. Pertumbuhan ekonomi masih 5,06% pada kuartal I-2018, jauh di bawah target pemerintah yang 5,4%. Pertumbuhan kredit masih satu digit, tepatnya 8,8% per April 2018, jauh dari Rencana Bisnis Bank (RBB) 2018 yang mencapai 12,23%.
Oleh karena itu, sebagian pelaku pasar menjadi bertanya-tanya. Apa yang mau direm dari perekonomian Indonesia, karena saat ini pun lajunya belum cepat-cepat amat?
(aji/aji)
Pada Kamis (17/5/2018), BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 35 basis poin menjadi 4,5%. Namun akhir pekan lalu sentimen ini gagal mengangkat pasar, apalagi rupiah justru melemah 0,73%.
Kenaikan suku bunga acuan kalah pamor dibandingkan sentimen negatif eksternal, yaitu kenaikan yield obligasi AS. Tidak hanya rupiah, IHSG pun terseret ke zona merah.
Akan tetapi saat ini yield obligasi AS mulai bergerak turun dari 3,109% ke 3,067%. Perkembangan ini bisa menjadi ujian apakah kenaikan BI 7 days reverse repo rate benar-benar ampuh untuk menarik arus modal ke Indonesia atau tidak. Setelah akhir pekan lalu gagal, BI 7 days reverse repo rate bisa mencoba lagi hari ini untuk membuktikan kesaktiannya.
Namun sepertinya kenaikan suku bunga acuan Kamis pekan lalu, mohon maaf, sudah agak terlambat. Dalam hal ini, BI bisa dibilang sudah agak jauh behind the curve.
Pasalnya, berbagai sentimen negatif eksternal sudah semakin bertambah dan semakin menumpuk. Pengetatan moneter di AS, kenaikan yield obligasi Negeri Paman Sam, tren apresiasi greenback, perang dagang AS-China (dan kini Jepang dikabarkan akan ikut terlibat), perjanjian nuklir Iran yang terancam kolaps, dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan satu-satu karena antreannya terlalu panjang.
Sikap BI yang terus mempertahankan suku bunga acuan sejak September 2017 dan tidak ada pertanda untuk menaikkan, sebelum pernyataan Gubernur Agus DW Martowardojo pada akhir April lalu, membuat modal asing terus keluar karena tidak ada jaminan kenaikan suku bunga. Oleh karena itu saat kenaikan suku bunga akhirnya dieksekusi, semua sudah terlambat.
Selain itu, knaikan suku bunga acuan sejatinya memiliki dua sisi. Positifnya tentu membuat Indonesia kembali atraktif karena bisa memberikan keuntungan yang lebih. Namun ada dampak negatifnya yaitu bisa mengerem laju pertumbuhan ekonomi karena membuat biaya dana (cost of fund) ikut naik.
Padahal dalam situasi saat ini belum ada yang perlu direm di perekonomian domestik. Laju inflasi 3,41% per April 2018, masih dalam rentang target BI di 2,5-4,5% untuk 2018. Pertumbuhan ekonomi masih 5,06% pada kuartal I-2018, jauh di bawah target pemerintah yang 5,4%. Pertumbuhan kredit masih satu digit, tepatnya 8,8% per April 2018, jauh dari Rencana Bisnis Bank (RBB) 2018 yang mencapai 12,23%.
Oleh karena itu, sebagian pelaku pasar menjadi bertanya-tanya. Apa yang mau direm dari perekonomian Indonesia, karena saat ini pun lajunya belum cepat-cepat amat?
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular