
Newsletter
Hari Ini, Kesaktian Suku Bunga Acuan Masih Diuji
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
21 May 2018 04:43

Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup variatif cenderung melemah akhir pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) stagnan, S&P 500 melemah 0,26%, dan Nasdaq berkurang 0,38%. Sedangkan secara mingguan, DJIA turun 0,7%, S&P 500 terkoreksi 0,63%, dan Nasdaq anjlok 1,43%.
Selain lonjakan yield obligasi, sepekan lalu Wall Street juga tertekan akibat perkembangan negosiasi perdagangan AS-China yang sepertinya masih jauh dari harapan. Situasi menjadi keruh kala Presiden AS Donald Trump menyebut China sudah terlalu keenakan karena menikmati surplus perdagangan dengan Negeri Adidaya.
"Apakah ini (pembicaraan dagang dengan China) akan sukses? Saya cenderung ragu. Alasannya adalah China sudah terlalu manja karena mereka selalu mendapatkan 100% keinginannya dari AS. Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi lagi," tegas Trump, seperti dikutip dari Reuters, akhir pekan lalu.
Dalam pembicaraan kali ini, AS meminta China mengurangi surplus perdagangan mereka sebesar US$ 200 miliar, penghapusan kewajiban kerjasama dengan mitra lokal untuk investasi teknologi AS di China, dan penghapusan subsidi bagi industri di China. Sementara China meminta AS mencabut sanksi bagi ZTE, yang dilarang menjual produknya di tanah Negeri Adidaya selama 7 tahun.
Alotnya negosiasi ini membuat investor khawatir. Jika perang dagang AS-China memanas lagi, maka dikhawatirkan akan mempengaruhi arus perdagangan global mengingat kedua negara ini adalah perekonomian terbesar di dunia. Ini tentu bukan kabar baik untuk sektor keuangan.
Pekan lalu, Wakil Perdana Menteri China Liu He berkunjung ke Washington untuk berdiskusi mengenai perdagangan dengan para pejabat pemerintahan Trump. Namun pertemuan ini belum memberikan hasil yang substansial.
"China siap mengabulkan beberapa permintaan kami. Namun memang belum ada kesepakatan, dan mungkin akan memakan lebih banyak waktu," ungkap Lawrence 'Larry Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih.
Senada dengan Gedung Putih, perwakilan Beijing juga belum memberi jawaban tegas seputar hasil pertemuan tersebut. Lu Kang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, hanya menyebut bahwa pertemuan ini 'sangat konstruktif'.
"Investor menunggu adanya pernyataan yang bisa menjadi katalis, bisa menggerakkan sentimen di pasar. Namun yang terjadi justru seakan langkah mundur, yang membuat investor bingung," tutur Oliver Pursche, Chief Market Strategist di Bruderman Aset Management yang berbasis di New York.
Selain perang dagang, investor juga mengkhawatirkan kenaikan harga minyak yang mencapai titik tertinggi sejak 2014. Penyebab kenaikan harga minyak adalah penurunan pasokan di Venezuela akibat krisis sosial-politik-ekonomi serta kekhawatiran berkurangnya minyak dari Iran jika sanksi terhadap Negeri Persia diterapkan.
Kenaikan harga minyak akan menimbulkan inflasi karena biaya energi bertambah. Tekanan inflasi ini kemudian perlu dikontrol melalui kenaikan suku bunga acuan. Inilah yang menjadi kecemasan pelaku pasar, bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan lebih dari tiga kali sepanjang 2018.
(aji/aji)
Selain lonjakan yield obligasi, sepekan lalu Wall Street juga tertekan akibat perkembangan negosiasi perdagangan AS-China yang sepertinya masih jauh dari harapan. Situasi menjadi keruh kala Presiden AS Donald Trump menyebut China sudah terlalu keenakan karena menikmati surplus perdagangan dengan Negeri Adidaya.
"Apakah ini (pembicaraan dagang dengan China) akan sukses? Saya cenderung ragu. Alasannya adalah China sudah terlalu manja karena mereka selalu mendapatkan 100% keinginannya dari AS. Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi lagi," tegas Trump, seperti dikutip dari Reuters, akhir pekan lalu.
Dalam pembicaraan kali ini, AS meminta China mengurangi surplus perdagangan mereka sebesar US$ 200 miliar, penghapusan kewajiban kerjasama dengan mitra lokal untuk investasi teknologi AS di China, dan penghapusan subsidi bagi industri di China. Sementara China meminta AS mencabut sanksi bagi ZTE, yang dilarang menjual produknya di tanah Negeri Adidaya selama 7 tahun.
Alotnya negosiasi ini membuat investor khawatir. Jika perang dagang AS-China memanas lagi, maka dikhawatirkan akan mempengaruhi arus perdagangan global mengingat kedua negara ini adalah perekonomian terbesar di dunia. Ini tentu bukan kabar baik untuk sektor keuangan.
Pekan lalu, Wakil Perdana Menteri China Liu He berkunjung ke Washington untuk berdiskusi mengenai perdagangan dengan para pejabat pemerintahan Trump. Namun pertemuan ini belum memberikan hasil yang substansial.
"China siap mengabulkan beberapa permintaan kami. Namun memang belum ada kesepakatan, dan mungkin akan memakan lebih banyak waktu," ungkap Lawrence 'Larry Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih.
Senada dengan Gedung Putih, perwakilan Beijing juga belum memberi jawaban tegas seputar hasil pertemuan tersebut. Lu Kang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, hanya menyebut bahwa pertemuan ini 'sangat konstruktif'.
"Investor menunggu adanya pernyataan yang bisa menjadi katalis, bisa menggerakkan sentimen di pasar. Namun yang terjadi justru seakan langkah mundur, yang membuat investor bingung," tutur Oliver Pursche, Chief Market Strategist di Bruderman Aset Management yang berbasis di New York.
Selain perang dagang, investor juga mengkhawatirkan kenaikan harga minyak yang mencapai titik tertinggi sejak 2014. Penyebab kenaikan harga minyak adalah penurunan pasokan di Venezuela akibat krisis sosial-politik-ekonomi serta kekhawatiran berkurangnya minyak dari Iran jika sanksi terhadap Negeri Persia diterapkan.
Kenaikan harga minyak akan menimbulkan inflasi karena biaya energi bertambah. Tekanan inflasi ini kemudian perlu dikontrol melalui kenaikan suku bunga acuan. Inilah yang menjadi kecemasan pelaku pasar, bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan lebih dari tiga kali sepanjang 2018.
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular